Skip to main content
Boy Yendra Tamin

follow us

Tuntutan Masyarakat Terhadap Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Dan Dampaknya Terhadap Kinerja Penegak Hukum

Oleh :Viktorianus Gulo

Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Program Pascarsarjana Univ Bung Hatta

A. Latar Belakang

Negara Indonesia adalah Negara hukum, Pasal 1 Ayat 3 Undang-Undang Dasar Negara republik Indonesia tahun 1945: artinya bahwa segala bentuk tindak tanduk dari pemerintah haruslah berdasarkan hukum. Dan dimaksud untuk mengatur jangan terjadi penyalah gunaan kekuasaan, oleh penguasa. Ciri-ciri suatu Negara Hukum terdiri dari :

  1. Adanya pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia yang mengadung persamaan dalam bidang politik, hukum sosial, kultura dan pendidika.

  2. Adanya peradilan bebas dan tidak memihak tidak dipengaruhi oleh suatu kekuasaan atau kekuasaan lain apapun.
  3. Adanya legalitas di dalam arti hukum dalam semua bentuk. [1]
Selanjutnya dalam Konstitusi Negara Republik Indonesia, Juga mengatur mengenai pembagian kekuasaan seperti yang kita ketahui adanya Kekuasaan Yudikatif, kekuasaan Legislatif, kekuasaan Eksekutif. Dari ketiga kekuasaan ditas Kekuasaan Eksekutif menjalankan pemerintahan berdasarkan Peraturan Perundang-undangan, Kekuasaan Legislatif, Menjalankan Fungsi Pengawasan, Membentuk Undang-undang, dan Fungsi Agaran. Sedangkan kekuasaan Yudikatif melakukan Penegakan Hukum dengan Mengadili segala bentuk pelanggaran terhadap Peraturan perundang-undangan, atau segala bentuk Pelanggaran terhadap hukum yang diakui di indonesia.

Implementasi terhadap Kekuasaan tersebut diatas selama negara Indonesia berdiri, dapat dikatakan tidak terimplentasi sebagaimana mestinya, Jatuhnya kekuasaan Orde Baru 1999, adalah akibat Penggunaan Kekuasaan yang Sewenang-wenang, dengan Pergerakan Revolusi Indoenesia yang dimotori oleh Mahasiswa, Indonesia telah masuk kealam demokrasi yang dikehendaki, dalam masa transisi Demokrasi tersebut terlihat jelas bagaimana aburadulnya Penegakan hukum.

Oleh seluruh kalangan masyarakat atau elemen masyarakat menuntut adanya Penegakan hukum yang berkeadilan, diera demokrasi sekarang ini masyarakat bisa menyuarakan apa saja yang terkait ketidakadilan yang dilakukan oleh penguasa, Demokrasi telah memberikan keberanian kepada masyarakat untuk tidak segan-segan untuk menyuarakan dan membeberkan ketidak beresan pemerintahan dalam Negara. Demokrasi telah membawa Negara ini dimana begitu nampaknya bagaimana kekuasaan Rakyat itu terhadap pemerintahan.

Dengan adanya tuntutan masyarakat yang begitu besar kepada pemerintah, khususnya dalam Penegakan hukum, Lembaga Penegak hukum berangsur-angsur mulai berbenah, yang dulunya lembaga Penegak hukum hanya ada Kejaksaan, Kehakiman, dan Kepolisian, sekarang telah dibentuk Komisi pemberantasan korupsi. Karena dengan alasan bahwa dinilai Kejaksaan dan Kepolisian belum mampu untuk melakukan pemberantasan korupsi, karena banyaknya oknum-oknum ditubuh Kejaksaan dan Kepolisian justru melakukan berbagai Perbuatan melanggar hukum dan salah satunya adalah melakukan Perbuatan Korupsi.

