Oleh Dasril Ahmad
DI INDONESIA, dalam bulan Juli terdapat dua hari penting di bidang kesusastraan. Pertama, Hari SastraIndonesia yang ditetapkan tanggal 3 Juli sesuai dengan tanggal kelahiran sastrawan terkemuka Abdoel Moeis, yang lahir tanggal 3 Juli 1883 di Bukittinggi. Kedua, Hari Puisi Indonesia yang ditetapkan tanggal 26Juli, tanggal yang diambil dari kelahiran Chairil Anwar, penyair Pelopor Angkatan 45 itu yang berasal dari Sumatera Barat, lahir 26 Juli 1922.
Penetapan dua hari sastra ini, menurut saya, penting dicatat terutama dari aspek urgensinya kehadiran karya sastra dalam kehidupan kita. Terutama puisi, dengan kebijakan menetapkan Hari Puisi Indonesia berarti kita telah memandang puisi sebagai jenis karya sastra yang penting dan dibutuhkan, yang eksistensinya memberikan manfaat positif bagi kehidupan. Puisi telah menjadi karya sastra yang layak dan patut diapresiasi; bisadalam bentuk pembacaan, pagelaran, dan diskusi puisi itu sendiri dari segala aspek sebagai upaya kita untuk lebih mengarifi hidup dan kehidupan ini melalui puisi.
Dengan penetapan Hari Puisi Indonesia, maka sudah selayaknya kita memberikan apresiasi tinggi, baik terhadap puisi sebagai karya sastra dipandang dari urgensinya terhadap kehidupan maupun terhadap penyair. Sejak doeloe sebutan pujangga yang begitu diagungkan,lebih kerap diidentikkan dengan seorang penyair, padahal menurut KBBI, pujangga adalah pengarang hasil-hasil sastra,baik puisi maupun prosa, termasuk juga ahli pikir dan ahli sastra. Nah, jika penetapan Hari Sastra Indonesia ini mengambil tanggal dan bulan kelahiran penyair Chairil Anwar, tentu mengajak kita untuk selalu mengenang dan memberikan apresiasi tinggi terhadap seorang Chairil Anwar dalam kapasitasnya sebagai penyair Indonesia terkemuka, yang telah membawa pembaharuan signifikan terhadap perkembangan perpuisian Indonesia modern.
“Berhadapan dengan Chairil Anwar kita berhadapan dengan sebuah pribadi yang kompleks,sesuatu yang selalu menarik untuk dibicarakan dan dikenang. Chairil Anwar, salah satu penyair Indonesia yang membawa perubahan besar dalam perpuisian Indonesia modern. Chairil Anwar adalah penyair yang telah membuat sejarah, sedangkan kita barada dalam sejarah itu. Dengan demikian,sangat pantas kalau tanggal dan bulan lahir sang penyair asal Nagari Taeh Kabupaten Limo Puluah Koto itu dijadikan sebagai Hari Puisi Indonesia, sebagai bentuk apresiasi dan penghormatan kita terhadap beliau,” kata penyair Adri Sandra dalam inboxnya kepada saya baru-baru ini. Adri Sandra yang bermukim di Payakumbuh ini, termasuk salah seorang dari 20 penyair Indonesia yang diundang ke Pekan Hari Puisi Indonesia di TIM Jakarta tgl. 27 Juli 2013, dan harus membacakan puisi karya Chairil Anwar , serta puisi untuk Chairil Anwar karya masing-masing penyair yang diundang.
