Oleh: Drs. Dasril Ahmad
SIAPA yang tak kenal dengan novel “Warisan” karya Chairul Harun? Pada tahun 1976, novel ini bersama novel “Gumam” Darman Moenir dan novel “Panggil Aku Sakai” Ediruslan Pe Amanriza mendapat penghargaan yakni di rekomendasi oleh Dewan Kesenian Jakarta. Tapi pada waktu itu, menurut Darman Moenir, novel “Warisan” cuma dianggap sebagai bacaan biasa saja. Kemudian, pada tahun 1983 “Warisan” terpilih sebagai Buku Terbaik, yang membuat nama Chairul Harun melejit ke permukaan dunia sastra Indonesia. Atas keberhasilan itu, masih di tahun yang sama, Chairul Harun “diperhelatkan” oleh seniman/budayawan di Padang, Sumatera Barat, karena dipandang telah punya reputasi sastra terbaik di tingkat nasional. Ini pula antara lain yang menyebabkan “Warisan” kemudian mulai mendapat pembicaraan luas di kalangan kritikus sastra Indonesia, baik berupa pembicaraan lepas di media cetak koran dan majalah, maupun pembicaraan ilmiah yang dilakukan oleh mahasiswa sastra sebagai bahan penelitian untuk skripsi/tesis kesarjanaan mereka.
Cerita dalam novel “Warisan” bertolak dari warna lokal budaya Minangkabau. Justru itu, untuk memahaminya seseorang mestilah terlebih dahulu membekali diri dengan pemahaman yang intens terhadap adat dan budaya Minangkabau itu sendiri. Menariknya novel ini justru terletak pada kekreatifan pengarangnya yang tak suka dibelenggu oleh ketentuan adat dan budaya yang berlaku di Minangkabau, tapi diam-diam ia berusaha untuk memberontak dengan menampilkan tokoh-tokoh yang sepertinya telah dipersiapkan khusus untuk itu.
Rafilus,tokoh yang meraih gelar kesarjanaan di kota besar Jakarta, merupakan tokoh utama yang membawa ide-ide prinsipil, sesuai dengan persoalan utama (tema) yang diungkapkan novel ini. Rafilus sengaja pulang ke kampung ayahnya di Kuraitaji, Pariaman, Sumatera Barat, dengan niat untuk membawa ayahnya berobat ke Jakarta. Akan tetapi setibanya di kampung, niat baik Rafilus mendapat benturan dengan berbagai persoalan baru yang tak pernah diduga sebelumnya. Kehadiran Rafilus ternyata dicurigai oleh orang-orang kampung ayahnya yang merasa mempunyai kepentingan dengan harta-benda ayahnya tersebut. Hal ini bisa dimaklumi, karena Bagindo Thahar, ayah Rafilus, di kampung itu terkenal sebagai seorang bangsawan terpandang dan berharta, yang selalu bermurah hati memberikan bantuan kepada masyarakat yang membutuhkan bantuannya.
Tokoh-tokoh yang ditampilkan Chairul Harun dalam novel ini rata-rata beranggapan bahwa kepulangan Rafilus (di saat ayahnya sedang sakit) adalah untuk keperluan yang berhubungan dengan soal (pembagian) harta-benda ayahnya. Tokoh itu, seperti Karumik(seorang parewa) dan Sidi Karawai (wali nagari), adalah dua tokoh yang sama-sama menginginkan harta-benda itu,meskipun sedikit. Begitu pula tokoh lain, Tuanku Salim danAsnah serta beberapa saudara jauh Bagindo Thahar, juga punya keinginan yang sama. “Perempuan-perempuan muda, janda-janda kesepian dan menggairahkan; semuanya mau membujuk, mau menipu, hendak mendapatkan keuntungan dari kematian keluarga Bagindo Thahar. Semuanya menjengkelkan Rafilus.” (hal. 39). Lain halnya Rafilus. Ia sedikitpun tak berniat untuk memperoleh harta-benda ayahnya itu. Ia hanya berpandangan, “Ayah…,Ayah tahu bahwa kami cukup punya kekayaan di Jakarta. Kami punya rumah dan perusahaan. Semua itu tidak bersumber dari harta kaum ayah. Dan kekayaan kami jauh lebih banyak dari kekayaan ayah sekarang.” (hal. 18).