Menurut Soerjono Soekanto mengatakan Hukum dan Penegakan Hukum, merupakan sebagai faktor Penegakan hukum yang tidak bisa diabaikan karena jika diabaikan akan menyababkan tidak tercapainya Penegakan hukum seperti yang diharapkan.[2]

Oleh karena itu, keberadaan institusi Penegak hukum, mempunyai kedudukan yang sentral dan peranan yang strategis dalam suatu Negara hukum, karena intitusi Penegak hukum mempunyai tugas proses Penyelidikan, Penyidikan, Penuntutan dan proses Pemerikasan dipersidangan, memutus suatu Perkara, serta proses pelaksanaan putusan, sehingga keberadaanya dalam kehidupan masyarakat mampu mengemban tugas Penegakan hukum seperti yang diamantkan oleh peraturan perundang-undangan.

Lebih lanjut Menurut Luhut Pangaribuan, perilaku koruptif yang terjadi pada hampir semua penegak hukum, bukan karena moral yang rendah, melainkan sebagai akibat terjadinya demoralisasi dari para penegak hukum itu sendiri. Akibatnya, menerima uang secara tidak halal, menurut presepsi mereka bukanlah suatu yang aneh lagi, melainkan suatu keharusan untuk mereka. Setidaknya terdapat empat faktor penyebab yang dapat dikemukakan dari perilaku koruptif dari para penegak hukum, yaitu (i) kesejahteraan atau gaji rendah, akan tetapi life style-nya tinggi, (ii) adanya ketidak percayaan timbal balik diantara penegak hukum itu sendiri, (iii) akibat pola korupsi yang terjadi pada masa orde baru, dan (iv) tidak ada standar profesi bagi advokat.[3]

Korupsi pun menjadi kejahatan yang paling populer sekarang ini, banyaknya oknum-oknum pemerintahan ditangkap dan dijebloskan kedalam penjara dari pemerintahan terendah diaderah sampai pemerintahan pusat, tak terkecuali, di Lembaga Legislatif, Yudikatif. Maraknya korupsi terus mendorong masyarakat untuk terus berjuang untuk terwujudnya keadilan dalam pemberantasan korupsi, Berbagai organisasi masyarakat seperti LSM, LBH. ICW. Dan banyak oragnisasi masyarakat lainnya yang terus mendorong adanya penegakkan hukum terhadap pemberantasan tindak pidana korupsi dengan transpran dan berkeadilan.

Dalam berbagai kajian sistematis Penegak hukum dan keadilan, secara teoritis menyatakan bahwa efektivitas penegak hukum baru akan terpenuhi apabila 5 pilar-pilar hukum dapat berjalan dengan baik. Lima pilar hukum itu adalah instrumen hukumnya, aparat penegak hukumnya, peralatannya, masyarakatnya dan biokrasinya, secara empirik, efektivitas Penegak hukum juga telah dikemukakan oleh Walter C. Reckless, yaitu harus dilihat bagaimana sistem peradilannya dan bagaimana birokrasinya, dari berbagai kajian kesisteman tersebut dapat dikatakan bahwa efektivitas penegakkan hukum dalam teori maupun praktek problematika yang dihadapi hampir sama. Kemauan politik (Political will ) dari para pengambil keputusan merupakan faktor yang menentukan hukum dapat tegak atau ambruk.atau setengah-setengah.[4]

Terhadap tuntutan-tuntuan terhadap lembaga penegakkan hukum seperti KPK, MA, Kejaksaan, Kepolisian, telah melakukan reformasi pada lembaga internalnya masing-masing, tetapi tidak terlihat adanya suatu sistim yang baik dalam hal perbaikan dalam internal Lembaga Penegakkan hukum itu sendiri, bahkan bila diamati telah membawa lembaga penegak hukum yang cenderung hanya sebatas menjaga wibawa dari lembaganya sendiri dari penilaian yang buruk oleh masyarakat, tanpa memikirkan dampak yang begitu besar terhadap orang-orang yang diberi tanggungjawab besar dalam menjalankan tugasnya sebagai penegak hukum.