Penetapan Hari Puisi Indonesia yang diambil dari tanggal dan bulan kelahiran seorang penyair,mengingatkan kita bahwa ternyata profesi sebagai penyair, dikaitkan dengan kualitas puisi yang dihasilkan serta dampak puisi itu terhadap kehidupan, akan dipandang penting dan membawa prestise tinggi. Betapa tidak,banyak penyair Indonesia yang selalu diingat dan diperingati hari lahir dan tangal kewafatannya, tapi sedikit sastrawan Indonesia (yang bukan penyair) mendapat perlakuan seperti itu. Amir Hamzah dan Chairil Anwar merupakan dua penyair penting Indonesia yang selalu dikenang dan diperingati, sementara penyair-penyair lainnya sepertinya terlupakan. Begitu juga, sastrawan Subagio Sastrowardoyo lebih dikenal dan dikenang kepenyairannya (dengan puisi-puisinya yang menggugah kehidupan kita), ketimbang sebagai cerpenis, eseis dan kritikus sastra yang terkemuka di Indonesia. Dengan demikian jelaslah bahwa kehadiran puisi amat berarti bagi kehidupan kita.
Sepertidi kemukakan J.L. Moreno, “Lebih penting dari puisi ialah efeknya. Sebuah puisi dapat merangsang seratus perbuatan heroik.” Sementara Norman Podhoretz melihat bahwa sastra (termasuk puisi) dapat memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap cara orang berpikir mengenai hidup;mengenai baik dan buruk, mengenai benar dan salah, mengenai cara hidupnya sendiri serta bangsanya.
Sebetulnya, jauh sebelum Hari Puisi Indonesia ditetapkan, eksistensi puisi dalam kehidupan di tengah masyarakat sehari-hari tak pula bisa dibilang sepi atau terpencil. Dibanding dengan cerpen, novel dan naskah drama, puisi lebih dominan mewarnai kehidupan masyarakat kita sehari-hari. Buktinya, puisi selalu menghiasi berbagai acara seremonial dalam skala kecil maupun besar yang dilakukan masyarakat. Misalnya, pada pembukaan berbagai acara di lembaga pendidikan, acara-acara kemasyarakatan di tingkat kelurahan, kecamatan, kabupaten/kota dan juga provinsi kerap diisi dengan pembacaan puisi yang senafas dengan tema acara tersebut. Tak terkcuali pula, pada pembukaan acara Halal BiHalal di berbagai kantor dan instansi tak jarang juga ditampilkan pembacaan puisi religius, yang mewarnai acara tersebut menjadi artistik dan menyentuh. Bahkan pada acara pembukaan Pekan Olah Raga Nasional (PON) XVIII di Riau 2012 lalu juga ditampilkan pembacaan puisi oleh penyair Sutardji Calzoum Bachri. Belum lagi, kita juga sering mendengar dan menyaksikan acara lomba membaca dan menulis puisi, dan beragam bentuk pagelaran puisi lainnya, seperti musikalisasi puisi, dramatisasi puisi dan parade baca puisi yang biasanya melibatkan para tokoh dan/atau pejabat pemerintahan dan swasta setempat, seniman, budayawan dan politikus. Kegiatan seperti itu jelas memperlihatkan bahwa sesungguhnya puisi jauh lebih dominan memberi polesan warna terhadap berbagai aktifitas ditengah kehidupan masyarakat sehari-hari, ketimbang cerpen, novel, dan naskah drama.
Di samping dalam bentuk pembacaan/pagelaran puisi seperti di atas, kegiatan penulisan puisi ditengah masyarakat pun tumbuh dan berkembang menggembirakan. Puisi, di samping menghiasi lembaran media cetak seperti surat kabar dan majalah (termasuk rubrik untuk puisi anak-anak dan remaja), juga lebih banyak muncul di media online seperti di jejaring social facebook. Malah di facebook berbagai group sastra tumbuh bak cendawan di musim hujan, sehingga tak heran kalau puluhan bahkan mungkin ratusan puisi muncul menghiasi status facebook setiap harinya. Facebook kini telah berfungsi ganda, selain sebagai media informasi umumj uga lebih dominan dijadikan media pemublikasian/pemasyarakatan puisi yang dibanggakan, di mana penyairnya sendiri langsung menjadi redaktur terhadap puisi yang akan dipostingnya tersebut.Penulisan puisi juga berlangsung diam-diam menghiasi buku-buku agenda/diary anak-anak sekolah, remaja dan masyarakat umumnya dari berbagai status dan latar belakang pendidikan. Malah teman saya Harfiandri Damanhuri, dosen yang kandidat doktor bidang perikanan di Universitas Bung Hatta, pun diam-diam juga senang menulis puisi. Diam-diam pula ia menyerahkan kumpulan puisinya kepada saya baru-baru ini. Kumpulan puisi berjudul “Merah” itu memuat 40 puisi Harfiandri Damanhuri yang ditulisnya dari 1987 sampai 2003.
