Oleh: Drs. Dasril Ahmad
KETIKA berkunjung ke kediaman sastrawan dan budayawan A.A.Navis pada bulan Mei 1990 lalu, saya dilontarkan pertanyaan yang bernada mengelitik dan sekaligus menyindir, “apa kerjanya sarjana sastra itu?” Pertanyaan itu dilontarkan Navis dalam bincang-bincang kami tentang masalah minat baca masyarakat yang rendah terhadap sastra dikaitkan dengan sistem dan kurikulum pengajaran sastra Indonesia di berbagai jenjang pendidikan, yang ternyata tidak mampu meningkatkan apresiasi sastra di tengah masyarakat. “Saya heran, berapa banyaknya perguruan tinggi di Indonesia yang memiliki fakultas sastra dewasa ini, dan malah telah menghasilkan sarjana (ahli) sastra dalam jumlah yang banyak pula. Tapi semakin banyak sarjana sastra, ternyata minat baca dan apresiasi sastra masyarakat makin macet,. Karya sastra makin terpencil di tengah masyarakat, dan pandangan orang terhadap sastra dan kebudayaan pun semakin menurun. Lalu, apa kerjanya sarjana sastra itu?” ujar sastrawan yang terkenal dengan cerpen “Robohnya Surau Kami” ini penuh heran.
Menurut Navis pada waktu bincang-bincang itu, persoalan apresiasi sastra masyarakat yang buruk dan kondisi sastra yang terpencil di tengah masyarakat tak akan terjadi, kalau saja para sarjana sastra yang menjadi guru dan dosen sastra itu mampu bekerja secara professional. Sekarang kenyataannya, di samping guru dan dosen sastra tidak professional, juga kurikulum pengajaran sastra yang dipakai sama-sekali tidak bersifat kreatif. Sebab, mana mungkin anak didik (siswa dan mahasiswa) akan jeli dan tajam apresiasinya terhadap sastra yang terus berkembang pesat, kalau kepada mereka cuma disodorkan materi dari buku teks semata, tanpa adanya upaya kreatif dari guru dan dosen untuk menjelaskan sastra dalam konteks yang relevan dengan iklim perkembangan sastra itu sendiri.
Di samping itu, kemampuan apresiasi sastra yang dimiliki para sarjana sastra (yang jadi guru dan dosen) itu pun, juga diragukan Navis. “Saya melihat banyak guru dan juga dosen ilmu sastra itu yang rendah apresiasi sastranya karena tidak suka membaca, baik buku-buku teori sastra maupun karya-karya sastra yang banyak dipublikasikan di koran dan di majalah sastra yang ada,” ujarnya. “Kalau anda mau,” tambahnya, “silahkan lakukan observasi ke berbagai sekolah dan perguruan tinggi sastra yang ada di Indonesia, berapa persen dari guru dan dosen sastra itu yang berminat membeli dan membaca majalah sastraHorison setiap bulannya. Saya rasa sedikit sekali, dibandingkan dengan mereka yang gemar dan berminat tinggi untuk membeli dan membaca majalah hiburan seperti Sarinah,Kartini, Gadis, dan lain sebagainya itu. Padahal harga majalah sastra Horison relatif lebih murah dibandingkan dengan harga majalah hiburan tersebut,” ujar sastrawan peraih hadiah Kincir Mas dari Radio Nederland atas cerpennya “Jodoh” (1975) ini
Selain berprofesi sebagai guru dan dosen sastra, sarjana sastra juga bisa tumbuh dan eksis sebagai penulis dan kritikus sastra. Tapi menurut Navis, kritik yang dikerjakan oleh orang akademis sastra itu biasanya hanya mengutip berbagai pendapat orang, lalu meramunya menjadi padu di sana-sini, dan kemudian “barang-ramuan” itulah yang “diperjual-belikannya”. Jadi bagi pengarang, kritik macam itu tak ada gunanya, tidak menguntungkan bagi pengembangan kreatifitas pengarang. Berbeda halnya dengan kritik yang dilakukan oleh seorang pengarang, yang biasanya telaahnya lebih menukik dan menyentuh, yang dapat dijadikan patokan untuk memotivasi denyut kreatifitas si pengarang.
