Oleh: Emral Djamal Dt. Rajo Mudo
Beragama itu gampang, tetapi beriman bukan gampangan. Beriman itu sulit, sesungguhnya yang paling sulit itu adalah bertaqwa, dan yang terlebih sulit lagi menurut Imam Al-Ghazali yakni memelihara sikap taqwa. Kenapa sulit ?
Sekarang banyak orang tidak merasa takut lagi dengan Kekuasaan Allah tidak takut dengan Hukum Allah, tidak takut dengan Murka Allah. Pada hal “Sesungguhnya azab Tuhanmu benar-benar amat keras” (Inna Batsya Rabbika Lasyadiid), bahkan “Dia Maha Kuasa berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya.” (Fa’aalun Limaa Yuriidu).
Kurangnya perhatian dan materi ilmu pendalaman iman dalam berbagai pembahasan, berakibat banyaknya tanggung jawab memelihara ketaqwaan menjadi berkurang.
Benteng ketaqwaan menjadi roboh, seperti robohnya surau di negeri kita, dimana-mana surau kehilangan eksistensinya, tersisih dan hanyut ditelan arus zaman.
Akibatnya halaman surau yang biasanya dimanfaatkan untuk Sasaran Silat, tempat memecah-mecah Langkah dan baris belebas Adat (tempat menempa diri dan berlatih membina sikap dan kepribadian insan mukmin yang berakhlaq mulia) di Alam Minang kabau ini juga mati.Hal ini disebabkan karena generasi ini tidak lagi memiliki daya tahan, bahkan kehilangan perbendaharaan ilmu yang hak yang diwarisi dari nenek moyang mereka yang lebih dahulu beriman, dan bertaqwa.
Akibatnya generasi sekarang tidak mampu menghadapi tantangan, saat mendapat serangan berbagai konflik budaya, godaan hidup dan ujian-ujian berat berbagai penderitaan yang datang baik dari dalam maupun dari luar dirinya sendiri.
Rasa takut dan gentar kepada azab dan murka Tuhan telah hilang. Semua manusia mengumbar nafsu, memamerkan diri egonya. Dengan berbagai cara mempergunakan kekuasaannya, dengan berbagai dalih menggunakan kekayaannya untuk memperebutkan tempat strategis di berbagai posisi duniawinya.Namun sayang mereka tidak memperhitungkan, dan tidak berusaha berjuang untuk berlomba-lomba merebut posisi dan tempat strategis di sisi Singgasana Illahi.
Mereka tidak mempedulikan garis-garis batas, ukua jangko yang boleh dilalui atau tidak. Baik itu berupa garis batas, ukua jangko dan timbangan yang telah dirancang, dibuat, dan ditetapkan melalui undang-undang, peraturan-peraturan, ikrar janji setia, dan berbagai kesepakatan lainnya oleh manusia dalam komunitasnya, maupun ketentuan-ketentuan hidup yang makruf yang telah digariskan oleh Tuhan Seru Sekalian Alam.
Akibatnya, dengan mudah terjadi berbagai penyimpangan jalan hidup, seperti jauh-jauh sebelumnya adat telah mengingat kan kita :
Sukek dianjak urang panggaleh,
pasupadan dialieh urang lalu.(takaran diganti orang dagang (investor), batas sempadan diganti orang datang (penjajah negeri)
Emral Djamal Dt. Rajo Mudo :
Salimbado Grup, Pusat Kajian Tradisi Minangkabau