Oleh : Syarifuddin Arifin
Di Minangkabau, kesenian merupakan pamenan rang mudo, permainan anak muda-muda. Pertunjukan kesenian yang merangkum semua jenis kesenian ialah randai. Sebuah kesenian tradisi yang hidup di Minangkabau sudah ada sejak lama, sejak antar komunitas dari satu nagari dan nagari lain bersosialisasi. Pola melingkar dengan penonton/ penikmatnya mengelilingi permainan randai, telah menyatukan, membaurkan antara penonton dan pemain. Di dalam sebuah pertunjukan randai, ditemui berjenis kesenian yang khas seperti; seni suara (dendang/ gurindam), musik (saluang, talempong, gendang), gerak ( akting, pencak, tari, galombang), sastra/cerita atau kisah (dialog, jok/ komik,monolog).
Lalu sejak kapan randai ini berkembangnya? Seperti juga kesenian tradisi lainnya, tidak ada catatan pastiyang menyebutkan. Namun dari beberapa penelitian, menyebutkan bahwa randai tercipta dan dimainkan oleh anak-anak muda di sebuah sasaran,perguruan silat. Pada mulanya, anak laki-laki di Minangkabau harus mampu membela diri dengan mempelajari ilmu beladiri yang disebut silat. Gerak-gerak silat, yang disebut juga pancak,pencak, bila dilakukan pengulangan terasa cukup ritmis dan dinamis, sehingga kalau distilir akan nampak lebih indah, bahkan menyerupai sebuah tari. Lalu gerak-gerak tersebut dilakukan secara melingkar, yang terkadang membentuk rantai pertanda kekompakan. Semua pemain mengenakan celana latihan silat yang disebut galembong, sehingga ketika celana galembong tersebut ditepuk secara serentak akan menimbulkan bunyi yang khas, bagaikan deburan ombak di pantai.
Legaran, gerakan melingkar tersebut kemudian diisi dengan dendang gurindam yang diikuti oleh musik; saluang,talempong, pupuik batang padi, dan gendang. Oleh pangkatuo pelatih silat, legaran tersebut diisi dengan kaba cerita rakyat yang sudah ada sebelumnya. Umumnya cerita rakyat yang dimainkan ialah cerita-cerita menarik yang menyampaikan pesan “andaian” atau “perumpamaan”, sehingga masyarakat peminatnya menyebutnya sebagai sebuah pertunjukan barandai, berandai, beramsal.
Bila ada cerita, maka tentu ada tokoh/ pemerannya. Menurut Chairul Harun (1992; 112) pemegang peran dalam sebuah randai ditentukan oleh pangka tuo randai, karena dialah yang mengetahui setiap karakter dan kemampuan bersilat setiap pemainnya. Pemeran utama misalnya, haruslah orang yang memiliki vocal yang lantang dan mantap. Dia haruslah seorang pendekar,yang mahir balabek, gerak khas pesilat, pandangan mata dan seluruh geraknya memperlihatkan kewaspadaan.
Karena umumnya latihan ini dilaksanakan pada malam hari (usai salat Isa), maka tentu tokoh wanita dalam sebuah cerita, terpaksa dimainkan oleh laki-laki, karena wanita di Minangkabau tidak diperbolehkan ke luar malam. Itu sebabnya –pada mulanya - semua pemain randai adalah laki-laki. Tokoh wanita diperankan oleh laki-laki yang suaranya mirip suara perempuan, bahkan diberi pakaian wanita dan umumnya mengenakan kacamata hitam. Maka jadilah ia sebuah pertunjukan di sebuah arena. Cerita rakyat yang dimainkan, umumnya menjadi ciri khas bagi sebuah grup randai, bahkan sekaligus menjadi nama grup randai yang memainkannya, seperti; Kaba Anggun Nan Tongga, Cindua Mato, Sabai Nan Aluih,dan seterusnya.
Randai Kesenian Tradisional Minangkabau
Karena randai dimainkan di arena yang melingkar, maka pergantian adegan disampaikan dalam dendang, menggiring imajinasi setiap penontonnya ke suatu tempat peristiwa berlangsung, yang kemudian diperkuat oleh dialog antar pemain. Itulah sebabnya, tokoh teater modern kemudian menyebut randai adalah sebuah pertunjukan teater tradisi yang absurd.
Pertunjukan randai yang absurd, oleh kalangan pemerhati seni pertunjukan disebut sebagai sebuah Pertunjukan TeaterTradisi yang berasal dari Minangkabau, Sumatera Barat. Tokoh teater Indonesia yang berdomisili di Padang, Wisran Hadi, mencoba merombak pola randai ini dalam setiap pementasan teaternya, bahkan cerita/kisah yang dimainkan pun ia tulis dalam bentuk teks, untuk memudahkan pemain menghafal dialog dan mengenal karakter penokohannya.