Meningkatnya kegiatan (membaca, pagelaran dan penulisan) perpuisian di tengah masyarakat dewasa ini, menunjukkan bahwa puisi sebagai karya sastra yang sederhana bentuknya dan kompleks maknanya ini, dirasakan mampu menyuarakan suasana hati dan pikiran. Beribu-ribu orang keranjingan menulis puisi, tapi mereka belum bisa dikatakan penyair. Menulis puisi semakin hari semakin merasuk dalam hati masyarakat, karena puisi bukanlah hal yang asing dalam kehidupan masyarakat kita kini, tapi sudah termasuk sesuatu yang dibutuhkan dalam hidup. Seperti dikemukakan kritikus sastra M.S. Hutagalung,“Puisi benar-benar kita butuhkan, manakala kita bukan hanya menginginkan dokter-dokter yang pintar tetapi tanpa belas-kasihan, jaksa dan hakim yang cerdik tetapi kurang bijak, insinyur-insinyur yang pintar tetapi kurang kreatif. Tetapi lebih daripada itu, pada tempatnyalah apabila jauh sebelum itu kita terlebih dulu mengisi diri dan hati kita masing-masing dengan kecintaan terhadap puisi atau seni pada umumnya.
DI INDONESIA, kini kita telah menetapkan Hari Puisi dan Hari Sastra Indonesia.Dengan penetapan dua hari penting di bidang sastra ini, tentu saja diharapkan kreativitas bersastra, terutama berpuisi di tengah masyarakat semakin meningkat. Karya-karya sastra sudah tak lagi terpencil di dalam kehidupan masyarakat, sebaliknya justru karya sastra semakin menjadi “kebutuhan”masyarakat untuk lebih meningkatkan kearifan dan rasa humanisme dalam hidup terhadap sesama. Betapa pun sampai kini ungkapan klise sastra (termasuk puisi) mampu menghaluskan budi pekerti manusia masih kukuh dipercaya. Sebuah puisi pun mampu membuat orang lupa akan kegetiran hidup yang mederanya, dan dengan puisi pula orang jadi lupa untuk melakukan tindakan bunuh diri, seperti diungkapkan penyair Subagio Sastrowardoyo dalam puisi berjudul “Sajak” ini.
“Apakah artisajak ini/ Kalau anak semalam batuk-batuk,/ bau vicks dan kayu putih/ melekat di kelambu/ Kalau istri terus mengeluh/ tentang kurang tidur, tentang/ gajiku yang tekor buat/bayar dokter, bujang dan makan sehari/ Kalau terbayang pantalon/ sudah sebulan sobek tak terjahit/Apa arti sajak ini/ Kalau saban malam aku lama terbangun/ hidup ini makin mengikat dan mengurung/ Apakah arti sajak ini/Piaraan anggerek tricolor dirumah atau/ pelarian kecut ke hari akhir?// Ah, sajak ini,/ mengingatkan aku kepada langit dan mega/ Sajak ini mengingatkan kepada kisah dan keabadian/Sajak ini melupakan aku kepada pisau dan tali/Sajak ini melupakan kepada bunuh diri” (Dari Kumpulan “Dan Kematian Makin Akrab” , 1995, hal. 6)
(Padang, 25 Juli 2013).*** Dasril Ahmad,Penulis sastra, tinggal di kota Padang.
*** Dimuat di rubrik Seni-Budaya Koran Pagi Padang Ekspres, Minggu, 4 Agustus 2013, halaman19