Oleh Al Amin Putra Zaen
Indonesia memang memiliki banyak karya yang patut sekali dibanggakan. Bahwasannya kita sebagai bangsa Indonesia mengakui hal tersebut. Beragam budaya, suku dan bahasa kini masih tetap awet diberbagai pelosok ujung negeri ini. tidak hanya bangsa Indonesia sendiri yang mengakuinya, kini bangsa lain pun ikut terlena dengan eksotik kebudayaan negeri di Indonesia ini. Kenapa tidak, hal tersebut terjadi spontan oleh penilaian masing-masing pribadi orang yang mengunjunginya.
Terlahir berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 bahwasannya negeri ini sangat kaya. Khusus wilayah daratan negeri ini. Sejengkal tanahnya amatlah sangat berharga bagi pribadinya. Berguna untuk kepentingan sendiri bahkan untuk kepentingan umum. Dikelola dengan berbagai usaha untuk kepentingan bersama. Semua dilakukan untuk kemakmuran rakyat sesuai dengan amanat dasar dari negara Indonesia.
Indonesia memiliki sisi wilayah yang sangat baik. Terutama Minangkabau yang menjadi titik fokus bagi judul artikel ini. Mengingat kondisi kebudayaan Minangkabau pada akhir-akhir perubahan zaman ini mulai ikut tersandung sedikit demi sedikit tergerus oleh akibat globalisasi. Petatah petitih minang kini pun mulai hilang sedikit demi sedikit ditengah pembicaraan anak nagari. Sesuai dengan wawancara saya beberapa hari yang lewat, semua tidak bisa dipersalahkan karena ulah “Bujang dan Gadih” sang minang. Tentu perlu juga memperhatikan kondisi orang terdahulunya. Namun semua pun tidak juga dapat dipersalahkan karena perubahan zaman pun wajib harus diikuti oleh setiap orang. Tak terbendungnya dan semua serba diterima oleh semua orang tanpa ada penyaringan perubahan budaya.
Globalisasi pada saat ini sangat amat mengancam kehidupan asli budaya dari sebuah negeri, apalagi negeri Indonesia yang terbilang banyak budaya, suku dan bahasa. Namun kelestariannya kini mulai mengikuti kelestarian dari tumbuhan yang tumbuh dan kemudian di gunakan secara berlebihan. Khusus sekali terhadap budaya Minangkabau. Mendengar wawancara yang dilakukan bahwasannya ada yang mengganjal perubahan yang terjadi pada pemuda dan pemudi minangkabau yang sangat parah. Kini pemuda dan pemudi minangkabau mulai lupa akan kebudayaan sendiri. Dari tata cara adat istiadat yang menjadi kebiasaan dalam kebudayan minangkabau yang kini mulai hilang satu per satu. Contohnya saja adalah masalah perkawinan. Kini para pemuda dan pemudi minangkabau tidak lagi harus meminta surat persetujuan tertulis dari penghulu sukunya untuk melangsungkan perkawinan dan ini berakibat kepada pemuda minangkabau sendiri yang tidak mendapatkan gelar dari sukunya. Contoh lainnya lagi adalah tanah ulayat yang kini digadaikan tanpa sepengetahuan penghulunya dan ninik mamaknya.
Amat miris bukan? Namun inilah kenyataannya pada saat sekarang. Ini semua mati ditengah jalan dan tidak ada penerus yang mengajarkan secara detail. Dan sempat saya menyimak pembicaraan dari “Datuak” ini bahwasannya ada yang parah lagi. Seseorang yang lama merantau dan memiliki anak bahkan sudah bercucu hidup di perantauan kini setelah kembali ke kampung halaman Minangkabau, seakan-akan prilaku anak-anak dan cucunya sudah jauh dari nilai-nilai moralitas keadat istiadatan Minangkabau. Inilah akibatnya peranan orang tua sendiri tidak mendukung upaya penanaman nilai-nilai kebudayaan asli Minangkabau sendiri. Meski jauh dari rantau yang penghidupannya serba modern dan seakan-akan lupa akan asal usulnya sendiri. Namun apa daya, semua sudah terjadi. Tinggal hanya orang pedalaman asli yang menetap diujung pelosok ujung negeri Minangkabau ini.
