Oleh Al Amin Putra Zaen
Ranah Minang khususnya pada zaman dahulu bahkan hingga pada saat sekarang ini memiliki wilayah daratan yang sangat baik. Dengan berbagai macam potensi yang ada untuk penghidupan umat manusia tak ayal lagi bagi mereka untuk mengolahnya. Banyak cara yang dilakukan untuk mengolah sesuai kebutuhan pada saat itu. Minangkabau sesuai dengan cerita menurut “Tambo” memiliki banyak kebudayaan yang sangat unik. Bagi mereka pencinta akan wisatanya mungkin amat jarang melihat kondisi geografis dari negeri ini. Dengan keanekaragaman yang pada dulunya dikenal sangat ramah dalam kehidupan sehari-harinya. Seluruh permasalahan yang muncul ditengah kelompok adat minangkabau tidak sampai menuai “silat lidah” ala mereka. Cukup dengan mendudukkan permasalahan yang ada dan berdiskusi bersama kelompok yang dulunya mereka biasanya bermusyawarah di “Surau” atau yang lebih dikenal dengan “Mesjid Kecil.
Sesuai dengan judul yang saya inginkan, bahwasannya saya pribadi sempat mengamati tentang permasalahan tanah ulayat yang ada di bumi ranah minang ini, khususnya masalah tanah. Kenapa tidak? Kaya akan kegunaannya setiap orang pasti ingin memilikinya dengan melihat dan memikirkan kondisi ini sangat strategis untuk dijadikan sebuah keuntungan sepihak saja. Sempat saya membaca sebuah buku di sebuah Rumah Gadang di Padang Panjang tepatnya di PDIKM yakni Pusat Dokumentasi Informasi Kebudayaan Minangkabau yang menjadi tulisan yang cukup menarik mengkisahkan bahwasannya orang Minangkabau dahulu menyelesaikan seluruh permasalahannya dengan cara bermusyawarah antar sesama individu, kelompok suku adat atau kanagarian bertempat di “Surau”. Ini yang sangat menarik dan bahkan tidak ada pertikaian yang muncul. Kalaupun ada itu semua masih bisa diberikan ketenangan secara emosional.
Namun pada kenyataannya pada saat ini adalah, seluruh permasalahan yang ada di bumi ranah minang ini seperti yang kita lihat bersama bahwasannya sering muncul konflik bahkan saling serang menyerang antar kelompok suku yang objek permasalahannya adalah tanah ulayat tersebut. Melihat kondisinya tanah ulayat menurut cerita merupakan “Tanah Pusako” atau Tanah Pusaka yang menurut Ter Haar dalam bukunya mengatakan tanah pusaka yang dimiliki secara turun temurun dari nenek moyang atau pendahulunya.
Tanah Ulayat khususnya di Ranah Minang sendiri memiliki fungsi yang sangat penting dalam literatur kepemilikan dan kekuasaan terhadap tanah tersebut. Mengingat tanah ini merupakan titipan dari sang pendahulunya bagi kepentingan keturunannya dikemudian hari untuk penghidupan kesehariannya. Tidak hanya digunakan untuk perseorangan saja, namun digunakan untuk penghidupan bersama selagi masih dalam satu sukunya. Hal ini disambut positif bagi kalangan pemuka adat minang dikarenakan amatlah penting rasanya seseorang untuk meninggalkan hartanya dan membagikannya dalam satu kesatuan kelompok sukunya guna memenuhi kebutuhan keturunannya dikemudian hari untuk menjamin kehidupannya. Maka dari itu mereka dituntut untuk mengolah seluruh tanah peninggalan tersebut untuk kelangsungan hidup mereka sebagai keturunannya.
