Dua ahli hukum dan sistem peradilan pidana dihadirkan oleh Noes Soediono selaku Pemohon Pengujian Undang-Undang Mahkamah Agung (MA) pada sidang yang digelar Kamis (25/9) di Ruang Sidang Pleno Gedung Mahkamah Konstitusi (MK). Kedua ahli tersebut merupakan pengajar di Universitas Islam Indonesia (UII), yaitu Muhammad Arief Setiawan dan Nikmatul Huda. Keduanya sepakat pembatasan aturan kasasi untuk putusan pra peradilan telah melanggar hak konstitusional para pencari keadilan dan menimbulkan ketidakpastian hukum.
Muhammad Arief Setiawan yang mendapat giliran pertama untuk menyampaikan keahliannya mengatakan aturan yang membatasi putusan pra peradilan tidak bisa dikasasi merupakan aturan yang diskriminatif. Arief kemudian menjelaskan sejak awal pembentukan pra peradilan dimaksudkan sebagai lembaga yang berfungsi mengawasi tindakan aparat hukum pidana di tingkat pemeriksaan pendahuluan, tepatnya mengawasi penyelidik, penyidik, serta jaksa penuntut umum. Pengawasan tersebut bersifat horizontal dengan pengawasan sesama aparat penegak hukum yang sederajat di dalam sistem peradilan sederhana.
Bila dilihat dari sejarah berlakunya KUHAP dari peninggalan kolonial Belanda, sara pengawasan terhadap kerja penyelidik dan penyidik justru tidak disediakan. Oleh karena itu, para perancang KUHAP kemudian mengajukan gagasan untuk menyediakan sarana pengawasan melalui lembaga pengawasan terhadap aparat penegak hukum pidana di tingkat pemeriksaan pendahuluan yang dinamakan sebagai praperadilan. Dengan demikian, jelas bahwa praperadilan memang bukan satu badan peradilan yang berdiri sendiri, namun merupakan perluasan fungsi dari pengadilan negeri yang didesain mempunyai kewenangan yurisdiksi yang sangat terbatas.
Kelemahan Praperadilan
Dari hasil penelitian selama ini, Arief mengatakan pra peradilan tidak berdaya untuk melindungi kepentingan tersangka dan korban atau saksi pelapor yang dilanggar hak-haknya oleh aparat penyidik. Penelitian selama ini juga menunjukkan bahwa orientasi perlindungan yang diberikan oleh KUHAP lebih condong kepada perlindungan terhadap kepentingan umum yang diwakili oleh negara, dibandingkan kepada tersangka, terdakwa atau korban. Bila memerhatikan falsafah peradilan pidana di Indonesia yang menganut falsafah keselarasan atau keseimbangan antara aspek perlindungan kepentingan umum dengan individu, semestinya KUHAP ketika mengatur masalah pra peradilan menempatkan pra peradilan sebagai penyeimbang dari kewenangan-kewenangan besar yang dimiliki oleh penegak hukum pidana. Penyeimbang tersebut harus ditempatkan khususnya di tingkat pemeriksaan pendahuluan.
Salah satu kelemahan pra peradilan menurut Arief yakni adanya akses upaya hukum yang dibatasi seperti yang dialami Pemohon. Padahal, lanjut Arief, KUHAP memberikan upaya hukum kepada pihak penyidik dan atau penuntut umum yang dikalahkan oleh pra peradilan dalam kasus tidak sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan. Menurut Arief, tentu saja ketentuan tersebut tidak seimbang.
“Para pihak dalam perkara pra peradilan selain penyidik atau penuntut umum, bisa juga diajukan oleh tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan. Jika mereka tidak puas dengan putusan pra peradilan mengapa tidak diberi akses yang sama untuk melakukan upaya hukum? Ketentuan tersebut jelas sangat diskriminatif sehingga menurut ahli bertentangan dengan Konstitusi Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28 E ayat (2) UUD 1945 karena hanya memberi akses banding kepada penyidik dan penuntut umum sebagai Pihak Termohon. Sedang, pihak yang lain tidak diberikan hak upaya hukum banding,” ujar Arief.
