Meskipun setiap orang dapat dituntut pertanggung jawaban hukum atas tindakan yang dilakukannya yang merugikan orang lain, tetapi hukum juga memberikan batasan atau tenggang waktu atas pengajuan tuntutan. Seperti halnya dalam hukum pidana, suatu kejahatan ada batas waktu yang ditentukan sampai berapa lama seseorang yang melakukan kejahatan tidak bisa lagi dituntut, kecuali untuk kejahatan-kejatahan tertentu yang dikecualikan undang-undang. Demikian juga dengan perkara-perkara dalam lapangan administrasi (tata usaha) negara, hukum juga menentukan batas atau tenggang waktu untuk mengajukan gugatan atas suatu keputusan pejabat/Badan TUN yang dirasa merugikan pihak yang terkena keputusan bersangkutan.
Dalam sengketa tata usaha negara, UU No 5 Tahun 1986 memberikan tenggang waktu 90 hari untuk mengajukan gugatan kepada pihak yang merasa kepentingannya dirugikan atas terbitnya surat keputusan pejabat/badan TUN. Akan tetapi terkait tenggang waktu 90 hari tidak jarang terjadi penafsiran dan pemahaman yang berbeda, tertutama terkait penghitungan 90 hari itu dimulai dari kapan. Dalam kaitan ini terdapat Yurisprudensi vide Putusan Mahkamah Agung RI Nomor Reg.5 K/TUN/1992 tanggal 21 januari 1993 yang menyebutkan:
Jangka waktu termaksud dalam pasal 55 UU No 5/1986 harus dihitung sejak Penggugat mengetahui adanya keputusan yang merugikannya.
Berdasarkan yurisprudensi tersebut, apabila para pihak (Penggugat-Tergugat) jika berselisih soal tenggang waktu pengajuan gugatan, maka masing-masing pihak harus membuktikan dan memastikan dengan alat bukti, kapan Penggugat benar-benar sudah mengetahui adanya keputusan pejabat/Badan TUN yang merugikannya. Dalam hal ini Tergugat tidak bisa berpatokan pada tanggal diterbitkannya surat keputusan dimaksud. Karena itu, betapa penting artinya penyampaian sebuah surat keputusan pejabat/badan Tun kepada pihak yang terkait dan tidak boleh dibaikan dengan mendalilkan sudah diberitahukan secara lisan yang terkadang bisa saja disangkal pihak Penggugat. (cacatan:Boy Yendra Tamin)