Oleh : Dr Boy Yendra Tamin, SH.MH
Dosen Fakultas Hukum Universitas Bung Hatta
I. Pendahluan.
Ketika potensi sumber daya alam daratan dirasakan mulai berkurang dan makin menipis, maka potensi sumber daya alam dan jasa lingkungan pesisir mulai dilirik dan ditempatkan sebagai sector penting bagi penguatan sumber daya nasional ke depan. Hal itu telah mendorong departemen atau instansi berlomba membuat peraturan perundang-undangan sendiri untuk mengelola sumber daya alam atau jasa lingkungan pesisir sesuai kepentingan masing-masing. Pada tingkat local, ada kecenderungan daerah membuat peraturan daerah berdasarkan kepentingan daerah masing-masing. Pengaturan pengelolaan wilayah pesisir yang demikian ini telah dan akan melahirkan ketidak-pastian hukum bagi semua kalangan yang berkaitan dan berkepentingan dengan wilayah pesisir.
Bagi kalangan pemerintahan, ketiadaan pengaturan pengelolaan wilayah pesisir telah menyebabkan tumpang-tindihnya kewenangan antar departemen atau instansi dan kian rumit ketika terjadi “konflik" kewenangan antar daerah pasca kelahiran UU No.22 Tahun 1999. Disisi lain, di wilayah pesisir hampir semua sektor mempunyai kewenangan di situ, mereka mendesain kebijakan berdasarkan kepentingan sektornya. Akibat dari tumpang-tindih kewenangan seperti itu bagi para inverstor dihadapkan pada ketidakpastian berusaha dan birokrasi yang berbelit-belit sehingga menimbulkan ekonomi biaya tinggi. Sedangkan bagi masyarakat pada umumnya, hal itu telah menyebabkan terbatasnya akses dan tidak terjaminnya hak atas pemilikan dan penguasaan sumber daya alam dan jasa-jasa lingkungan pesisir.
Kilasan kondisi diwilayah pesisir sebagaimana dinukil di atas, intinya adalah, bahwa untuk mencapai dayaguna dan hasil guna potensi wilayah pesisir harus dikelola secara terpadu. Harapan itu hanya akan terwujud apabila dalam pengelolaan wilayah pesisir terdapat pengaturan hukum yang mendorong tumbuhnya kepastian hukum bagi setiap kepentingan.
II. PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PENGATURAN HUKUM
Mendisain peraturan diwilayah pesisir bukanlah pekerjaan mudah. Ketidak mudahan itu terutama dikarenakan ada sejumlah kondisi yang sudah melembaga diwilayah pesisir yang tidak dapat dipisahkan dari “pembiaran" wilayah pesisir selama puluhan tahun. Bahkan sudah menjadi kesimpulan publik, bahwa pengelolaan wilayah dan sumber daya di pesisir, selama ini diatur oleh hukum kelautan dan perikanan yang sangat sentralistik, open access dan anti-pluralisme hukum. Hukum kelautan di Indonesia bercirikan open access dan laut dipandang sebagai arena pertarungan bebas. Maka siapa yang kuat di arena itu yang bakal menang.
Pada tingkat lokal pengaturan pengelolan wilayah pesisir akan kian sulit, apabila pengaturan yang dibuat dilakukan tanpa memperhatikan factor sosial budaya yang sudah hidup dan menguat dalam masyarakat local. Dalam hubungan ini misalnya, adanya tradisi lokal atau hak ulayat laut dan itu harus menjadi bagian yang harus dipertimbangkan ketika mendesain suatu kebijakan, bahkan dapat menjadi penentu bagi efektifitas penyusunan peraturan pengelolaan wilayah pesisir pada tingkat local. Pengaturan local dalam pengelolaan wilayah pesisir yang tidak mampu menangkap sentiment local --kearifan-kearifan lingkungan tradisional-- akan gagal dalam pelaksanaannya dan pengaturan local juga akan gagal apabila desain kebijakan yang dibuat tidak mampu mendorong perubahan image masyarakat local selama ini tidak merasa memiliki laut. Urusan laut (wilayah pesisir) adalah urusan pusat.
III. Ranperda Pengelolaan Wilayah Laut Propinsi SUmatera Barat dan Masalahnya.
Secara yudiridis konstitusional berdasarkan Pasal 18 ayat (6) UUD 1945 hal yang tidak boleh dilupakan dalam mendesain suatu peraturan daerah adalah, bahwa pembentukan peraturan daerah adalah untuk melaksanakan otonomi daerah dan tugas pembantuan. Dengan demikian mendesain peraturan daerah, maka sebenarnya kita tengah melakukan suatu penyusunan payung hukum bagi pelaksanaan otonomi daerah dan tugas pembantuan. Dalam konteks ini jelas sangat diperlukan pemahaman yang mendalam terhadap otonomi daerah terlebih dahulu sebelum medesain suatu peraturan daerah.
Kegagalan memahami otonomi daerah seringkali melahirkan konflik-konflik yang tidak terselesaikan dalam menyusun atau mendesain suatu peraturan daerah. Ini terutama disebabkan otonomi daerah cenderung diartikulasikan sebagai a final destination (tujuan akhir). Padahal seharusnya otonomi daerah lebih dipahami sebagai mechanism (mekanisme) dalam menciptakan demokratisasi penyelenggaraan pemerintahan. Mawhood (1987), misalnya secara tegas mendefenisikan desentralisasi sebagai devolusi kekuasaan dari pemerintah pusat ke pemerihan daerah. Oleh karenanya dapat dimengerti mengapa kemudian Mawhood merumuskan tujuan utama dari kebijakan desentralisasi sebagai upaya mewujudkan polical equality, local accountability dan local responsiveness.