Harapannya bagi tanah ulayat tersebut sangat banyak. Namun hari demi hari kebutuhan akan tanah pun dalam pengelolaannya kini mulai terkikis oleh perkembangan zaman. Dimana yang dulunya fungsi tanah ini bisa digunakan untuk bercocok tanam guna penghidupan keturunan mereka, namun kini berganti lahan untuk dijadikan sebuah tempat tinggal bahkan pembangunan fasilitas publik. Bagaimanapun juga ini perkembangan zaman dan sudah seharusnya untuk membangun ditengah-tengah perekonomian bangsa ini yang saling membutuhkan akan sesuatu hal.
Mengenai pengaturan tanah ulayat yang ada di Minangkabau pada saat ini secara legitimasi hukumnya menurut para birokrat sudah sangat pas dan cocok. Tapi, ada kalangan masyarakat asli minangkabau mungkin terasa tidak cocok dalam kepemilikan dan bahkan jual beli sekalipun serta hak atas gadai. Pengaturannya kita lihat dalam Perda Propinsi Sumatera Barat Nomor 16 Tahun 2008 tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya secara yuridis bagi birokrat dianggap cukup mumpuni dari perkembangan terdahulu mengenai peraturan terdahulu yang dikembangkan sesuai dengan daerah, budaya dan etnis masing-masingnya. Mengingat perkembangan pembentukan daerah-daerah swatantra kini mulai mengecil menjadi daerah propinsi sesuai dengan otonomi daerah yang dikembangkan untuk memekarkan wilayah. Selanjutnya dalam UUPA yang menjadi kitab empunya yang lama tetap masih eksis ditengah tantangan global semarak perekonomian pengaturannya pun tetap berdasarkan yang tertera dalam undang-undang tersebut.
Sekilas mengenai Hukum Adat Minangkabau pada saat itu lahir berbagai falsafah-falsafah adat. Guna memberikan “clue” yang singkat namun pengertiannya bisa dirinci dengan baik bagi mereka yang paham akan kebudayaan Minangkabau tersebut. Seperti azaz utama yang digunakan dalam tanah ulayat yang bersifat tetap bahwasannya “ Jua Indak Makan Bali, Gadai Indak Makan Sando” artinya adalah Dijual tidak ada harga yang pantas untuk membelinya, digadai tetap harus bisa ditebus, tidak bisa menjadi milik sipenerima gadai selamanya. Namun dalam prakteknya pada saat sekarang tanah pusaka dijual tanpa ada persetujuan dari pemimpin sukunya. Dikarenakan alasan yang mendesak dan kebutuhan dan semua struktur kepemimpinan dalam adat minangkabau seakan-akan tidak ada gunanya dan beralih fungsi. Yang dahulunya falsafah Minangkabau mengatakan, “Anak dipangku, Kamanakan dibimbiang” namun pada kenyataannya pada saat sekarang sudah banyak tidak mengetahui fungsi kekerabatan yang ada.
Menurut Soeroso dalam bukunya tentang Hukum Adat, pembolehannya memungkinkan untuk mengalihkan harta pusaka tersebut ada 4 yaitu :
Gadih Gadang Alun Balaki : maknanya adalah seorang anak gadis di minangkabau memiliki peran yang sangat penting sebagai pelanjut garis keturunannya karena bersifat matrilineal dan belum bersuami dikarenakan terkendala biaya, maka boleh menjual atau menggadaikan harta pusaka.
- Mambangkik Batang Tarandam : maknanya adalah seorang penghulu adalah pemimpin sebuah suku. Tidak diangkatnya seorag penghulu berarti suku tersebut tidak punya pemimpin. Kalau tidak diangkatnya penghulu itu karena biaya yang tidak ada,maka menjual atau menggadaikan harta pusaka terpaksa harus dilakukan.
- Maik tabujua ditangah rumah: dibeberapa daerah, apabila seorang anggota kaum meninggal dibutuhkan biaya yang besar untuk melaksanakan upacara-upacara adat. Kalau biaya itu tidak dapat diambil dari hasil harta pusaka maka menjualatau menggadaikan harta pusaka juga sering dilakukan.
