Dalam memahami sejarah dan adat Minangkabau, sering orang terbentur kepada pengertian yang rancu. Adakalanya luhak dan laras dikacaukan.
Sebenarnya pengertian Luhak ialah wilayah atau teritorial. Di Minangkabau terdapat tiga luhak, masing-masing Luhak Tanah Datar, Luhak Agam, dan Luhak 50 Koto.
Masing-masing luhak mempunyai ciri khas. Kadang-kadang ciri-ciri tersebut ditafsirkan sebagai manifestasi tatanan adat, Memang setiap luhak dilengkapi dengan cirinya masing-masing sebagai lambang karakteristiknya. Warna pakaian penghulu adat di tiap-tiap luhak berbeda pula. Inilah terutama yang menyebabkan orang menafsirkan luhak sebagai tatanan adat.
Adapun laras atau kelarasan bukanlah menyangkut wilayah atau teritorial . Kelarasan lebih merupakan sistem adat yang berlaku diseluruh Minangkabau, dengan sendirinya berlaku juga di tiga luhak yang sudah disebut tadi. Kelarasan atau sistem adat Koto Piliang misalnya, terdapat di Luhak Tanah Datar, Luhak Agam dan Luhak 50 Koto, Bahkan diluar luhak itu pun, seperti di daerah Solok dan daerah Pesisir Sumatera Barat sistem adat menurut alur kelarasan itu juga berlaku.
Di sisi lain sistem adat menurut jalur Bodi Caniago juga terdapat diseluruh luhak dan diluar luhak. Masing-masing kelarasan mempunyai struktur atau lembaga yang teratur.
Kekarasan yang ketiga yang muncul belakangan ialah kelarasan Koto Nan Panjang. Kelarasan ini agaknya sebagai kompromi antara sistem Kelarasan Koto Piliang dan Kelarasan Bodi Caniago, Boleh dikatakan bahwa Kelarasan Koto Nan Panjang menganut kedua sistem adat secara manasuka. Artinya sistem yang dipilih ialah yang cocok dengan keadaan setempat, tapi tidak keluar dari sistem Koto Piliang dan Bodi Caniago.
Lareh dalam bahasa Minang berarti (1) jatuh, dan (2) alur atau saluran. Badia duo lareh berarti bedil yang mempunyai dua saluran atau dua laras. Dan pengertian ini agaknya dapat dipahami apa maksud Kelarasam (Koto Piliang, Bodi Caniago, dan Koto Nan Panjang), yaitu adat yang digunakan dimasing-masing kelarasan.
Setelah Belanda kolonial berkuasa di Minagkabau, dibentuknya pula suatu lembaga yang disebut juga dengan kelarasan. Pemegang kekuasaan di kelarasan Belanda itu disebut Tuanku Lareh, umpamanya Tuanku Lareh Sungai Pua, Lareh Simawang, dsb
Jabatan laras dalam lembaga Belanda ini tidak ada hubungannya sama sekali dengan laras dalam konteks Kelarasan Koto Piliang, Bodi Caniago dan Koto nan Panjang. Laras Belanda ini merupakan perpanjangan tangan Belanda kepada beberapa kepala Nagari dalam suatu kawasan tertentu, Kekuasaan tuanku laras sangat besar dan kadang-kadang sangat menentukan, Tugas utama tuanku laras ialah mengawasi pelaksanaan kebijaksanaan Belanda, kemudian menjadi alat penekan dalam pemungutan pajak. (dikutip dari tulisan Akhiruddin Latief dalam buku “Sungai Tarok Salapan Batua”)