Oleh: Wisran Hadi
Cucuku yang cipeh, bertanya. “Kakek, masih adakah saat ini musang berbulu ayam? Bukankah itu hanya ungkapan kakek saja untuk menyindir kami, bahwa kalau kita jadi ayam, ayamlah kita. Kalau kita musang, musanglah kita. Jangan jadi siluman. Karena musang suka makan ayam, lalu dia menyamar jadi ayam, supaya ayam lupa pada musang dan kemudian si musang memakan ayam itu sendiri.”
Soal musang berbulu ayam itu sudah sejak lama ada, bahkan sejak zaman Rasullulah pun ada.Mengaku-ngaku Islam, mengangku-ngaku memperjuangkan Islam, mengaku-ngaku mendirikan masjid,tetapi tujuannya tetap satu, menghancurkan Islam itu sendiri. Oleh karena itu, dalam cuplikan sejarah Rasulullah, ada sebuah masjid yang diperintahkan Rasulullah untuk dihancurkan, karena Rasulullah melihat jauh ke depan, bahwa masjid itu nanti akan meruntuhkan Islam.
Begitu juga di zaman Belanda. Ada namanya Snouck Hougronye, seorang pastor pada mulanya,kemudian ikut bersama penjajahan Belanda untuk memporak porandakan Minangkabau. Oleh karena di Minangkabau itu semua orang beragama Islam, tak tanggung-tanggung, si Snouckyang licik ini berusaha pula pergi ke Mekkah menyeludup jadi haji, tujuannya hanya satu, untuk menghancurkan Islam.”
Jadi, kepada cucuku yang cipeh itu kuceritakan hal itu. Cucuku itu mengangguk-angguk, kemudian dua hari kemudian dia datang dengan wajah sumringah dan bicara.
“Kakek, sekarang baru kami mengerti kenapa ada ungkapan dalam bahasa Minang, musang berbulu ayam itu. Tapi kakek, sekarang musang berbulu ayam itu sudah tidak ada lagi. Ayamnya mati bersama musangnya. Kini yang tinggal adalah ungkapannya saja. Karena ayamnya mati, musangnya pun mati, karena tidak ada yang akan dimakannya lagi. Maka ungkapan itu jadi berubah sebutan.”
“Apa itu?” tanyaku keheranan.
“Pecundang berbulu Minang!” katanya dengan mantap. “Maksud cucu?” tanyaku. “Maksudnya adalah orang-orang yang bicara berbuih-buih tentang Minangkabau, tentang adat basandi syara’,syara’ basandi kitabullah, bicara tentang tanah ulayat, bicara tentang masa depan dan keselamatan Minangkabau, akan tetapi dia tidak pernah selama ini mau tahu dengan Minangkabau.”
Aku marah sekali kepada cucuku yang satu ini. Sudahlah cipeh, lancang lagi. Lalu kutanya,
“dari mana cucu tahu ada orang-orang seperti itu?”“Baca koran kakek, baca koran!” katanya tertawa. “Semua koran memuat bahwa gubernur Sumatera Barat telah mengirim surat kepada pengurus Gebu Minang dan Panitia KKM agar KKM itu diundur, demi menjaga kestabilan sosial yang sudah terbina sejak lama di Minangkabau. Namun, beberapa hari kemudian, koran itu juga membuat iklan-iklan setengah halaman penuh tentang KKM diteruskan.”“Tapi kan namanya sudah diubah,” kataku tidak mau kalah dengan cucu.
“Iya diubah? Diubah ya? Bukan diubah, kakek tapi ditambahi. KKM GB. Kepanjangannya Kongres Kebudayaan Minangkabau Gebu Minang. Kakek tahu, bahwa bahasa Indonesia seperti itu rancu artinya. Mestinya kalau mau mengubah, mereka harus menamakan Kongres Kebudayaan Gebu Minang. Bukan Kongres Kebudayaan Minangkabau Gebu Minang. Uh kakek. Kayak tidak mengerti bahasa Indonesia saja.”
Aku terpurangah. Aku jadi berpikir-pikir, cucu jenis apa ini? Tapi bagaimana mungkin aku tega “melanyau”nya dengan berbagai persoalan seputar KKM yang pro kontra itu. Aku terpemung beberapa jurus.
“Kok gini hari masih ngelamun kek?” tanyanya semakin memojokkan aku.
Aku jadi beragu hati juga. Kadang-kadang menyesal juga aku, kenapa terlalu pagi aku mengajarkannya tentang ungkapan, pepatah-petitih, mamangan, dan pantun-pantun. Aku menyesal juga, mengapa aku suka menyuruhnya memperhatikan berbagai iklan di surat kabar karena aku menyeretnya untuk jadi desainer kelak. Ternyata, dia justru jadi kritis dan memojokkan posisiku sebagai kakek.
“Dan lagi kek,” katanya terus. “Adat Basandi Syara, Syara Basandi Kitabullah itu kan sudah dibuatkan perdanya oleh masing-masing kabupaten dan kota. Lho, kenapa ada lagi yang memperbaharuinya melalui kongres kebudayaan? Apa kongres kebudayaan Minangkabau itu sengahja diadakan untuk membatalkan perda-perda yang sudah disahkan?Hebat benar kongres itu. Tentu ada superbodynya dong Kek?”
Ah, semakin melebar persoalan yang ditanyakan cucuku. Superbody lagi! Karena kesal terdesak oleh tudingan cucuku, lalu aku berteriak sekeras-kerasnya. Melepaskan kekesalanku. “Persekotnya sudah diterima! Bagaimana menolaknya!” kataku tidak karuan.***
***Catatan: tulisan ini diambil dari catatan (alm) Wisran Hadi di account fb-nya. Dimuat di blog ini untuk mengenang (alm) Pak Wis (begitu ia biasa disapa) yang dikenal sebagai seorang budayawan.