- Rumah gadang katirisan: Tidak hanya berarti rumah gadang bocor saja tetapi juga termasuk memperbaiki dari kerusakan-kerusakan bahkan kalau perlu mengganti dengan yang baru bila rumah gadang yang lama sudah tidak layak dipakai lagi.
Meski ada berbagai tuntutan bahkan konflik antar sesama mungkin bisa diselesaikan melalui pengadilan dengan mengumpulkan saksi bahwasannya tanah ini merupakan miliki diantara mereka yang bersengketa. Itupun kalau ada saksinya, kalau tidak ini akan dikhawatirkan akan menjadi konflik berkepanjangan. Menurut aturan yang ada sudah dilampirkan dalam lembaran daerah yang diharapkan bisa disosialisikan kepada masyarakat minangkabau yang berada dipelosok wilayah ranah minang, namun kenyataannya setelah saya sendiri melakukan pembicaraan dengan beberapa tokoh adat minang di kanagarian Pariaman, tepatnya di Koto Katiak mereka belum mendengar, melihat secara langsung adanya sosialisasi terhadap Perda yang ditetapkan.
Mereka para tokoh adat minang ini berusaha mencari jalan terbaik dengan memanfaatkan rumah tua atau yang biasa disebut dengan “Rumah Gadang” untuk mencari jalan keluarnya. Namun tak jarang juga ada yang bertikai antar sesama dengan menggunakan kekerasan bahkan ada yang menggunakan ilmu hitam. Ini yang ditakutkan akan menjadi persoalan baru lagi ditengah-tengah ketidak jelasan untuk melakukan sosialisasi khusus ke daerah pelosok.
Pertentangan yang akan dihadapi adalah, akan bentroknya dengan aturan hukum Adat Minangkabau terdahulu. Karena mereka lebih mempercayai pendahulunya sesuai dengan falsafah adat mereka. Dan bagaimana pun diharapkan salah satu pihak yang dituakan dalam tokoh adat bisa lebih menyatu dengan peraturan yang ada. Perda yang diatur sudah terinci dari asas, kepemilikan, pemimpin adat, izin lokasi, sengketa bahkan masalah perpindahan atau pengalihan kepemilikan. Dan bagi birokrat pun diharapkan bisa menyesuaikan lagi dan membuat peraturan yang bisa sesuai dengan adat negeri ranah minang ini, agar tidak terjadi lagi sengketa antar kelompok.
Menurut dalam buku Dr. Soekanto adapun sistematika Hukum Adat Minangkabau yang tertuang dalam Undang-Undang nan Ampek yaitu :
a. Undang-Undang Luhak dan Rantau : yang mengatur masalah pemerintahan di daerah luhak dan rantau seperti tugas dan wewenang penghulu dan raja ditempat masing-masing. (luhak nan bapangulu, rantau nan barajo).
b. Undang-Undang Nagari : yaitu yang mengatur
Susunan masyarakat nagari
- Cara terjadinya nagari
- Kelengkapan nagari
- Memenuhi kebutuhan hidup
- Kehidupan sosial
- Cara menyelesaikan masalah perdata dengan menuntut hal yang adil
- Bagaimana menghukum terhadap kesalahan yang dilakukan oleh seseorang.
- Bentuk-bentuk kejahatan
- Pebuktian kejahatan
- Sanksi bagi yang melanggar.
Meski hukum adat ini tidak tertulis dan menjadi kebiasaan semata berdasarkan asas kepercayaan semata yang diharapkan bisa mengatur lebih baik tata susunan yang ada ditengah masyarakat minangkabau seakan-akan hal ini pun tidak busa dipungkiri. Ini menjadi kesalahan penerusnya karena tidak mengindahkan falsafah pendahulunya yang bisa bermain kata dalam makna yang sangat luas meski ada yang kasar dalam pengertian bahasa “mengindonesiakan”-nya, namun hal ini cukup mampu meredam permasalahan yang muncul. Harapannya agar bisa saling menyatukan antara hukum adat minangkabau dengan hukum konstitusi yang sah berdasarkan keadilan Tuhan Yang Maha Esa...