B. Rumusan Masalah :

Berdasarkan pemaparan latar belakang diatas, maka permasalahan yang perlu dibahas dan diteliti adalah sebagai berikut :

  1. Bagaimana Tuntutan Masyarakat terhadap pemberantasan tindak Pidana korupsi?

  2. Apa Saja dampak terhadap Penegak hukum dalam melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi. ?
C. Tujuan Penulisan
  1. Untuk mengetahui tuntutan masyarakat terhadap pemberantasan tindak pidana korupsi.
  2. Untuk mengetahui dampak terhadap penegak hukum dalam melakukan pemberantasan terhadap tindak pidanan korupsi.
D. Manfaat Penulisan

Penulisan ini diharapkan dapat memberikan manfaat atau faedah bagi pihak-pihak baik secara teoritis, Secara prkatis dan bagi masyarakat, antara lain. :

1. Secara Teoritis penulisan ini dapat memberikan kontribusi dan sumbangan pemikiran untuk pengembangan terhadap displin ilmu hukum secara umum khususnya tindak pidana korupsi.

2. Secara praktis dapat memberikan masukan dan sumbangan pemikiran bagi pemerintah sebagai policy maker, terutama khususnya bagi aparat penegak hukum. Selanjutnya penulisan ini dapat memberi sumbagan dan menambah wawasan kepada masyarakat umum untuk dapat memahami lebih dalam penegakan hukum itu sendiri.

PEMBAHASAN

A. Pengertian Korupsi

Menurut Prepektif hukum, defenisi korupsi secara gamblang telah dijelaskan dalam 13 buah pasal dalam undang-undang No 31 tahun 1999 jo Undang-undang No. 20 Tahun 2001, berdasarkan pasal-pasal tersebut, korupsi dirumuskan ke dalam tiga puluh bentuk.jenis tindak pidana korupsi, pasal-pasal tersebut menerangkan secara terperinci bantuk/jenis tindak pidana korupsi, pasal-pasal tersebut menerangkan secara terperinci menegenai perbuatan yang bisa dikenakan pidana penjara karena korupsi.

Ketiga puluh bentuk/jenis tindak pidana korupsi tersebut pada dasarnya dapat dikelompokkan sebagai berikut :

1. Kerugian Keuangan Negara

2. Suap Menyuap

3. Penggelapan dalam jabatan

4. Pemerasan

5. Perbuatan curang

6. Benturan kepentingan dalam pengadaan

7. Gratifikasi

Selain bantuk/jenis tindak pidana korupsi yang sudah dijelaskan diatas, masih ada tindak pidana lain, yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi yang tertuang pada Undang-undang No 31 tahun 1999 jo Undang-undang No. 20 Tahun 2001, tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, jenis tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi itu adalah :

  1. Merintangi proses pemeriksaan perkara korupsi

  2. Tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar
  3. Bank yang tidak memberikan keterangan rekening tersangka
  4. Saksi atau ahli yang tidak memberi keterangan atau memberi keterangan palsu
  5. Orang yang memegang rahasia jabatan tidak memberikan keterangan atau memberikan keterangan palsu
  6. Saksi yang membuka identitas pelapor.[5]
Lebih lanjut untuk memahami mengenai arti korupsi dijelaskan mengenai asal kata korupsi, Menurut Focmen Andreae, kata korupsi berasal dari bahasa latin corruptio atauv corruptus, selanjutnya disebutkan bahwa corruptio berasal pula dari kata asal corrumpere, suatu kata latin yang lebih tua, dari bahasa latin itulah turun kebanyak bahasa Eropa, seperti inggris, yaitu corruptio,corrup, prancis, yaitu corruption dan belanda, yaitu corruptie (korruptio). Dari bahasa Belanda inilah kata itu turun kebahasa indonesia yaitu Korupsi.[6]

Istilah korupsi yang telah diterima dalam pembendaharaan bahasa indonesia, disimpulkan oleh Poerwadarminta dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia bahwa korupsi adalah perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok, dan sebagainya. Secara umum, korupsi sebagai suatu tindakan pejabat publik yang menyelewengkan kewenagan untuk kepentingan pribadi, keluarga, kroni, dan kelompok yang mengakibatkan kerugian negara.[7]

