Oleh: Rinaldi
I. Pendahuluan
Artikel ini membahas tentang fenomena yang muncul kepermukaan akhir-akhirnya, terutama pembelaan yang dilakukan advokat terhadap tersangka yang terlibat kasus korupsi, kemudian malah, menyeret advokat menjadi terlibat kasus korupsi. Benarkah membela kasus korupsi dengan korupsi ? Kenapa Kode etik advokat pada titik ini tidak mampu mencegah advokat terlibat korupsi ? Dapatkah tersangka korupsi dibela advokat yang bersih dan jujur ?II. Fenomena Keterlibatan Advokat kasus Korupsi
Berbagai fenomena perilaku advokat akhir-akhir ini mengapung kepermukaan, seperti advokat yang terlibat korupsi karena menyuap penegak hukum dalam melakukan pembelaan kasus korupsi kliennya.Seperti diberitakan yang diberitakan Vivanews tanggal 23 Juli 2013 Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap oknum pegawai Pusdiklat Mahkamah Agung, Djodi Supratman (DS) dan seorang pengacara dari kantor Firma Hotma Sitompul, Mario C Bernardo (MCB) pada Kamis, 25 Juli 2013 Jum'at, 26 Juli 2013, 12:12 Ita Lismawati F. Malau, Dedy Priatmojo.
Bentangan kasus advokat yang terlibat korupsi bisa kita lihat dalam.catatan ICW sebagaimana diberitakan Vivanews,, Haposan Hutagalung.Dia terlibat dalam mafia kasus Gayus Halomoan Tambunan dan suap kepada Komisaris Jenderal Susno Duadji sewaktu menjabat Kepala Bareskrim Polri. Lambertus Palang Ama. Terlibat dalam kasus Gayus Halomoan Tambunan 2010. Divonis Pengadilan Negeri Jakarta Selatan 3 tahun penjara ditambah denda Rp 150 juta.
Pertanyaan berikutnya kenapa banyak advokat yang terlibat kasus suap dalam membela klien ?
Menurut penulis ada beberapa hal yang menyebabkan kasus tersebut terjadi, pertama, Kurangnya professional advokad. Jujur kita akui ada segelintir advokat yang mengandalkan kemampuannya melobi pihak-pihak tertentu untuk memenangkan kliennya, caranya, ya dengan menyuap pihak yang berkompeten, seperti hakim. Perilaku bak gayung bersambut dengan perilaku sebagian hakim yang juga suka menerima suap dari pihak yang berperkara. Selayaknya seorang advokat yang professional dalam membela klien tentunya harus mengandalkan keahliannya dalam mebangunan argumentasi hukum bukan dengan cara menyuap.
Kedua, adalah adanya mafia hukum yang mengegorogoti dunia hukum, praktek mafia hukum sudah membangun image dalam benak pihak berperkara bahwa benar saja belum cukup dalam mengurus perkara klien, tetapi harus ditambah dengan kemampuan untuk menyervis pihak yang memutus perkara. Kondisi ini berakibat kepada perilaku advokat, bahwa meskipun benar dalam menyampaikan pembelaan jangan harap akan mampu memenangkan perkara, tanpa menyuap, maka jadilah sejumlah advokat menyuap hakim atau pihak lain yang dapat mempengaruhi putusan hakim.
Ketiga, lemahnya sanksi bagi pengacara nakal, sanksi merupakan salah satu komponen yang dapat merubah perilaku seseorang, maka dalam praktik selama ini pelaksanaan sanksi bagi advokat maupun kantor tempat dia bekerja tidak tegas. Misalnya jika ada salah seorang dari anggota advokat pada salah satu kantor advokat terlibat korupsi, maka sanksinya tidak hanya pada pribadi yang bersangkutan tetapi juga bagi kantornya harus ditutup.
Kita mengharapkan dalam kode etik memuat secara tegas dan detail sanksi, misalnya, advokat yang terlibat korupasi, maka baginya diberi sanksi tidak dibolehkan praktek sebagai pengacara seumur hidup. Hal yang sama juga berlaku bagi kantor tempat dia bekerja, yaitu pimpinan kantor tempat dia bekerja harus dipecat jadi advokat dan kantornya harus ditutup untuk selamanya.
Sulit memang, hal ini disebabkan sifat loyalitas anggota organisasi profesi terhadap anggotanya melebihi dari keinginan untuk menjadi profesi hukum, sehingga sanksi yang diberikan hanya teguran atau larangan berpraktik dalam waktu tertentu saja, bukan seumur hidup.
III. Kesimpulan
Dari permasalahan di atas dapat disimpulkan, bahwa untuk memperbaiki hukum di Indonesia perlu dimulai dari penegak hukum masing-masing. Ironisnya yang adalah sebaliknya, kita disuguhi fenomena keterlibatan beberapa oknum dari profesi penegak hukum yang terlibat korupsi seperti advokat
Fenomena ini didorong oleh beberapa factor seperti profesionalime advokat, adanya sinyalimen mafia hukum yang membuat image bahwa membela perkara tidak cukup hanya dengan argumentasi hukum, tetapi perlu kepiawaian menyervis pengambil putusan dengan suap, masih lemahnya sanksi bagi advokat yang melanggar hukum.
Untuk itu kedepan diperlukan adanya ketegasan dan sanksi yang berat bagi oknum advokat yang melanggar kode etik dalam melaksanakan tugas(Rinaldi)*