Ulasan Boy Yendra Tamin
Salah ketik dalam membuat sebuah dokumen memang sering terjadi, namun salah ketik dalam sebuah dokumen hukum seperti putusan hakim, kontrak dan sebagainya tentu seharusnya tidak terjadi. Mengapa ? Sebuah dokumen hukum, apalagi sebuah putusan hakim menimbulkan tanggung jawab hukum, hak dan kewajiban bagi para pihak yang berperkara. Karena itu kesalahan ketik dalam putusan hakim tidaklah seharusnya terjadi dan hal itu merupakan suatu bagian penting dari asas kecermatan dalam memeriksa dan mengadili perkara. Kesalahan-kesalahan ketik dalam putusan hakim mungkin banyak ditemukan, namun hal itu seharusnya tidak dipandang sebagai hal yang biasa, karena bisa saja kesalahan ketik itu terjadi pada bagian yang fundamental dari sebuah putusan hakim. Apalagi sebuah putusan hakim yang sudah diucapkan dalam persidangan, sejauh ini tidak ada mekanisme untuk memperbaikinya. Karena apa yang diucapkan dalam persidangan adalah hasil proses yang penuh kecermatan, jadi bukan soal disengaja atau tidak.
Salah satu dari kesalahan ketik dalam putusan hakim itu sebagaimana diberitakan tribunnews.com (24/7/2013) menyebutkan;
Ketua Mahkamah Agung (MA) Hatta Ali mengakui ada kesalahan ketik pada salinan putusan perkara Yayasan Supersemar.
Namun, ia menegaskan bahwa kesalahan ketik itu tidak disengaja.
Kejaksaan Agung akan mengajukan Peninjauan Kembali (PK) terkait kesalahan pada salinan putusan MA, dalam perkara Yayasan Supersemar. Akibat salah ketik, Kejaksaan tidak bisa mengeksekusi putusan.
"Memang ada kesalahan, tapi tidak ada unsur kesengajaan, karena di dalam (isi pertimbangan dan amar) kan sudah benar," ujar Hatta Ali usai buka puasa bersama di rumah dinas Ketua DPD Irman Gusman di Jakarta, Rabu (24/7/2013).
Menurutnya, kesalahan yang terjadi tidak mendasar.
"Kesalahan seperti itu sudah sering terjadi, sudah biasa seperti itu. Itu kan sering terjadi di institusi manapun. Namanya juga manusia," tuturnya.
Saat ditanya apakah KY akan menyelidiki salah ketik putusan tersebut, Hatta menyatakan, yang jelas tidak ada unsur kesengajaan. Apalagi, majelis hakim yang memutus perkara tersebut sudah pensiun.
"Kan majelisnya sudah pensiun. Kalau panitera ada, tapi lihat nanti, kan belum diketahui (pelanggarannya)," ucapnya.
Sebelumnya diberitakan, Kejaksaan Agung akan mengajukan PK terkait kesalahan pada salinan putusan MA dalam perkara Yayasan Supersemar.
Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun) ST Burhanuddin mengatakan, MA belum juga memerbaiki salinan putusan itu, sejak diketok palu pada 2010.
Kejagung telah menginventarisasi aset milik Yayasan Supersemar yang akan disita. Aset-aset itu diperkirakan tidak mencapai Rp 138 miliar.
Dalam putusan yang diketok pada 28 Oktober 2010, Majelis Kasasi MA memerintahkan Yayasan Supersemar membayar uang denda dalam dua bentuk mata uang, yakni dolar AS dan Rupiah.
Di bagian Rupiah, seharusnya Supersemar membayar 75 persen dari Rp 185.918.048.904,75. Tapi, ada tiga angka yang tidak dituliskan majelis kasasi, yaitu angka '048.'
Akibatnya, nominal yang harus dibayar Yayasan Supersemar pun salah, yakni hanya Rp 139.229,178. Padahal, bila pengutipan angka benar, jumlah yang harus dibayar oleh Supersemar adalah Rp 139,2 miliar.
Di bagian mata uang dolar AS, putusan sudah tepat. Di mana Yayasan Supersemar harus membayar 75 persen dari 420.002.910 dolar AS, yaitu 315.002.183 dolar AS.
Sehingga, yayasan milik keluarga Cendana seharusnya membayar 315.002.183 dolar AS dan Rp 139,2 miliar ke kas negara. (*)
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar
Code Parser
×