Latar Belakang
Masalah Gadai di bumi Minangkabau ini terbilang cukup lama dikenal sejak nenek moyang terdahulu. Berkaitan masalah keperluan masalah di bidang ekonomi tentunya untuk penghidupan yang berkelanjutan dan bahkan untuk biaya pengobatan. Hal ini serasa biasa terjadi dalam masyarakat Minangkabau sejak dahulunya. Berdasarkan kepercayaan satu sama lain membuat seluruh orang yang ingin berkecimpung dalam dunia gadai menggadai tersebut tidak lagi ragu bahkan tidak pula menaruh curiga takut tidak akan dibayar. Meski ada masalah pun dalam bentuk kecil, sedang dan berat, namun hal tersebut tetap diselesaikan dengan musyawarah antar bersama dan kaum. Yang biasa dikenal pepatah minang “Duduak Samo Tinggi, Tagak Samo Randah”. Kiasan ini yang menjadi pedoman bagi masyarakat terdahulu guna untuk meredam situasi yang tidak diinginkan.
Peranan “Angku, Niniak Mamak, Cadiak Pandai, Alim Ulama dan Bundo Kanduang” sangat berperan aktif dalam menyelesaikan berbagai rangkaian permasalahan yang timbul. Begitu rapi dan tersusun dengan hikmat dalam penyelesaiannya. Kenapa tidak bukan, hal tersebut sudah dicontohkan secara langsung oleh orang-orang terdahulu. Namun kini nyatanya, dunia “premanisme” tetap menjadi peran penting dalam menyelesaikan masalah di Minangkabau pada saat ini dan itu pasti pada prakteknya.
Gadai dalam artian KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) adalah meminjam uang dalam batas waktu tertentu dengan menyerahkan barang sebagai tanggungan, jika telah sampai pada waktunya tidak ditebus, barang itu menjadi hak yang memberi pinjaman. Intinya adalah cara bagaimana seseorang untuk mendapatkan sesuatu dengan memberikan berupa jaminan yang diperjanjikan untuk dibayar di waktu yang disepakati antara pihak yang melakukan gadai.
Di Minangkabau menurut ceritanya pada dahulunya melakukan transaksi gadai dengan musyawarah yang dihadiri oleh para kaum-kaumnya agar menjadi pengetahuan bersama dan tidak menimbulkan suatu kesalahpahaman antar sesama kaum dikemudian harinya. Namun hari terus mengalami kemajuan meski merangkak dan semua itu berubah dengan adanya perang yang terjadi. Semua dilakukan secara diam-diam namun pasti untuk kelanjutan hidup seseorang.
Banyaknya objek yang menjadi sumber penghidupan masyarakat terdahulunya, serta adanya kepedulian antar sesama untuk memberikan semacam pinjaman kepada seseorang yang sudah menggadaikan sesuatu yang berupa sawah, “parak” atau kebun, tabek bahkan ada juga tanah pusako serta tanah ulayat yang digadaikan. Ini semua menjadi pertentangan dari beberapa kalangan kaum yang menganggap hal tersebut keluar dari aturan adatnya sendiri. Namun apa boleh buat dengan keadaan yang mendesak hal tersebut ada juga dibolehkan oleh adat.
Pengaturan Gadai
Pengaturan Gadai di Minangkabau menurut narasumber secara konkret dan tertulis tidak ada. Hanya berupa asas kepercayaan semata. Dan orang-orang terdahulu memang benar-benar mengetahui kodratnya sebagai sang insan Tuhan Yang Maha Esa.
“Allah maha melihat, jadi kalau mau berbuat murka, nantikan saja alam akan bergejolak” itu inti dari pembicaraan narasumber.
