Oleh : Emral Djamal Dt. Rajo Mudo
Tambo Alam Minangkabau
Walaupun Tambo Minangkabau sering dianggap sebagai legenda, dongeng atau mithos dengan cerita sejarah yang berbelit-belit, namun bila di simak dan ditelusuri secara hati-hati dengan teknik dan metode ilmunya dengan kemampuan menafsirkan ungkapan-ungkapan petuah, pepatah-petitih dan berbagai kias ibarat yang terdapat di dalamnya, ternyata Tambo Minangkabau beserta turunannya tidak saja mengandung ajaran-ajaran falsafah adat yang mulia dengan nilai-nilai luhur yang diungkapkan dengan gaya bahasa seni sastra yang tinggi (Nasroen, l957) tetapi juga merupakan “bukti sejarah otentik” yang lengkap, dan tidak mudah begitu saja dikesam pingkan oleh para ahli dan peneliti sejarah, hanya karena “tidak mampu” menafsirkan atau memahami sastra dan bahasa kias yang terdapat dalam Tambo Minangkabau.
Anehnya banyak pula para ahli yang “berhabis-habisan” untuk men terjemahkan isi berbagai prasasti yang hanya terdiri dari beberapa baris untuk kemudian menafsirkannya secara imajinatif. Sebagai contoh kita tidak menemukan sebuah kepastian sampai sekarang, tentang arti “minanga tamwan” yang tertulis dalam sebuah prasasti yang dianggap factor kunci da lam menentukan sejarah keberadaan Sriwijaya di masa lalu. Walaupun terjadi simpang siur pendapat, namun “minangatamwan” tetap merupakan factor kunci yang menentukan jalannya sejarah di masa lalu. Demikian juga halnya dengan Tambo Minangkabau.
Edward Djamaris (1980 : 1) menyampaikan bahwa, beberapa ahli sejarah Minangkabau setelah mencoba menggali fakta-fakta sejarah dalam Tambo Minangkabau mengalami kekecewaan. Kekecewaan itu menurut Edward, karena belum dijelaskannya kedudukan cerita, termasuk jenis cerita apa Tambo Minangkabau itu, sifat-sifat penulisannnya, dan sebagainya. Pada hal orang Minangkabau menghargai Tambo Minangkabau sebagai pusaka litere nenek moyangnya yang berisi sejarah. Dalam rumusannya Edward Djamaris menjelaskan sebagai berikut :
Tambo Minangkabau merupakan sumber pengetahuan yang berharga yang memberikan gambaran Minangkabau masa lalu yang dapat membantu kita mengetahui keperca yaan, pandangan hidup, cara berfikir, adat istiadat, dan seba gainya. Hanya dengan mengetahui latar belakang, kedudukan, jenis, dan tujuan penulisan Tambo Minangkabau baru dapat digunakan sebagai sarana untuk penelitian ilmiah bukan sastra, seperti sejarah, antropologi, dan sosiologi.
Dalam konteks tulisan ini, hampir semua Tambo Alam Minangkabau menyebut bahwa Iskandar Dzulkarnain adalah putra dari Nabi Siyst As. anak terbungsu Nabi Adam As. Tetapi ada juga yang mengatakan bahwa Iskandar Dzulkarnain itu sebenarnya adalah Nabi Siyst As. sendiri.
Menurut Tambo Alam Minangkabau, riwayat Iskandar Dzulkarnain dimulai dari Iskandar Dzulkarnain yang menjadi anak bungsu Nabi Adam A.s., karena tidak memiliki pasangan di dunia, atas berkat do’a Nabi Adam A.s. yang memohonkan jodoh untuk anak bungsunya itu, dikabulkan Tuhan Rabbul Alamin. Putra bungsu Nabi Adam A.s. tersebut lalu dinikahkan oleh malaikat Jibril a.s. dengan seorang putri bidadari dari surga, Jati Ratna namanya (Jati Rono, Ratna Sejati, Warna Sejati) dan sejak itu pula ia diberi gelar kebesaran dengan nama Iskandar Dzulkarnain. Sebagian Tambo hanya menyebut “Dzulkarnain” artinya bertanduk dua. Pada awalnya tanduk itu zahir di atas kepala, tetapi kemudian tanduknya di potong sehingga tidak menakutkan manusia. Cerita ini jelas mengandung warna sufistik awal tentang asal usul kejadian, yang memerlukan kupasan tersendiri, karena mengandung kias dan ibarat berkenaan aspek zahir dan batin (tidak bisa ditafsirkan secara lahir saja).