Salain itu, Korupsi dapat didefinisikan sebagai penyalahgunaan kekuasaan dan kepercayaan untuk keuntungan pribadi. Korupsi mencakup perilaku pejabat-pejabat sektor publik, baik politisi maupun pegawai negeri, yang memperkaya diri mereka secara tidak pantas dan melanggar hukum, atau orang-orang yang dekat dengan mereka, dengan menyalahgunakan kewenangan kekuasaan yang dipercayakan kepada mereka.[8]

Banyak sekali defenisi dari para ahli yang berupaya menjelaskan makan korupsi dengan sudut pandang masing-masing baik dari perspektif moral, agama, sosial budaya maupun hukum. Dari perspektif apapun, korupsi dengan segala bentuk dan modus operandinya, dimaknai sebagai perbuatan tercela yang bertentangan dengan nilai-nilai moral, sosial, budaya, agama, dan hukum tak ada tempat bagi perbuatan korupsi.

Artijdo Alkostra memaknai korupsi sebagai perbuatan melawan hukum dan norma-norma sosial, korupsi dapat dilihat secara ontologis (apa adanya/keberadaanya), yakni perbuatan yang keberadannya tidak dikehendaki oleh masyarakat, secara aksiologisnya artinya dari segi nilai perbuatan, korupsi bertentangan dengan kesusilaan ddan kepatutan yang berlaku dimasyarakat, jadi mengapa korupsi itu dilarang oleh hukum, dapat didasarkan pada dasar ontologis dan aksiologis tersebut. Tidak ada pembenar perbuatan korupsi itu, termasuk juga meskipun pelakunya tidak dapat menikmatinya seperti pada kasusu Pak Rustandi ( ketua komisi pemilihan umum jawa barat) itu tidak menikmati hasilnya, tetapi dia salah secara hukum, seperti juga kasusu Abdullah Puteh, itu juga korupsi karena ia memasukan uang negara kedalam rekening pribadinya.[9]

B. Tuntutan Masyarakat terhadap Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Korupsi yang terjadi di Indonesia dapat dikatakan luar biasa, kenapa luar biasa, karena yang terlibat dalam perbuatan tindak pidana kurupsi hampir seluruh tingkat pemerintahan dari pemerintahan yang terendah hingga pemerintahan yang tertinggi (dipusat pemerintahan), dan yang tidak kalah luar biasa kertelibatan pihak penegak hukum sendiri yang notabene sebagai alat negara untuk memberantas tindak pidana korupsi.

Terhadap fakta diatas, mengakibatkan ketidak percayaan masyarakat terhadap pemberantasan korupsi, masyarakat menaroh harapan besar kepada pemerintah untuk melakukan gebrakan khususnya dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Tetapi harapan masyarakat tersebut sampai saat ini belum dapat dijawab oleh pemerintah sendiri, kepemimpinan presiden SBY yang menjanjikan bahkan memimpin langsung pemberantasan korupsi, hanya omong kosong belaka, justru pada pemerintahan yang di pimpinnya tindak pidana korupsi semakin marak.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan solusi dalam hal memperkuat lembaga pemberantasan korupsi, karena Polisi, dan Kejaksaan belum mampu untuk melakukan penegakkan hukum yang membuahkan hasil yang memuaskan, Komisi Pemberantsan Korupsi (KPK) adalah jawaban terhadap lemahnya kedua lembaga tersebut yaitu kepolisian dan kejaksaan dalam memberantas tindak pidana korupsi.

Keberadaan Komisi Tindak Pidana Korupsi, telah menunjukkan kinerjanya yang sangat baik sampai sekarang ini, yang mampu membongkar tindak pidana korupsi yang begitu besar, mulai terlihat ketika dipimpin oleh Antasari Azhar, yang tidak segan-segan menjebloskan besan Presiden SBY kedalam penjara. Kemudian terbongkarnya kasus Pajak Gayus tambunan, kemudian Kasus BanK Century, Kasus Proyek Hambalang, Kasus suap Ketua Mahkamah Konstitusi, dan banyak kasus koruspsi lainnya yang terus bermunculan bak jamur dimusim hujan. yang melibatkan petinggi petinggi negara, yang terkhir ini ditetapkannya Menteri Agama Suryadarma Ali sebagai tersangka dalam pengelolaan anggaran Haji.