Benar-benar nilai yang sangat religius yang ditanamkan. Hal ini yakini merupakan sebagai hasil petuah adat mengatakan, “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah”. Benar-benar menakjubkan kebudayaan Minangkabau ini. Tidak hanya takut akan pituah adat namun agama Islam pun juga mengaturnya demikian agar tercipta kebenaran yang benar-benar baik dan sempurna.
Hal ini terlihat jelas. Makna demi makna yang tersirat terasa cukup untuk menjadi pedoman bagi kelanjutan kebudayaan Minangkabau yang benar-benar ril. Membangkitkan peranan fungsi kepemimpinan adat Minangkabau kini mulai kabur entah kemana dan harus kemana mereka akan mengetahuinya. Contohnya saja masalah gadai tersebut. pengaturan yang tidak jelas dan menjadi asas kebiasaan yang turun temurun dari nenek moyang terdahulu, seseorang bisa melangsungkan gadai yang biasanya disebut orang terdahulu adalah “Sawah Singguluang”. Tersimpan makna yang berarti. Dimana objek yang digadaikan diartikan sebagai mana yang tersebut tadi.
Dalam UU Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 memang tidak diatur secara khusus masalah hak gadai tersebut. Terbukti dalam pasal 16 sendiri hanya berupa hak secara umum saja. Tidak ada hak gadai yang disinggung dalam pasal ini apalagi keseluruhan isi dari UU Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960. Namun dalam pengaturan lainnya secara nasional itu ada pada PERPU UU No. 56 Tahun 1960 mengenai hak gadai terdapat dalam pasal 7. Tentu hal ini hanya secara nasional dan harus diingat pula bahwasannya negeri ini berdiri berdasarkan beragam budaya, bahasa dan suku adat. Pemberlakuannya tentu berbeda-beda pula. Terutama nagari Minangkabau sendiri yang tidak memiliki pengaturan yang tertulis, namun ini menjadi pengaturan kebiasaan dari adat mereka tersendiri.
Syarat Gadai
Mengenai syarat gadai sendiri tidak ada peraturan tertulis yang disahkan oleh para pemimpin daerah bahkan pemuka adat pun juga tidak. Mereka mengikuti alur yang telah lama dan berpedoman pada kebiasaan yang terdahulu namun tetap sesuai dengan aturan dalam “kanagarian” masing-masingnya. Pengaturan hanya berupa kebiasaan saja yang disepakati oleh adatnya. Tanpa ada pertentangan oleh beberapa suku yang muncul dan itu semua diyakini sebagai warisan nenek moyangnya dengan prinsip kepercayaan yang lebih utama dan religius.
Gadai dalam Minangkabau biasanya dilakukan oleh perseorangan untuk keperluan tertentu dan itu semua harus diketahui oleh kepala kaumnya sendiri. Kaum yang biasa disebut “Sapayuang” atau “Sapasukuan” adalah kelompok saudara yang sesuku yang berhak atas gadai menggadai. Semua dilakukan secara tertulis dan ditanda-tangani oleh beberapa orang yang bertindak dalam surat keterangan gadai menggadai tersebut. Antar pihak, diikuti oleh saksi, kepala kaum atau suku, serta wali jorong, bahkan ada juga dari anak atau cucunya. Yang boleh melakukan gadai menggadai harus “nan saparuik” yang merupakan 1 (satu) nenek .
Setelah melihat beberapa surat keterangan pinjam meminjam atau dengan gadai atau “Pagang Gadai” pemberian tanda tangan tidak selalu menjadi kewajiban dan cukup diketahui oleh kedua belah pihak dan mereka saling meyakini satu sama lainnya dan segera untuk dijalani sesuai dengan bunyi yang ada dalam surat perjanjian tersebut. Pada zaman dahulu surat keterangan yang asli diberi semacam cap berkodekan tahun, lambang garuda dan jumlah rupiahnya. Dan melihat keefektifitasannya sangat mengikat dan lebih sempurna dengan adanya cap seperti itu, dibandingkan sekarang dengan materai dikhawatirkan bisa dilepaskan dari surat perjanjian. Namun harus wajib mencantumkan tanda tangan yang dikhawatirkan juga akan terjadi beberapa masalah kecil tentu ini menjadi kurang enak dalam kepengurusannya dikemudian hari.