Dengan pasangan bidadari itu Iskandar Dzulkarnain diceritakan memperoleh tiga orang putra, yakni : 1). Sultan Sri Maharaja Alif, kemabali ke (di) benua Rum 2). Sultan Sri Maharaja Dipang (kembali ke (yang pergi) ke Tibet negeri Cina, dan 3). Sultan Sri Maharaja Diraja menjadi raja di Pariangan, Alam Minangkabau.
Banyak tambo-tambo Minangkabau mencatat kisah-kisah Sultan Is kandar Dzulkarnain ini sebagai ringkasan-ringkasan yang terpotong, se hingga urutan sejarahnya menjadi kabur, akibat keterangan yang meloncat-koncat. Hal ini dapat dilihat dari riwayat anak bungsu Nabi Adam A.s. yang bernama Siyst yang tidak punya jodoh, kemudian kisahnya langsung melompat sampai kepada Sultan Sri Maharajo Dirajo yang kawin dengan Puti Indo Jalito di Pariangan. Agaknya cerita yang demikian merupakan sebuah penggalan yang terputus lalu disambung seenaknya saja.
Dugaan ini, karena ada pula tambo yang menuturkan melanjutkan kisahnya sampai kepada zaman Nabi Nuh A.s. yang dikenal sebagai bapak manusia yang kedua setelah Nabi Adam As. ketika kiamat Nuh terjadi di bumi ini, setelah selamat menghadapi banjir besar, Nabi Nuh A.s. berputra tiga orang yakni Ham, Zam, dan Yafist. Yang kelak menurunkan bangsa-bangsa di dunia dengan watak kepribadian yang berbeda. Diantaranya ada pula yang menurunkan “raja-raja pertuanan, sultan-sultan”. Masalahnya sekarang, siapakah yang menyandang gelar Mahkota Daulat Sultan Sri Maharajo Dirajo yang pertama ?
Dari mana asal muasalnya ?
Siapa Sri Maharajo Dirajo sebelum Sang Sapurba kawin dengan Puti Indojalito di Pariangan. Karena ternyata gelar “Sri Maharajo Dirajo” diha diahkan oleh Pariangan kepada Sang Sapurba, Raja Natan Sangsita Sang kala yang telah berjasa mengalahkan Naga yang datang dari laut melilit gunung Marapi. Lalu dikawinkan dengan Puti Indo Jalito, dan dihadiahi gelar Sri Maharja Diraja di Pariangan. Artinya gelar Sri Maharaja Diraja telah turun temurun diwarisi secara adat oleh Pariangan, sehingga berhak untuk menyandangkannya/ menghadiahkannya kepada tokoh ter tentu yang barjasa di masa itu.
Tambo Alam Minangkabau selalu memulai dengan Sultan Sri Maha raja Diraja sebagai tokoh sentral Daulat Yang Dipertuan Daulat Pulau Perca, yang kemudian nama Pulau Perca berganti menjadi Pulau Emas (Swarnabumi), Pulau Paco, Pulau Sumatera, sampai akhirnya kepada zaman Minangkabau yang berpusat di Pagaruyung. Menurunkan pula Sultan-Sultan, dan dari anak cucu mereka pula banyak raja raja yang terse bar di berbagai negeri berkuasa pada zamannya di pulau Sumatera, bahkan sampai ke Negeri Sembilan, Singapura, Johor, Serawak dan Brunei Darus salam merupakan belahan persaudaraannya.