Kasus kasus korupsi tersebut diatas tentunya menjadi pertanyaan besar bagi bangsa ini, apa sebab korupsi sangat susah diberantas dinegara ini. Banyak faktor bila kemudian dijabarkan seperti misalnya, Sanksi yang dijatuhkan masih rendah, seperti korupsi yang mencapai miliaran atau ratusan miliar rupiah hukumannya masih relatif rendah, bahkan kebanyakan hukuman maksimal, yang dijatuhkan oleh Hakim, dan ada juga faktor budaya, terhadap faktor budaya ini selalu dikatakan bahwa masyarakat indonesia telah terbiasa dalam hal suap menyuap walaupun dalam bentuk misalnya hadiah atau gratifikasi, sehingga akan berpotensi kemudian bila terkait masalah pemerintahan. Adanya perbutan balas budi. Selain itu juga korupsi juga berpotensi terjadi pada Perekrutan Pegawa Negeri Sipil, calon pegawai negeri itu sendiri menghabiskan uang ratusan juta hanya untuk bisa lulus sebagai pegwai negeri sipil, dan akibatnya ketika sudah menjabat tentunya berpikir bagaimana uang tersebut bisa kembali.

Menurut Soetandyo Wingngjosoebroto, Korupsi dindonesia sebenarnya sudah membudaya sejak dari zaman belanda. Dibelanda juga dikenal family system, tidak patut jika tidak menolog saudara yang sedang kesusahan, di Amerika juga ada, yang disebut dengan spoil system, tepat pelan-pelan mereka mencoba keluar dari itu dan membutuhkan waktu puluhan tahun.[10]

Korupsi Hampir terjadi disetiap tingkatan dan aspek kehidupan masyarakat, mulai dari mengurus akta kelahiran, perkawinan, kartu tanda penduduk (KTP), ijin mendirikan bangunan (IMB), proyek pengadaan/lelang diinstansi-insatnsi pemerintah dan bahkan sudah masuk dalam lingkungan penegak hukum sendiri, yakni dengan adanya mafia peradilan (judicial corruption).[11]

Dan yang tidak kalah dari itu adalah pada pemilihan kepala daerah, pemilihan DPRD,DPR, dan juga pemilihan presiden, disini dapat dikatakan lumbung terjadinya tindak pidana korupsi, karena pada pemilhan itu sendiri ratusan miliar uang digelontorkan untuk berjuang supaya dapat terpilih. Faktor birokrasi juga memberi sumbangan yang besar terhadap terjadinya tindak pidana korupsi, birokrasi di Indonesia masih belum tertata dengan baik, birokrasi indonesia dikenal oleh masyarakat banyak sebagai birokrasi yang ribet dan berbeli-belit.

Bahwa tidak dipungkiri masih banyak modus-modus tindak pidana korupsi lainnya dari berbagai cara yang terus berkembang, seperti Kejahatan dalam dunia bisnis, dimana perkembangan teknologi telah membuka pintu baru untuk melakukan kejahatan korupsi, dengan menggunakan berbagai fasilitas teknologi. Atau yang dikenal dengan kejahatan kera putih, yang meliputi perekonomian, keuangan dan sebagainya.

Mengamati hal tersebut diatas, masyarakat dari berbagai kalangan dengan berbagai organisasi yang berbeda-beda baik yang datang dari luar Negeri maupun dalam negeri sendiri, seperti LSM yang sangat dikenal sekarang ICW, yang terus menerus menyoroti kinerja penegakkan hukum khususnya dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, dan banyak organisasi lainnya yang juga ikut serta mengawasi bagaiamana pelaksanaan dari penegakan hukum terhadap kejahatan korupsi di Indonesia.

Keterbukaan media juga hal yang paling signifikan bagi berbagai organisasi pegiat anti korupsi, untuk menyuarakan segala bentuk atau cara-cara penegakkan hukum terhadap tindak pidana korupsi, khusunya terhadap KPK, MA, Kejaksaan, dan Kepolisian yang tidak luput dari pengawasan berbagai oraganisasi tersebut diatas. Memang diakui bahwa munculnya kontrol dari berbagai elemen masyarakat tidak lain karena akibat kinerja penegakkan hukum yang juga banyak terlibat dalam melakukan tindak pidana korupsi.