Meski demikian ketentuan diskriminatif yang tertera dalam Pasal 83 ayat (2) KUHAP telah dinyatakan bertentangan dengan Konstitusi oleh MK. Namun demikian, Arief melihat masalah tersebut tidak selesai dengan pencabutan Pasal 83 ayat (2) KUHAP saja. Sebab, dengan dicabutnya pasal tersebut berarti putusan pra peradilan justru menjadi sama sekali tidak dapat dilakukan upaya hukum, baik upaya hukum biasa maupun upaya hukum banding kasasi, ataupun luar biasa kasasi demi kepentingan hukum PK putusan yang sudah berkekuatan hukum. “Menurut ahli yang perlu diadakan pengaturannya sebenarnya adalah adanya upaya hukum baik yang bersifat biasa maupun luar biasa, baik dari pihak Pemohon maupun Termohon yang belum puas terhadap putusan pra peradilan di tingkat pertama,” saran Arief.
Mengutip putusan MK No. 23/PUU-V/2007, Arief mengatakan pada hakikatnya pengadilan tingkat pertama adalah pengadilan yang memeriksa fakta-fakta dalam satu peristiwa konkrit tertentu dan kemudian menetapkan hukumannya. Sementara itu pengadilan tingkat banding pada hakikatnya bertugas menjawab persoalan yang terjadi di pengadilan tingkat pertama dan memastikan pengadilan tingkat pertama telah benar dalam memeriksa fakta-fakta.
Namun, bila dilihat pada kenyataannya, kualitas hukum putusan hakim pra peradilan belum mencerminkan nilai hukum dan keadilan yang berlaku dalam masyarakat. Maka, lanjut Arief, hak untuk melakukan upaya hukum banding untuk putusan pra peradilan harus tetap ada. Sehingga, putusan praperadilan yang hanya diputus melalui hakim tunggal tersebut dapat dikoreksi kalau terdapat kesalahan oleh pengadilan tingkat banding dan/atau di tingkat kasasi. Bahkan bila putusannya sudah berkekuatan hukum tetap, Arief menyarankan agar koreksi melalui upaya hukum peninjauan kembali dapat dilakukan.
Limitasi Langgar Konstitusi
Nikmatul Huda yang juga dihadirkan sebagai ahli oleh Pemohon juga mengatakan perlunya jaminan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka dan bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya. Hal tersebut sejalan dengan prinsip negara hukum yang dianut oleh Indonesia. Selain itu, prinsip negara hukum juga meletakan prinsip yang menyatakan setiap orang memiliki hak asasi. Oleh karena itu, Nikmatul mengatakan negara berkewajiban untuk memberikan perlindungan, pemajuan, penegakkan, dan pemenuhan terhadap HAM.
Pembatasan kasasi yang dimaksudkan untuk mengurangi kecenderungan setiap perkara diajukan ke Mahkamah Agung sekaligus dimaksudkan untuk mendorong peningkatakan kualitas putusan pengadilan tingkat pertama dan tingkat banding menurut Nikmatul justru merugikan hak konstitusional para pencari keadilan. Hal tersebutlah yang dialami Pemohon ketika permohonannya ditolak oleh hakim tunggal di Pengadilan Negeri Surakarta dan tidak dapat mengajukan banding atau kasasi. Dengan adanya aturan tersebut, Pemohon menjadi sama sekali tidak diberi jalan keluar upaya hukum oleh peraturan perundang-undangan.
“Putusan hakim tunggal daalam perkara pra peradilan, seolah menjadi kebal hukum karena tidak bisa diperiksa oleh siapapun. Sungguh kekuasaan yang luar biasa yang diberikan oleh Mahkamah Agung kepadanya. Sementara dalam perkara yang lain masih bisa ditempuh upaya hukum biasa maupun yang luar biasa. Bagaimana mungkin kualitas putusan hakim tunggal pra peradilan dapat diketahui kualitasnya, kalau jalan upaya hukum untuk menilainya tidak diberikan oleh pembentuk undang-undang kepada pencari keadilan termasuk Pemohon?” kritik Nikmatul retoris.
Meski upaya hukum biasa harus dikaitkan dengan prinsip kepastian hukum namun dengan menentukan limitasi waktu dalam pengajuan upaya hukum biasa justru akan menimbulkan ketidakpastian hukum. Menurut Nikmatul hal tersebut justru akan melahirkan ketidakadilan dan proses hukum yang tidak selesai. Pembatasan undang-undang yang membelenggu hak asasi warga negara untuk memperoleh keadilan substantive menurutnya tidak boleh didiamkan. Sebab, jaminan keadilan yang ditawarkan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 akan menjadi hambar jika dalam implementasinya bisa disandera oleh ketentuan undang-undang yang justru menghalangi pemenuhan keadilan masyarakat. (Yusti Nurul Agustin)
sumber:mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.Berita&id=10233....