Tambo Minangkabau mengisahkan bahwa Daulat Sultan Sri Maha raja Diraja naik ke pinggang gunung Marapi sampai di Pariangan, kawin dengan Puti Indo Jalito dan berputra seorang yang bernama Sutan Paduko Basa bergelar Datuk Ketumanggungan. Apabila yang dimaksud disini adalah ayah dan ibu kandung Sutan Paduko Basa yang bergelarDatuk Ketumanggungan, maka yang menyandang gelar Daulat Sultan Sri Maha raja Diraja itu adalah Raja Natan Sangsita Sangkala, Sang Pertalo Kala yang naik ke Pariangan, kemudian nikah dengan Puti Indo Jalito, adik kandung Datuk Suri Dirajo Pangulu Pariangan di zaman itu.
Di Pariangan inilah ia dinobatkan dengan menjunjung gelar mahkota Daulat Sri Maharaja Diraja tersebut, akibat perkawinannya dengan Putri Indo Jalito. Ini merupakan sebuahkurun dari berkurun-kurun peristiwa sejarah yang tenggelam di masa lalu, di lereng Gunung Marapi. Artinya penggalan sejarah ini terjadi pada zaman seorang yang dinobatkan sebagai Sultan Maharaja Diraja yang kawin dengan seorang Putri Pariangan berna ma Indojalito (Indrajelita) [1].
Pada hal, tokoh Sri Maharaja Diraja di waktu itu adalah seorang Raja dari Palembang yang juga menjadi raja di Natanpura. Raja ini bernama Sangsita Sangkala, Sang Pertalo Kala menantu dari raja Palembang, yang telah menikah dengan Putri Bijayo Dewi anak raja Palembang, kemudian didudukkan pula sebagai Raja Palembang.
Di Palembang, sang istri melahirkan 4 orang putra putri, seperti telah disebutkan terdahulu, yakni Putri Sri Dewi yang pergi ke Cina, Putri Candra Dewi ke Madang Kamulan Majapahit,Rajo Mandalika ke Tanjung Pura, dan Sang Pertalo Jama Nila Utama menjadi Raja di Temasik. Nama Temasik kemudian berganti menjadi Singapura di abad ke 13. Berarti yang disebut sebagai Nila Utama dengan gelar Sang Sapurba menurut Sejarah Melayu, tidak lain adalah Sang Sita Sangkala sesuai pula menurut Tambo Rajo-Rajo Gunung Merapi di Pariangan. Zamannya jelas sebelum abad ke 13, sebelum munculnya nama Singapura yang didirikan oleh putra Sang Sapurba sendiri.
Sementara itu Raja Palembang ini juga telah menikah dengan Putri Betari Dewi di Natanpura, kemudian diangkat dan berkedudukan sebagai raja pula di Natan, dengan sebutan Raja Natan. Kemudian Raja Natan naik memudiki hulu Batang Hari, sampai ke Melayu Kampung Dalam Tiga La ras (Siguntur Pulau Punjung sekarang). Raja Natan ini nikah pula dengan Putri Reno Jani kemenakan kandung Tuanku Tiga Laras, Tiang Panjang, Sri Baginda Tribuwanaraja Mauliwarmadewa (1275 – 1300 M). Kelak kemudian Putri Reno Jani melahirkan pula beberapa orang putra dan putri.
Seperti telah disebutkan, kemudian Raja Natan atas permintaan Cati Bilang Pandai, raja ini datang ke Pariangan untuk membantu negeri itu yang sedang “dipalut Ular Naga” . Atas kerjasama yang baik antara Cati Bilang Pandai dengan Raja ini, akhirnya “Ular Naga” dapat dilumpuhkan. Negeri Pariangan di pinggang Gunung Merapi menjadi aman kembali.