Kenapa randai disebut sebuah pertunjukan absurd? Ya, setiap pertunjukan randai, selalu ada adegan atau dialog yang tidak logis, namun ternyata mampu menggiring imajinasi penontonnya ke arah yang nyata. Hanya dengan sebuah dendang pengisah dan peralihan setting.Misalnya, dikisahkan tokoh utama pergi ke dalam hutan, maka dengan seketika ia sudah ada dalam hutan. Pada hal, tempatnya masih di sana. Juga dalam acting atau dialog, diceritakan seseorang mati terbunuh, lalu tokoh yang mati itu tiba-tiba bangkit kembali dan ikut dalam legaran galombang. Perubahan adegan atau babakan, tidak dilakukan dengan mengganti setting, atau cahaya lampu, atau mengganti kostum melainkan cukup dengan gurindam yang dibawakan dalam legaran (galombang).
Gerak dasar dalam galombang yang melingkar (juga merupakan frame, atau panggung) ialah bunga-bunga silat yang disebut pancak, pencak yang distilirisasi menjadi gerak yang indah. Beberapa gerak pencak tersebut, juga menjadi gerak akting yang dominan bagi setiap tokoh cerita dalam pengisahannya..
Hampir semua gerak dalam pertunjukan randai berasal dari bunga-bunga silat. Baik dalam galombang (legaran) yang berfungsi sebagai pengganti adegan, babakan yang diikuti dengan dendang gurindam sebagai pengantar cerita berikutnya mau pun dalam dialog atau akting. Seperti juga bentuk kesenian lainnya, yang berawal dari kiasan, perumpamaan yang kemudian dijewantahkan dalam bentuk musik,tari-tarian, dendang saluang, gurindam, dan lain sebagainya.
Di Minangkabau, semua anak laki-laki harus ke surau sejak Magrib. Mereka belajar mengaji dan mendengarkan ceramah agama Islam. Setelah salat Isa, didampingi seorangtuo randai, mereka mulai mengurak langkah, belajar membaca garak, garik, dan garoksetiap orang yang dihadapinya. Banyak aliran, sasaran silat yang berkembang, yang kemudian mencuat menjadi gerak gelombang dalam pertunjukan randai, seperti; Silat Lintau, Silat Kumango, Silat Tuo, Silat Harimau Sungai Pagu, Sitaralak atauSilat Pariaman, dll.
Itulah sebabnya, sasaran atau gelanggang randai berada tidak jauh dari masjid/surau. Mereka berandai, berandai-andai, yang tidak hanya mengacu pada pengertian, bermisal-misal melainkan jauh lebih menukik lagi yakni‘membaca alam dengan tanda-tanda’. Dulu, anak randai cukup disegani, karena mereka calon pendekar, dan mahir memainkan kata-kata; petatah-petitih, gurindam,berkias dan bermisal. Mampu ‘membaca’ gerak dari garik dan garok.
Sebagai pamenan anak muda, randai bermanfaat tidak hanya sebagai tontonan yang menghibur, tetapi juga sebagai tuntunan. Setiap perbuatan buruk/jahat pada akhirnya pasti akan mengalami nasib sial, celaka atau dikalahkan. Randai juga bermanfaat sebagai upaya mempersatukan komunitas anak-anak muda dan menyatukannya visi anak nagari. Dalam kehidupan sehari-hari, terutama bila anak randai, pemain randai secara individu terjun ke tengah masyarakat di luar komunitasnya. Selain berkemampuan membela diri dari serangan musuh, pengetahuan agamanya cukup bisa diandalkan.Fasih membaca Al Qu’an dan salat wajib 5 kali sehari, mereka juga santun, suka menolong sesama dan rajin bekerja (gotong royong).
Kapan dan di mana saja pertunjukan randai diadakan?
Pada mulanya, randai dimainkan disasarannya masing-masing, dan penontonnya hanya dari komunitas tertentu saja.Bila ada yang ingin menyaksikan randai, maka calon penonton harus mengunjungi sasaran di mana randai tersebut dimainkan. Bagi pangka tuo randai, tidak ada istilah ‘pertunjukan atau pagelaran’,sebab bila permainan randai sudah dimulai, maka itu mereka sebut ‘latihan’ atau bermain randai
Latihan atau bermain randai akan dimulai dengan mempertimbangkan siapa-siapa saja yang datang menyaksikan latihan mereka. Bila di antara yang datang kebanyakan dari kaum pendekar, maka latihan lebih banyak memperlihatkan galombang dalam legaran, atau jumping keadegan-adegan perkelahian. Bila yang datang kebanyakan dari kaum remaja, maka latihan diperbanyak pada adegan-adegan perjuangan membela yang benar, adegan percintaan, dan kegagalan atau keberhasilan sang tokoh dalam menjalankan prinsip hidupnya, seterusnya bila yang menyaksikan dari kalangan niniak-mamak, alim ulama dan cerdik pandai,maka dialog-dialog dipertajam pada mamangan, kata kias, petata dan petitih tentang agama dan adat. Akibatnya, sebuah cerita/kaba di dalam pertunjukan randai, tak pernah selesai dalam sekali latihan atau pertunjukan. Pertunjukan randai yang utuh, sejak awal sampai selesai, biasanya memakan waktu puluhan jam, sedikitnya 3 atau 4 malam.