Berdasarkan hasil penelitian yang pernah dilakukan oleh Wasingatu Zakiyah dkk., korupsi juga terjadi diseluruh lembaga peradilan, mulai dari pengadilan negeri sampai Mahkamah Agung. Korupsi tersebut melibatkan hampir seluruh pelaku diperadilan, seperti hakim, jaksa, polisi, pengacara, dan panitera, selain itu pihak luar peradilan menjadi bagian dari praktik korupsi seperti calo perkara, karena korupsi terjadi secara meluas dipengadilan, publik lalu menjulukinya dengan istilah mafia peradilan. Mafia peradilan lebih berkonotasi pada praktik korupsi antara hakim, pengacara, dan jaksa, serta pihak-pihak lain, diperadilan, yaitu merujuk pada konspirasi untuk memenangkan salah satu pihak tertentu.[12]

C. Dampak terhadap Penegakan hukum dalam memberantas tindak Pidana Korupsi

Bahwa dengan adanya tuntutan yang begitu besar dari masyarakat terhadap pemberantasan tindak pidana korupsi, menimbulkan suatu pernyataan yang mendasar apakah penegakkan hukum terhadap tindak pidana korupsi sekarang ini tidak kebablasan, artinya apakah sudah betul-betul karena fakta dipersidangan, atau karena tekanan, atau intervensi dari berbagai kalangan sehingga setiap orang yang dengan status menjadi tersangka dipaksakan harus divonis bersalah. Bukan kah assa hukum kita mengenal asas praduga tidak bersalah yang artinya bahwa seseorang belum bisa dikatakan bersalah sebelum ada putusan yang telah memiliki kekuatan tetap. Ini seperti sama sekali tidak berlaku, karena KPK sendiri berusaha mati-matian, agar setiap yang sudah dinyatakan menjadi tersangka harus divonis bersalah, dan ini juga menjadi blunder dimasyarakat, ketika ada seseorang yang sudah dinyatakan menjadi tersangka kemudian bebas, maka Hakim, Jaksa, menjadi bulan-bulanan dalam pemberitaan dan kritikan.

Dalam memahami realitas dengan melihat penegakkan hukum. Hendaknya peraturan-peraturan hukum itu diterima sebagai deskripsi dari kenyataan. Apabila itu yang terjadi, maka sesungguhnya kita telah membuat mitos tentang hukum, padahal mitos yang demikian itu setiap hari dibuktikan kebohongannya (The myth of the operation of the law is given the lie daily).[13]

Terkait hal diatas, dapat dikatakan bahwa penegakkan hukum saat ini sangatlah tidak objektif, karena lembaga penegakk hukum hanya berusaha untuk mewujudkan kemauan semata dari tuntutan masyarakat, yang mengakibatkan orang yang seharusnya tidak bersalah dijebloskan kedalam penjara karena korupsi, ini juga menunjukkan bagaimana ketidak pastian hukum di Negara ini, yang juga sangat berperan untuk melengkapi ketidak beresan dalam pengeakkan hukum, berbagai celah-celah hukum yang dapat dimanfaatkan untuk sekedar mengamankan diri.tidak berorientasi terhadap terwujusnya keadilan.

Kemandirian kekuasaan kehakiman atau kebebasan hakim merupakan asas yang sifatnya universal, yang terdapat dimana saja dan kapan saja. Asas ini bararti bahwa dalam melaksanakan peradilan, hakim itu pada dasarnya bebas, yaitu bebas dalam memeriksa dan mengadili dan bebas dalam campur tangan atau turun tangan kekuasaan ekstra yudisiil, jadi pada dasarnya dalam memeriksa dan mengadili, hakim bebas untuk menentukan sendiri cara-cara memeriksa dan mengadili, kecuali itu pada dasarnya tidak pihak-pihak, baik atasan hakim yang bersangkutan maupun pihak ekstra yudisiil yang boleh mencampuri jalannya sidang peradilan. [14]

Dan yang paling disayangkan adalah pengetahuan masyarakat terhadap hukum yang masih dangkal, tetapi seharusnya lembaga-lembaga penegak hukum tidak harus bersikap seperti itu, seharusnya menunjukkan keberanian untuk mengatakan kebenaran yang sebenar-benarnya kepada masyarakat. Sebagai bentuk pendidikan terhadap hukum yang baik. Begitu juga sebaliknya masyarakat dapat memahimnya. Sebagai bentuk penegakkan hukum yang sebenarnya.

