Catatan Hukum Boy Yendra Tamin, SH.MH
Beberapa waktu belakangan dalam pemberitaan media cetak maupun elektronik tidak jarang dilberitakan protes atas putusan hakim terhadap seorang terdakwa, terutama dari keluarga korban yang meminta terdakwa dihukum seberat-beratnya. Demikian pula kecaman dari berbagai pihak atas putusan hakim misalnya dalam perkara korupsi yang dinilai terlalu ringan.
Aksi-aksi yang terkait dengan putusan hakim terhadap seorang terdakwa terkadang berakhir anarkhis, dan bahkan tidak jarang terjadi "ricuh" dalam ruang sidang yang seharusnya tidak boleh terjadi atas sebuah putusan yang diambil hakim. Dalam konteks ini, soal penghukuman atau penjatuhan hukuman pada seorang terdakwa selalu dihadapkan pada dua kutup. Pada kutup terdakwa, siapa pun dia, dan dalam tindak pidana apa pun yang dilakukan terdakwa, tentu terdakwa berharap dibebaskan dari hukuman atau diringankan hukumannya. Sementara dari pihak korban atau keluarganya , cenderung menginginkan pemberian hukuman yang seberat-beratnya terhadap pelaku (terdakwa). Dengan demikian kedua kutup ini tentu sulit untuk mencapai suatu penerimaan yang sama atas suatu putusan hakim, apa lagi hukuman yang dijatuhkan itu diukur dengan nilai-nilai sosial, keadilan semua tanpa didasarkan pada suatu proses hukum yang menjatuhkan putusan berdasarkan pada fakta dan bukti yang terungkap dalam persidangan.
Ada banyak teori dan ajaran tentang pemidanaan, dan dalam kaitananya dengan berat ringannya hukuman yang dijatuhkan hakim atas seorang terdakwa tentu menjadi otonomi penuh dari hakim. Dalam hal ini terdapat Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung No, 949 K/PID/2006 tanggal 26 Juni 2006 yang menyebutkan:
Berdasarkan yurisprudensi tersebut, maka suatu hal yang disiratkan, bahwa hakim otonom dalam menentukan berat ringannya pemidaan dan tentu berdasarkan pada fakta dan bukti yang terungkap dalam persidangan, disamping akan keyakinan hakim sendiri. Karena itu terhadap berat ringannya hukuman yang dijatuhkan hakim tergantung pada sejauh mana pihak Penuntut umum mampu membuktikan terdakwa patut dihukum berat, sebaliknya pihak terdakwa tentu akan melakukan pembelaan diri dengan pembuktian-pembuktian yang pada gilirannya akan menjadi pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pemidanaan terhadap dirinya. Dengan demikian, mengedepankan pada aspek pembuktian jauh lebih penting atas berat ringannya pemidanaan dari pada upaya mengedepankan hal-hal lain yang terkadang sulit dicarikan ukurannya, apalagi jika ukurannya subjektif . *Bahwa alasan-alasan kasasi Jaksa Penuntut Umum Sepanjang menyangkut berat ringannya pemidanaan yang dijatuhkan tidak dapat dibenarkan, karena berat ringannya pidana yang dijatuhkan merupakan wewenang judex factie, namun terhadap kesalahan dalam penerapan hukum, alasan-alasan kasasi Jaksa/Penunut Umum dapat dibenarkan, karena selain pidana penjara, pidana denda yang dijatuhkan judex factie tidak sesuai dengan ketentuan berlaku.