Di samping itu, kehadiran Rafilus ternyata juga membawa berbagai macam persoalan seperti, perkawinan, skandal , berbagai kematian, selain harta pusaka. Dari segi perkawinan, Chairul Harun secara tegas mengemukakan bahwa merupakan suatu kebanggaan bila seorang lelaki terhormat di daerah Pariaman itu punya istri banyak. Lihatlah seperti Bagindo Thahar yang punya istri tiga, Sidi Badaruddin punya istri empat. Begitu juga telah merupakan kebanggaan tersendiri pula bila seorang perempuan punya suami lebih darisatu, seperti Siti Baniar punya suami dua, Farida , Maimunah dan Upik Denok masing-masingnya dua kali kawin (menikah).
Tokoh lain, Rakena, punya kepentingan khusus dengan Rafilus. Ia berniat hendak menjodohkan anaknya, Arneti, dengan Rafilus. Sementara Arneti, yang hampir meraih gelar sarjana muda, ternyata punya kenangan tersendiri dengan Rafilus, yaitu kenangan manis pada masa kanak-kanak, main penganten-pengentenan. Dan juga, bukankah Rafilus sekarang telah bergerar Doktorandus? Sebuah lambang yang patut dibanggakan pula. Biarpun akhirnya perkawinan Arneti dengan Rafilus berlangsung juga dengan uang jemputan sebesar 20 ringgit mas, tetapi jemputan itu bagi Rafilus dipandang sebagai harga sebuah kepalsuan belaka. Rafilus juga meremehkan nilai perkawinan itu sendiri, tak obahnya “sebagai afdruk kilat dari sebuah toleransi,” (hal. 80). Ini semua disebabkan karena Rafilus tahu bahwa Arneti tidaklah seorang gadis yang “suci” lagi. Setidak-tidaknya bagi Rafilus perkawinan itu sebagai lambang untuk memperoleh status “janda resmi” bagi Arneti. Hal ini lebih baik daripada selamanya menyandang status janda yang “tak resmi”.
Tokoh Arneti adalah tipe gadis yang hidup dengan latar belakang kehidupan kota, dengan setumpuk pengalaman yang bertolak dari keberaniannya dalam menyerempet bahaya. Arneti kemudian menjadi korban dari kebebasan pergaulan hidup di kota. Ketidaksucian Arneti ini sebetulnya tidak menjadi persoalan berarti bagi Rafilus, tetapi Rafilus juga menilai Arneti sebagai perempuan yang tak sopan terhadap keluarganya, sebagai suatu sikap yang tak wajar diperlihatkan oleh seseorang yang berpendidikan tinggi, seperti Arneti. Sehingga tidaklah heran, kalau pada malam pertama perkawinannya, Rafilus “minggat” ke rumah ayahnya.
Tokoh Farida, agaknya pantas berbangga diri, karena dia berhasil membawa lari Rafilus, justru pada malam pertama perkawinan Rafilus dengan Arneti. “Orang bisa mengatakan aku hebat, seorang janda berhasil melarikan suami orang pada malam pertama,” (hal.114). Tampaknya, memang suatu kebanggaan bagi seorang wanita yang berhasil menggaet hati Rafilus. Seperti halnya Farida, dia tidak menuntut banyak dari Rafilus, cukup hanya sebidang tanah untuk perumahan dan malam-malam yang mengesankan.
Ungku Gadang, merupakan tokoh yang tidak konsisten. Semula ia menyebarkan fitnah dengan jalan mendatangi setiap pemegang gadai harta-benda Bagindo Thahar, agar jangan mau kalau Rafilus datang untuk menebusnya. Ungku Gadang berkata, “Bila Rafilus bermaksud menebus harta ayahnya jangan ada yang mau. Pokoknya kalian harus mengelicik, kalau Rafilus ingin berurusan,” (hal. 31). Ungku Gadang kemudian juga berusaha mempengaruhi semua cerdik-pandai di kampung itu, termasuk wali nagari. Namun pada akhirnya sikap Ungku Gadang demikian berubah drastis. Ia serta-merta memihak kepada Rafilus, setelah diumpan Rafilus dengan dan uang.