Dengan esensi otonomi daerah yang demikian, maka mendesain suatu peraturan daerah tentulah tidak terlepas dari tujuan pemberian otonomi kepada daerah. Artinya, suatu peraturan daerah pada satu sisi adalah implementasi dari ketentuan perundang-undangan yang lebih tingggi dan disisi lain memberikan ruang bagi kebijakan local bagi kepentingan masyarakat local atas prakarsa sendiri. Implikasi dari pemahaman demikian adalah pada baik-buruknya suatu peraturan daerah. Apakah baiknya peraturan daerah dari segi formatnya dan sistimatikanya , apakah dari segi materi dan manfaatnya atau dari segi daya lakunya dan sebagainya. Tetapi yang jelas, dalam pembentukan peraturan Daerah harus dilandasi kearifan perhitungan tentang masa depan yang memberikan arah dan insentif bagi kesejahteraan rakyat daerah. Konsepsi serupa inilah secara umum belum tampak dalam Ranperda Pengelolaan Wilayah Pesisir Sumatera Barat.
Ranperda Pengelolaan Wilayah Pesisisr (PWP) menurut hemat saya memiliki sejumlah permasalahan secara teknis maupun substansi yang memerlukan penyempurnaan. Hal ini berawal dari ketiadaan definisi yang tepat mengenai apa yang dimaksud dengan wilayah pesisir itu sendiri dalan ranperda dimaksud. Dengan kata lain dalam Ranperda PWP Propinsi Sumatera Barat ini belum terlihat suatu pengertian yang konkrit dari apa yang disebut dengan wilayah Pesisir secara yuridis dan menjadi titik tolak agar Raperda tersebut fungsional dan efektif.
Ketiadaan pengertian yang mengenai Wilayah Pesisir yang tepat, maka menyulitkan dalam memahami masalah-masalah yang diatur dalam Ranperda PWP. Dalam konteks ini semestinya untuk medapatkan pemahaman yang tepat mengenai wilayah Pesisir terlebih dahulu harus dijelaskan kedudukan Wilayah Pesisir dalam perspektif Wilayah Perairan. Dalam UU No.6 Tahun 1996 disebutkan, bahwa yang dimaksud dengan Perairan adalah laut teritorial Indonesia beserta perairan kepulauan dan perairan pedalamannya. Sementara itu Wilayah Perairan Indonesia meliputi laut teritorial Indonesia, perairan kepulauan, dan perairan pedalaman.
Berdasarkan perumusan UU No.6 Tahun 1996 tersebut, maka pertanyaan mendasar adalah, pada kelompok manakah kiranya apa yang disebut dengan wilayah pesisir itu ? Pertanyaan ini menjadi sangat penting di dalam penyusunan dan menentukan ruang lingkup Peraturan Daerah mengenai Pengelolaan Wilayah Pesisir. Dalam hubungan ini, maka Ranperda PWP sepertinya belum disusun dengan bertolak dari klasifikasi Wilayah Perairan.
Dari klasifikasi Wilayah Perairan Indonesia sebagaimana dikemukakan diatas, maka Wilayah Pesisir sebenarnya masuk dalam kelompok wilayah perairan pedalaman. Adapun yang dimaksud dengan Perairan Pedalam Indonesia menurut UU No.6 Tahun 1996 adalah adalah semua perairan yang terletak pada sisi darat dari garis air rendah dari pantai-pantai Indonesia, termasuk ke dalamnya semua bagian dari perairan yang terletak pada sisi darat dari suatu garis penutup. Berdasarkan Pasal 7 UU No.6 Tahun 1996, maka Perairan pedalaman terdiri atas :
a. laut pedalaman; dan
b. perairan darat.
Laut pedalaman adalah bagian laut yang terletak pada sisi darat dari garis penutup, pada sisi laut dari garis air rendah, sedangkan perairan darat adalah segala perairan yang terletak pada sisi darat dari garis air rendah, kecuali pada mulut sungat perairan darat adalah segala perairan yang terletak pada sisi darat dari garis penutup mulut sungai.
Dari pendekatan terhadap wilayah Perairan di atas, maka pengertian yang diambil Ranperda PWP, yakni : WIlayah Pesisir adalah kawasan peralihan yang menghubungkan ekosistem darat dan laut yang sangat rentan terhadap perubahan akibat aktivitas manusia di darat dan dilaut, secara geografis kearah darat batas sempadan sejauh pasang tertinggi dan kearah laut sejauh pengaruh dari darat, seperti air sungai, sendimen dan pencemaran dari darat, agaknya lebih merupakan paparan dan belum bermakna kongkrit yang dapat ditempatkan sebagai hukum positif.
Ketidakpastian dalam merumuskan apa yang dimaksud dengan wilayah pesisir dalan ranperda PWP, kiranya akan mempengaruhi materi pengaturan-pengaturan lainnya dalam raperda PWP. Karena menelekannya defisni yang tepat akan menentukan bagi isi. Demikian pula halnya dengan definisi Zona pesisir yang saya kira juga mengalami hal yang serupa dengan masalah defenisi Wilayah Pesisir. Dengan demikian, dengan sendirinya dua persoalan ini berimplikasi pada keseluruhan pengaturan yang dalam raperda PWB Propinsi SUmatera Barat.
IV. Penutup.
Dengan uraian singkat di atas, kiranya menjadi pembuka diskusi kita terhadap pembicaraan yang lebih mendalam dalam dialog publik ini. Terima kasih.
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar
Code Parser
×