Dengan rasa terima kasih akhirnya Sang Rajo dijodohkan dengan Putri Indo Jalito, adik kandung satu-satunya dari Datuk Suri Dirajo yang waktu itu adalah pemimpin Pariangan sebagai Pangulu pertama di Pariangan. Dengan demikian berdasarkan uraian Tambo yang berceceran[2] dapat disimpulkan bahwa Raja Sangsita Sangkala memiliki empat orang istri, yakni :
1). Putri Bijayo Dewi di Palembang,
2). Putri Betari Dewi di Natanpura,3). Putri Reno Jani di Melayu Kampung Dalam Tiga Laras, dan4). Putri Indo Jalito di Pariangan.[3]Putri Reno Jani yang berasal dari Melayu Kampung Dalam Tigo Laras kemudian di bawa Raja Natan Sangsita Sangkala ke lereng Gunung Marapi, dan ditempatkan di nagari Kumanis dalam Luak Tanah Datar. Putri ini kemudian terkenal dengan sebutannya sebagai Putri Kumanis.[4]
Setelah beberapa lama Daulat Yang Dipertuan Sri Maharajo Dirajo ini meninggal dunia di Pariangan. Permaisuri beliau Puti Indo Jalito, kemudian kawin pula dengan Cati Bilang Pandai yang menyandang gelar Niniek Indojati dan memperoleh beberapa orang anak. Menurut Tambo Tinggi Indrapura, Indrajati atau Niniek Indojati berasal dari Indrapura.
Yang tertua dari anak anak tersebut kelak kemudian diberi gelar Datuk Perpatih Nan Sabatang. Dalam sejarahnya kemudian kedua putra ini menjadi tokoh utama pemikir dan pendiri Adat Alam Minangkabau, yang berpusat di Pariangan. .Bagaimana pula dengan cerita yang lain ? - tulisan sebelumnya klik disni (bersambung)
Emral Djamal Dt. Rajo Mudo
Dok. Salimbado / diperbaharui, 2012, - (16 Desember 2012 pukul 18:37 –fb)[1] Indojalito, Indrajelita tidak sama dengan Indojati, Indojaliah, Indahjaliah, seperti ditulis sebagian para penulis Tambo. Perlu hati-hati dalam menuliskan nama-nama raja-raja atau putri-putri Minangkabau yang secara tradisi banyak menyandang nama dan gelar yang turun temurun, sehingga dapat mengaburkan periode sejarahnya.
[2] Banyak penulis Tambo hanya memenggal sebagian-sebagian saja data sejarah yang ada sesuai dengan sisi pandang mereka sendiri. Sehingga tidak ayal lagi terjadinya kecenderungan untuk menafikan bagian-bagian sejarah tertentu untuk mengisbatkan sejarah nagari sendiri. Akibatnya berbagai informasi sejarah menjadi berceceran di pedalaman, terutama pada zuriat keturunan masing-masing istri raja tersebut. Cerita sejarah menjadi tumpang tindih, ketika semua keturunan raja-raja di Minangkabau mengaku dari keturunan Iskandar Dzulkarnain tetapi tidak mampu menjelaskan silsilah keturunan yang sampai ke negerinya sendiri. Ini terbukti dari empat istri Sangsita Sangkala yang menjunjung gelar Daulat Sri Maharajo Dirajo Pulau Perca, yang kelak menurunkan raja-raja mengisi wilayah Alam Minangkabau di pulau Perca sampai ke rantaunya.
[3] Putri Indo Jalito adalah generasi terakhir keturunan raja-rajo Putri Gunung Marapi di Pariangan. Diakui sebagai Ninik yang menurunkan raja-raja Alam Minangkabau berikut nya di Pagaruyung.
[4] Putri Kumanis setelah meninggalnya Raja Natan Sangsita Sangkala, kemudian kem bali ke Suwarnapura, Sumpur Kudus. Dari Putri inilah asal usul seluruh cucuran raja-raja Sumpur Kudus di Alam Minangkabau yang kelak kemudian bertebaran sampai ke rantau.