Tuanku Salim, Asnah dan Tan Rudin, adalah tokoh-tokoh lainnya yang mempunyai watak“rakus” untuk memperoleh harta-benda milik Bagindo Thahar. Watak demikian terlihat ketika Sidi Badaruddin (anak Siti Baniar atau kemenakan BagindoThahar) mati secara mengerikan, maka tokoh-tokoh ini berusaha menyebarkan fitnah bahwa kematian Sidi Badaruddin itu adalah akibat keracunan yang diberikan oleh Murni (istri muda Bagindo Thahar). Fitnah ini dimaksudkan supaya Bagindo Thahar “remuk” jiwanya, yang kemudian akan mempercepat ajalnya. Tentu pula ada niat agar setelah itu Rafilus kembali ke Jakarta tanpa membawa apa-apa. Tapi akhirnya fitnah itu tak membuahkan hasil, karena Ungku Gadang – yang telah diberi dan segenggam uang oleh Rafilus, berhasil pula menyangkalnya.
Bagindo Thahar, ayah kandung Rafilus, termasuk tokoh yang sepenuhnya menaruh kepercayaan kepada anaknya itu untuk bisa menyelesaikan segala sengketa harta-benda yang timbul setelah ia tiada. Bagindo Thahar bagitu yakin pada kemampuan Rafilus untuk mengatasi hal itu, karena sesungguhnya warisan yang diperebutkan itu tiada lain adalah, “ …Warisanku adalah darah, perangai serta semangatku. Seluruh anak-anakku telah menerimanya. Tetapi masih ada anak-anakku yang beranggapan belum menerima warisanku,” (hal. 122). Atas keyakinan Bagindo Thahar terhadap kemampuan Rafilus, dia pesankan, “Kau sudah sekolah tinggi. Tentu cukup cerdik. Harusnya kecerdikanmu mengatasi seluruh penduduk negeri ini. Aku percaya kau memang bisa. Yang penting kau harus menghindari diri dari keinginan ikut memiliki warisanku,” (hal. 123). Sehinga akhirnya, tampillah Rafilus sebagai penengah dalam mengadili masalah harta-benda warisan ayahnya itu, yang sesungguhnya tak lebih daripada utang-piutang yang ditimbulkan oleh Sidi Badaruddin, Tuanku Salim, Siti Baniar dan Asnah.
Kemudian tokoh utama, Rafilus dalam novel ini ditampilkan sebagai tokoh penegak nilai-nilai kebenaran dalam upaya kembali mengangkat martabat kebangsawanan kaum ayahnya. Akan tetapi Rafilus “rapuh”untuk menghindari diri dari skandal sek-s yang mengejarnya dari segala arah dan jurusan. Ia tak kuasa menyelamatkan dirinya untuk tidak terjerumus ke dalamnya. Rafilus punya skandal sek-s dengan Arneti, Upik Denok, Maimunah dan Farida. Kritikus sastra Mursal Esten menilai bahwa skandal-skandal sek-s yang dilakukan Rafilus dalam novel “Warisan” hampir tak ada hubungan dengan apa yang menjadi persoalan utama (tema) cerita dari novel ini. (Haluan, 11 Desember1979).
Bagi saya, sebagai karya sastra, novel “Warisan” karya Chairul Harun ini baik. Di dalamnya terungkap “sisi-sisi gelap” kehidupan masyarakat Minangkabau sehari-hari yang tak semua orang mampu menangkap dan mengungkapkannya. Masyarakat Minangkabau yang terkenal taat pada adatnya dan teguh memeluk agamanya, yaitu Islam, ternyata hal itu cuma tampak di permukaan saja. “Di atas permukaan, dalam kehidupan masyarakat, semua tampak demikian ketat, demikian fanatik dengan nilai-nilai adat dan kesusilaan. Tapi jauh di bawah mengalir dengan deras arus kebebasan untuk menikmati kehidupan duniawi,” (hal. 105).
Diakui memang bahwa novel “Warisan” berisi pembaharuan, yakni usaha pemberontakan Chairul Harun lewat tokoh-tokoh yang tampil menyoroti segala kepincangan pelaksanaan adat dan agama di dalam kehidupan masyarakat Minangkabau sehari-hari. Tetapi hal itu baru terungkap setelah kritikus sastra membicarakannya, seperti halnya Mursal Estenmenilai bahwa penyimpangan di dalam novel “Warisan” terlihat pada pembagian harta di Minangkabau yang tak lagi dilakukan oleh seorang mamak, melainkan oleh anak kandung. Inilah sebabnya kemudian S. Amran Tasai mengungkapkan bahwa di dalam novel“Warisan” adat Minangkabau telah mati. Sebelum itu, tentu anggapan bahwa novel Warisan sebagai bacaan biasa, adalah suatu anggapan yang wajar-wajar saja. (Padang, 1983 –1991) ***
- Dasril Ahmad, eseis dan kritikus sastra berdomisili di Padang, Sumbar.