Menurut Soerjono Soekanto mengatakan bahwa masalah proses penegakan hukum adalah:[15]

1. Peraturan Hukum

2. Mentalitas Penegak hukum

3. Fasilitas yang mendukung untuk proses penegakan hukum

4. Kesadaran hukum dan kepatuhan hukum warga masyarakat

5. Kultur (kebudayaan)

Dari uraian diatas dapat terlihat bahwa pemberantasan tindak pidana korupsi sangat tidak objektif, karena ada kesenjagan yang terjadi antara masyarakat dan pihak penegak hukum itu sendir antara lain :

  1. Tuntutan masyarakat yang begitu besar terhadap penegakkan hukum tanpa dimbangi oleh wawasan terhadap hukum.

  2. Penegak hukum berusaha untuk menjaga dan melindungi dirinya dari berbagai kritikan dari berbagai elemen masyarakat sehingga penegakkan hukum yang dilakukan cenderung memenuhi kinginan dan tuntutan elemen masyarakat semata ketimbang, fakta hukum yang sebenarnya.
  3. Sistem Penegakkan displin dalam internal penegakkan hukum yang hanya berorientasi pada menjaga nama baik lembaga tanpa pertimbangan dari aspek hukum yang benar., akibatnya, Jaksa, Polisi, maupun Hakim akan mendapat sanksi apaila ada seseorang yang terlibat korupsi divonis bebas, Sehingga penegak hukum itu sendirii berusaha agar setiap orang yang sudah dijadikan tersangka dan menjadi terdakwa maka sudah dipastikan akan divonsi bersalah. Ini merupakan suatu tindakan yang yang hanya berorientasi untuk memenuhi tuntutan masyarakat, dan juga menyelamatkan diri masing-masing dari sanksi dari lembaga internal sendiri.
  4. Terhadap tuntutan-tuntuan terhadap lembaga penegakkan hukum seperti KPK, MA, Kejaksaan, Kepolisian, telah melakukan reformasi pada lembaga internalnya masing-masing, tetapi tidak terlihat adanya suatu sistim yang baik dalam hal perbaikan dalam internal Lembaga Penegakkan hukum itu sendiri, bahkan bila diamati telah membawa lembaga penegak hukum yang cenderung hanya sebatas menjaga wibawa dari lembaganya sendiri dari penilaian yang buruk oleh masyarakat, tanpa memikirkan dampak yang begitu besar terhadap orang-orang yang diberi tanggungjawab besar dalam menjalankan tugasnya sebagai penegak hukum.
PENUTUP

1. Simpulan

Tuntutan masyarakat terhadap penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi, diakibatkan oleh terjadinya korupsi yang dilakukan oleh penegak hukum itu sendiri, dan korupsi terjadi disegala sektor pemerintahan, yang terus bertambah setiap tahunnya, membuat masyarakat tidak percaya kepada seluruh lembaga penegak hukum yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi. Penegakan hukum yang dilakukan baik oleh Kepolisian, kejaksaan, dan hakim, telah keluar dari objektifitas dari penegakan hukum itu sendiri.

2. Saran

Penegak hukum harus berani mengambil suatu sikap yang tegas, tanpa ada intervensi dari pihak manapun dalam memberantas tindak pidana korupsi. Dengan ketentuan memberi jaminan lebih dahulu bahwa dirinya anti korupsi dan benar-benar bersih dari tindak pidanan korupsi.

 DAFTAR PUSTAKA

Abdurahmman, Aspek-aspek Bantuan Hukum Indonesia 1993.