Namun demikian, budayawan A.A. Navis yang juga kesohor lewat bukunya “Alam Terkembang Jadi Guru: Adat dan Kebudayaan Minangkabau” (1984) itu, mengajak agar kita tak usah terlalu risau memikirkan masalah apresiasi sastra masyarakat yang rendah, dan kondisi sastra yang terpencil di tengah masyarakat itu. Menurut dia, solusinya adalah dengan menumbuhkan dan meningkatkan kebiasaan membaca di kalangan sarjana sastra yang menjadi guru dan dosen sastra tersebut, sekaligus menuntut perhatian besar dari mereka untuk aktif mengikuti peristiwa sastra-budaya yang diadakan. Dengan banyak membaca dan mengikuti berbagai peristiwa budaya itu, diharapkan kelak para guru dan dosen sastra itu akan mempunyai sikap budaya yang baik; kritis dan kreatif. Hal ini nantinya akan berpengaruh terhadap kinerja mereka dalam mengajar sastra untuk meningkatkan apresiasi dan daya kreatif sastra para siswa dan mahasiswanya.
Kepada para sarjana sastra, baik yang berprofesi sebagai guru dan dosen maupun penulis dan kritikus sastra, Navis mengharapkan agar bekerjalah secara professional, dengan mengutamakan kepentingan untuk pemasyarakatan dan pengembangan sastra. Ini semua dimaksudkan agar minat baca sastra masyarakat tumbuh dengan baik, apresiasi masyarakat terhadap sastra juga meningkat, eksistensi sastra di tengah masyarakat tak lagi macet/terpencil, dan sikap masyarakat terhadap kebudayaan pun akan lebih baik di masa mendatang.
***
SETELAH 23 tahun bincang-bincang saya dengan sastrawan dan budayawan A.A. Navis berlalu, ternyata kondisi pengajaran sastra dalam upaya menumbuhkan minat baca dan meningkatkan apresiasi sastra di tengah masyarakat belum juga menunjukkan peningkatan yang signifikan, jika boleh dikatakan semakin “memprihatinkan”. Padahal, dalam rentang waktu 23 tahun itu, sarjana sastra pun jumlahnya semakin bertambah banyak. Mereka tidak hanya sarjana jenjang S1, tetapi yang berprofesi sebagai guru dan dosen rata-rata telah meraih gelar akademik magister (S2), malah ada juga yang telah meraih gelar doktor sastra (S3), dan guru besar (professor) ilmu sastra, yang mengabdi di berbagai perguruan tinggi sastra yang ada.
Akan tetapi, semakin banyak sarjana sastra dan semakin tinggi gelar akademik yang diraihnya, ternyata minat baca dan apresiasi masyarakat terhadap sastra tak juga kunjung meningkat, malah cenderung jalan di tempat! Eksistensi mereka sepertinya tak membawa perubahan yang berarti terhadap penumbuhan minat baca dan peningkatan apresiasi sastra di tengah masyarakat tersebut. Mungkin karena sehari-hari mereka terlalu sibuk mengajar di (banyak) sekolah dan kampus, terlalu sibuk meneliti mengejar anggaran proyek penelitian, dan terlalu sibuk menulis/menerbitkan buku hasil penelitian guna percepatan kenaikan pangkat, maka mereka pun tak sempat (tak mampu?) lagi membaca karya sastra dan menulis kritik terhadap karya sastra tersebut di media massa cetak, seperti koran dan majalah sastra. Padahal, kritik sastra itu dapat “menjembatani” keterpencilan karya sastra di tengah masyarakat, dan berdampak positif pula terhadap peningkatan apresiasi sastra masyarakat.
Dengan kondisi miris demikian, maka sangat wajarlah kalau kini banyak orang mempertanyakan eksistensi sarjana sastra dalam dinamika pemasyarakatan dan perkembangan sastra Indonesia mutakhir. Justru itulah, tiba-tiba saya kembali teringat pertanyaan sastrawan dan budayawan A.A. Navis yang bernada mengelitik dan menyindir kepada saya dulu, “apa kerjanya sarjana sastra itu?”***(Padang, 8 Mei 2013)
-- Dasril Ahmad; penulis tinggal di Padang