Dalam perkembangannya, randai dimainkan di luar sasaran, khusus sebagai sarana hiburan, yakni setelah panen di sawah. Randai akan main di atas munggu,tanah ketinggian di tengah areal persawahan. Dengan alat penerangan berupa suluah, obor dari bambu yang ditancapkan di sekeliling munggu, atau bagi nagari yang cukup berada penerangannya dengan lampu stromkeang, petromaks. Dalam perkembangannya, pertunjukan randai yang bisa diselesaikan dalam satu malam, dimainkan ketika alek nagari, pesta rakyat. Misalnya,usai malewakan datuak, pengukuhan seorang penghulu, pesta pernikahan, hari besar Islam (Maulud Nabi, hari raya IED, pasar malam, dll.
Randai pada akhirnya menjadi sebuah kekuatan, kebanggaan bagi sebuah nagari yang memilikinya. Untuk menjalin silaturrahmi, randai juga sengaja dimainkan di nagari tetangga atau di rumah,komunitas tertentu dalam bentuk julo-julo, arisan. Misalnya, bulan ini kelompok randai A dimainkan di nagari B, dan pada bulan berikutnya randai B yang main di nagari A, dan seterusnya. Setiap kelompok, grup randai selalu ada yang memagari,agar tidak dipengaruhi oleh kekuatan lain dari luar diri setiap pemainnya.
Untuk menguji ketangkasan bermain, maka sejak 1970-an randai mulai di festifalkan.Itu artinya, permainan randai sudah ditata sedemikian rupa di sebuah arena,gelanggang pertarungan.**
Sejak tahun 1970-an, semenjak pemerintahan Orda Baru dengan program unggulannya Keluarga Berencana (KB), maka muncullah kelompok-kelompok keluarga kecil. Keluarga besar yang umumnya berada di rumah gadang, mulai berpencar. Di pusat pemerintahan seperti kota-kota atau kabupaten, keluarga-keluarga kecil tersebut hidup di rumah kreditan atau bangun sendiri (Perumnas, perumahan swasta). Ini menyebabkan, anak laki-laki tidak lagi tidur di surau, dan itu artinya mereka tidak lagi belajar silat atau berkesenian sebagai pamenananak mudo-mudo.Untuk mengantisipasi agar randai tidak punah, maka Pusat Kesenian Padang (PKP, kiniTaman Budaya) mengadakan Festival Randai 1978 yang diikuti oleh beberapa grup randai yang ada di Padang, lalu Badan Koordinasi Kesenian Nasional Indonesia (BKKNI) Sumbar yang lebih banyak bergerak ke arah pelestarian kesenian tradisi, mengadakan Festival Randai 1982 antar Nagari se Sumatera Barat di Kayu Tanam. Umumnya peserta terdiri dari kelompok/grup randai anak nagari yang pemainnya orang dewasa. Kalau pun ada anak muda, jumlahnya sangat sedikit.Namun, sejak usai festifal tersebut, denyut kesenian randai kembali terasa. Bahkan pihak Departemen Penerangan (Depen) memanfaatkan randai sebagai salah satu alat kampanye, mempromosikan program-progam pemerintah, terutama dari materi yang terkait pada dasar negara, Pancasila.
Di Era Reformasi ini, kesenian randai diajarkan di sekolah-sekolah, sebagai bagian dari muatan lokal (Budaya Alam Minangkabau), khususnya untuk anak-anak kelas 4, 5, dan 6 SD dan SMP. Meski pun demikian, Festival Randai antar SMA yang diselenggarakan oleh Komunitas Randai Padang, kelihatan cukup banyak peminatnya. Namun patut dicatat, randai-randai festifal yang dimainkan pelajar-pelajar tersebut, hanya sekadar menampilkan esensi randai secara gerak, namun tidak menukik pada hal-hal yang bersifat garik, filosofi gerak itu sendiri.
Meskipun, secara tradisi yang sudah diadatkan, grup randai di setiap nagari sampai hari ini masih tetap eksis. Terutama di beberapa nagari di luhak Tanah datar, Agam dan Limo puluah Koto. Kelompok, grup randai di nagari-nagari tersebut tidak bisa dikuasai oleh orang luar.Tuo Randai,orang yang dituakan haruslah seorang pendekar, ahli silat dari pihak penghulu.Sebab, bagaimana pun setiap sasaran, gelanggang randai, pasti ada guru silatnya, baik secara lahir mau pun batin.
Bacaan:
1. Harun, Chairul; 1992; Kesenian Tradisi di Minangkabau,Jakarta, Proyek Pembinaan Media kebudayaan, Ditjen Kebudayaan, Mendikbud2. Esten, Mursal Prof.DR. 1993; Minangkabau; Tradisi dan Perubahan,Bandung,Penerbit Angkasa Raya.