Hak Khusus
Mengenai hak khusus dalam gadai tersebut tidak ada pengaturan tertulis. Namun dalam gadai hanya berupa kebiasaan semata. Jika seseorang meminjam sesuatu dari pihak lain maka sebagai jaminan dan itu biasa dilakukan untuk menjaga kepercayaan satu sama lain apalagi demi menjaga kelompok kaumnya sendiri. Jaminan yang diberikan kalau berupa sawah atau “parak” yang akan panen, maka hasilnya dibagi dua dan apabila hanya berupa lahan biasa atau kosong tidak ada yang ditanam, maka pihak yang menerima gadai boleh menanam sesuatu yang bermanfaat hingga sampai pinjaman tersebut dibayar.
Namun kebiasaan orang-orang asli Minangkabau mereka lebih banyak membagi hasil dari objek yang digadaikan. Guna menciptakan kerukunan dan ketentraman antar sesama manusia. Masalah hutang piutang tetap menjadi kewajiban dan meski ada yang lewat waktu biasanya mereka mengalihkan kepada pihak ketiga untuk mengambil alih gadai tersebut dikarenakan ketidaksanggupan pihak yang penerima gadai untuk meneruskan gadai tersebut. dan perjanjian dibuat lagi dan harus diketahui oleh pihak yang menggadaikan.
Proses Gadai
Memperhatikan objek yang digadai apa saja dan ditentukan juga oleh kedua belah pihak dan baru bisa disepakati. Untuk gadai menggadai harus diketahui oleh pemimpin kaum atau biasa dikenal dengan “pangulu” atau “datuak” dan harus dipersaksikan oleh beberapa orang itupun kalau zaman dahulu seperlunya saja yang penting tau akan sesuatu kewajibannya sendiri. Perjanjian tersebut harus diketahui oleh ahli warisnya.
Objek yang digadaikan berupa tanah bisa saja berupa benih padi, “tabek”. Tanah biasanya ketika membayarnya dikenal dengan “ameh” atau emas. Orang dahulu menggunakan 2 (dua) bentuk pembayaran yaitu 1 (satu) “ringgik ameh” atau satu ringgit emas bernilai 13 “ameh” dan 1 (satu) “rupiah ameh” atau satu rupiah emas senilai 7 (tujuh) “ameh”. Biasanya orang terdahulu menggunakan 1 ringgit emas dalam bertransaksi.
Jika tidak dibayar tepat waktu, maka bisa diperpanjang. Jika tidak juga, maka bisa dijual kalau si penerima gadai tidak sanggup lagi. Kertas perjanjian dibuat dalam bentuk khusus dan disegel.
Contoh Gadai
Banyak contoh gadai yang penting berupa tanah dan berwujud. Kebanyakan hanya menggadaikan sawah dan perkebunannya. Dan ada juga berupa “tabek”. Bahkan ada juga yang merupakan tanah “pusako tinggi” dan tanah ulayat. Mengenai bentuk surat perjanjian gadai seperti contoh dibawah.
Itulah seputar dari masalah pengaturan dan ketentuan gadai di Kota Padang Panjang. Dengan niat kembali mengetahui tentang kebudayaan asli Minangkabau akan membuka wawasan yang sangat menarik dan berbeda dengan kebudayaan yang ada di Indonesia. Semua saling berkaitan dan begitu tersusun rapi dalam kepemimpinannya. Terstruktur dan menjadi penghormatan tersendiri. Semua ini tentu harus berkelanjutan dengan berpedoman apa yang telah menjado falsafah adat Minangkabau. Dengan demikian semoga menjadi pembelajaran bagi pembaca untuk mengetahui hal yang satu ini. mudah-mudahan bermanfaat. Terimakasih.... (mhsfhubh/ed/dh1)