Anton Tabah, Polri dan Penegak hukum di Indonesia, Majalah Unisia No 22 Tahun XIV, 1994

Arya Maheka, Mengenal & memberantas korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia, Jakarta, Tanpa Tahun

Bambang Sutiyoso, Reformasi keadilan dan Penegakkan hukum diindonesia. UII Pres Yogyakarta, 2010.

I.G.M Nurdjana, Korupsi dalam praktek bisnis pemberdayaan penegakan hukum, program aksi dan strategi penanggulangan Masalah Korupsi, Gramedia Pustaka, Jakarta, 2005

Jeremy Pope, Strategi Memberantas Korupsi, Elemen Sistem Intergritas Nasional, transparency Internasional Indonesia dan Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2003

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Memahami Untuk Membasmi Tindak Pidana Korupsi, Jakarta 2006

Luhut Pangaribuan, dalam Wansingatu Zakiyah, Menykapi Mafia Peradilan, Jakarta : ICW. 2002.

Majalah Gatra, 10 Agustus 2002

Robert Klitgaart dkk, Penuntutan Pemberantas Korupsi dalam Pemerintahan Daerah, Ahli bahasa Masri Maris, Yayasan obor Indonesia, Jakarta, 2005

R. Toto Sugiharto, 2005 “ Mengebor Sumur Tanpa Dasar, Jurnal demokrasi volume II/No 7/Januari 2005

Soerjono Soekanto, Faktor-fakto yang Mempengaruhi Penegakkan Hukum, Rajawali, Jakarta 1983

Sahlan Said, 2005, Penegakkan hukum Anti Korupsi, jurnal Demokrasi, Vol .I/No. 7/Januari 2005

Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakkan Hukum, Sinar Baru, Bandung.

Soerjono Soekanto, Beberapa Aspek Sosio Yuridis masyarkat,1983

Catatan Kaki

[1] Abdurahmman, Aspek-aspek Bantuan Hukum Indonesia 1993. hlm. 3_

[2] Soerjono Soekanto, Faktor-fakto yang Mempengaruhi Penegakkan Hukum, Rajawali, Jakarta 1983,hlm 5.

[3] Luhut Pangaribuan, dalam Wansingatu Zakiyah, Menykapi Mafia Peradilan, Jakarta : ICW. 2002.

[4] Anton Tabah, Polri dan Penegak hukum di Indonesia, Majalah Unisia No 22 Tahun XIV, 1994, hlm. 26

[5] Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Memahami Untuk Membasmi Tindak Pidana Korupsi, Jakarta 2006.

[6]Arya Maheka, Mengenal & memberantas korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia, Jakarta, Tanpa Tahun, hlm 4[7] Robert Klitgaart dkk, Penuntutan Pemberantas Korupsi dalam Pemerintahan Daerah, Ahli bahasa Masri Maris, Yayasan obor Indonesia, Jakarta, 2005, hlm 3.

[8]Jeremy Pope, Strategi Memberantas Korupsi, Elemen Sistem Intergritas Nasional, transparency Internasional Indonesia dan Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2003, hlm 6 dan 7.

[9] Majalah Gatra, 10 Agustus 2002.

[10] Sahlan Said, 2005, Penegakkan hukum Anti Korupsi, jurnal Demokrasi, Vol .I/No. 7/Januari 2005, hlm 64.

[11]I.G.M Nurdjana, Korupsi dalam praktek bisnis pemberdayaan penegakan hukum, program aksi dan strategi penanggulangan Masala Korupsi, Gramedia Pustaka, Jakarta, 2005, hlm 1

[12]R. Toto Sugiharto, 2005 “ Mengebor Sumur Tanpa Dasar, Jurnal demokrasi volume II/No 7/Januari 2005, hlm 6-8.

[13]Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakkan Hukum, Sinar Baru, Bandung. Hlm 14.

[14]Bambang Sutiyoso, Reformasi keadilan dan Penegakkan hukum diindonesia. UII Pres Yogyakarta, 2010.  hlm 37

[15]Soerjono Soekanto, Beberapa Aspek Sosio Yuridis masyarkat,1983 hlm 216

Spesial Untuk Anda:

Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar