Oleh : Wisran Hadi
Bulan suci Ramadhan dua hari lagi akan datang. Semua orang sudah mulai pergi ziarah; ke kuburan atau ke mana-mana tempat yang dapat menenteramkan hati untuk meminta maaf dan untuk dimintai maaf. Akan tetapi, orang tidak pernah menziarahi sebuah Surau, walaupun surau itu kini sama sosok dan fungsinya sebagai sebuah kuburan juga. Dia jadi kebanggaan tetapi tidak dapat lagi dimanfaatkan atau dijamah lagi. Kenapa Surau kemudian lebih banyak sama fungsi dan sosoknya sebagai sebuah “kuburan”? Inilah soalnya.
Ketika Surau sudah tidak lagi dijadikan sebagai subjek, pada saat itu Surau kehilangan dinamikanya. Surau menjadi seonggok monumen nostalgia dan prasasti masa lalu, kalaulah tidak mau menyebutnya sebagai sebuah “kuburan”. Menadahkan tangan kepada pihak-pihak yang masih mau memanfaatkan keberadaannya dalam lingkungan yang semu. Yang dimaksud dengan dinamika surau adalah; interaksi antara surau dengan masyarakat lingkungannya yang terjaga dengan baik, antara surau dengan masyarakat lingkungannya yang saling membutuhkan.
Pembicaraan tentang Surau sampai hari ini umumnya hanya menempatkan surau sebagai objek. Surau diposisikan sebagai alat untuk kepentingan-kepentingan tertentu. Kepentingan pendidikan, perkauman, nagari kemudian menjadi kepentingan politik. Sehingga bila Surau tidak dapat memenuhi kepentingan-kepentingan itu maka Surau lalu “diperkosa”. Disesuaikan dengan kepentingan-kepentingan tersebut. Oleh karena Surau tetap diposisikan sebagai objek, maka Surau terpaksa harus mengikuti walau dengan keikutannya itu Surau sudah kehilangan eksistensinya. Boleh jadi, karena hal demikianlah, maka ketika Pemerintah Daerah mencanangkan Gerakan Kembali Ke Surau menjadi tertegun-tegun dan tidak sanggup untuk meneruskannya menjadi sebuah program yang baku dalam koridor mengembalikan Minangkabau menjadi Minangkabau yang bermartabat. Gerakan Kembali Ke Surau itu entah sudah beberapa kali dilansir, namun gerakan pertama terhenti di tengah jalan setelah dua tahun karena alasan klasik; “kekurangan dana”. Dan tidak pernah ada pikiran; bagaimana melalui surau kita mengumpulkan dana.
Surau seharusnya diposisikan sebagai subjek. Menempatkan surau sebagai subjek berarti surau harus dilihat sebagai sosok yang “hidup” punya dinamika, cara, gaya tersendiri. Hal ini berarti memberikan roh dan tubuh kepada surau.
Yang dimaksud dengan “roh” dari Surau tersebut adalah; dinamika. Suatu atau sebuah Surau mempunyai dinamika tersendiri, berorientasi kepada “kekinian”. Surau selalu diupdate oleh masyarakat lingkungan. Oleh karena itu, banyak kalangan sosiolog seperti Dr. Mochtar Naim menjuluki dinamika surau itu dengan mengatakan “surau adalah dunia rantau”. Yang dimaksudkan dengan julukan demikian demikian adalah; orientasi dunia surau adalah rantau, tempat seseorang berbuat sebanyak mungkin untuk mempersiapkan diri “pulang ke kampung”. Oleh karena itu orang Surau mengatakan, hidup di dunia adalah sama dengan hidup di rantau. Tempat kita pulang adalah ke kampung, “kampung akhirat”.
“Tubuh” surau atau sosok kongkrit sebuah surau adalah sarana untuk berlangsungnya kontak-kontak personal atau klasikal antara yang muda dengan yang tua, atau guru dan anak sasian, atau sarana untuk mentransfer pengalaman hidup, sikap keagamaan dan kemandirian. Yang tua itu mungkin dalam sosoknya sebagai “urang siak”, guru, atau ninik mamak. Yang muda itu adalah anak kemenakan dalam masing-masing perkauman, remaja dan pemuda kampung, atau orang muda yang belum banyak pengalaman. Sedangkan Surau dalam make upnya berbentuk sebuah sarana untuk pembentukan pribadi orang muda untuk berproses menjadi “orang” yang siap untuk mengharungi hidup berikutnya. Akan tetapi, dalam bentuk sosoknya yang nyata hari ini, surau tidak lebih dari sebuah bangunan usang saja, mungkin terletak di pinggir sungai, milik suatu kaum dstnya.
Sebuah surau dapat eksis dan keberadaannya dapat bertahan lama, karena Surau sanggup memberikan konstribusi pada masyarakat lingkungannya dalam kurun waktu tertentu. Surau sebagai produk dari masyarakat tradisi, telah berperan banyak dalam hal-hal tertentu; pembinaan pribadi, pendidikan agama, adat dan budaya, tempat penulisan naskah-naskah yang selama ini dituturkan dari mulut ke mulut. Boleh dikata, karena surau dapat memberikan konstribusinya kepada masyarakat, khususnya masyarakat tradisi di Minangkabau, maka surau dapat hidup dan menjadi rujukan.
Dan bagaimanakah sosok surau dalam masyarakat Minangkabau yang sudah memasuki era globalisasi ini? Itulah dia! Surau pada masa sudah dapat disamakan dengan sebuah “kuburan”. Lambang kebanggaan, lambang budaya Minangkabau, tapi tidak dapat dimanfaatkan sama sekali. Tidakkah seharusnya kita juga harus menziarahinya, meminta maaf kepadanya agar puasa kita esok bisa dapat memberikan pahala yang melimpah? ***
****Tulisan ini adalah tulisan Amarhum Budaywan almarhum Wisran Hadi yang sempat diposting di accountnya facebook.com/notes/wisran-hadi/sudah-saatnya-kita-menziarahi-surau/424878394289, diakses, 26 Oktober 2013, jam 12.00