Oleh : Dasril Ahmad
KALAU sastrawan dan budayawan A. A. Navis (1924 - 2003) selalu mengawali pembicaraannya dengan guyon –yang sebetulnya merupakan cara khas beliau untuk menyindir—semua kita sudah tahu. Akan tetapi mungkin sedikit dari kita yang mengetahui bahwa sesungguhnya Navis juga mempunyai obsesi besar terhadap perkembangan dunia kesusastraan di daerah Sumatera Barat. Hal-hal inilah yang saya catat baik-baik ketika Navis tampil berbicara dalam seminar sehari “Pemetaan Sejarah Sastra Modern Indonesia di Sumatera Barat: Persoalan Teori dan Pengajaran” di kampus Universitas Bung Hatta Padang, 9 Nopember 1996. Pada kesempatan itu, Navis mengawali pembicaraannya dengan guyonan segar bernada menyindir begini:
“Yang hadir di sini mungkin 90 persen cewek. Ini tidak membahagiakan saya. Alasannya saya tidak bahagia bukan karena saudara-saudara cewek, tapi yang hadir ini terlampau banyak cewek, sedangkan di dalam pengalaman, cewek ini tidak memperhatikan sastra. Ia lebih mementingkan telenovela yang “bertele-tele” di televisi, dan jarang yang jadi pengarang. Tapi kalau kita rujuk pula kondisi sekarang memang cewek ini lebih dinamis, lebih aktif di bidang macam-macam hal. Informasi yang saya terima, umpamanya pada Fakultas Kedokteran Unand, sebanyak 125 orang yang diterima tahun ini, ternyata 80 orang cewek, dan 45 orang cowok. Rupa-rupanya arah pekerjaan masa depan, cewek lebih mencari pekerjaan yang aman. Sedangkan cowok lebih mencari pekerjaan yang banyak avontur-nya, seperti jadi sopir taxi, pedagang K-5 dan lain-lain. Oleh karena itu, ia tidak perlu bersekolah lagi. Saya kira begitu. Inilah hipotesis sementara saya.”
Setelah menyampaikan makalahnya berjudul “Kepengarangan di Sumatera Barat”, Navis kemudian menerima berbagai tanggapan dan pertanyaan dari peserta. Pada saat berdiskusi itulah, pengarang yang kesohor lewat cerpen “Robohnya Surau Kami”(1956), dan meraih hadiah pertama Sayembara Kincir Emas Radio Nederland Wereldemroep atas cerpennya “Jodoh” (1975) ini, mengemukakan obsesinya.”Saya mempunyai obsesi yang besar terhadap citra kepengarangan Indonesia. Saya rindu agar di daerah (Sumbar) ini lahir sastrawan-sastrawan baru sekaliber Emha Ainun Nadjib, sekaliber macam-macam nama besar lainnya yang lahir di Solo, di mana-mana dan di Jakarta –yang umumnya di Jawa. Karena pada suatu masa dahulu Sumatera Barat ini banyak melahirkan pengarang-pengarang besar. Tetapi sekarang kelihatannya tidaklah begitu. Yang saya risaukan memang tidak bisa lagi naik (pengarang dari) Sumatera Barat ini. Jadi, apabila saya menengok ke luar daerah, emosi saya! Karena saya mempunyai obsesi yang sangat besar terhadap citra kepengarangan di Sumatera Barat ini.”
Begitu besarnya obsesi Navis terhadap kebangkitan sastrawan baru dari Sumatera Barat yang kelak diharapkan jadi sastrawan “berkaliber”, maka ia pun menuturkan nasihat berikutnya. “Kalau mau mengarang, yang pertama dalam tengkorak kita harus ada kepedulian terhadap orang lain. Ada atensi kepada orang lain. Ada sesuatu yang ingin kita sampaikan agar kondisi-kondisi itu akan lebih baik daripada yang lalu. Jadi kepedulian sosial harus lebih tinggi. Seorang pengarang yang tidak mempunyai kepedulian sosial yang tinggi, mungkin dia bisa (juga) menulis, tapi karyanya itu hanya pada batas yang kita kenal sebagai karya-karya hiburan saja. Karya-karya hiburan ini tidak mempersoalkan manusia, tapi menceritakan apa yang dilakukan manusia. Itu bedanya.”
Jadi, kalau pengarang sekarang ingin peringkatnya lebih dari pengarang masa lalu, hanya dua syaratnya: Pertama, berangkatlah dari kepedulian sosial kepada orang lain, kecintaan kepada orang lain (bukan cinta asmara, maksud saya), dan keprihatinan kepada orang lain. Kemudian yang kedua, banyak membaca. Seorang pengarang tidak mungkin menulis yang bagus, kalau ilmunya dangkal. Karena itu, dia harus mempunyai pengetahuan sosiologi, antropologi dan apa saja yang akan membantunya untuk menulis. Mengarang itu ndak bisa dengan perbendaharaan ilmu yang rendah. Artinya, mereka tidak mungkin akan menjadi seorang pengarang besar.
Tidak A.A. Navis namanya, kalau pembicaraannya tidak “nyenggol” kiri-kanan. Saya pun mencatat penyenggolan ucapannya, yang kali ini ditujukan kepada lembaga pendidikan tinggi sastra dalam kaitannya dengan kemunculan pengarang. “Dalam pengamatan saya sekarang, terutama dari buku-buku antologi (puisi) yang terbit, ternyata saya lebih banyak menemukan pengarang dari sarjana-sarjana (dan juga mahasiswa) dari Fakultas Ekonomi, bukan dari Fakultas Sastra. Kalau dari Fakultas Sastra, itu pun dari jurusan Sastra Inggris, bukan dari jurusan Sastra Indonesia. Hal ini bagi saya jadi masalah juga. Mungkin ini kesalahan pada metode pendidikan, mungkin kesalahan pada kurikulum. Karena ada perbedaan metode pendidikan di dua jurusan sastra ini. Pada jurusan Sastra Inggris orang disuruh menafsirkan dan menerjemahkan, yang akan membuatnya kreatif. Sedangkan pada jurusan Sastra Indonesia orang disuruh menghafal. Bagaimana Sastra Indonesia itu akan maju, kalau caranya begitu?”
Begitulah catatan (tercecer) saya sekitar guyon dan obsesi besar dari sastrawan A.A. Navis yang dikemukakannya 18 tahun yang lalu di Padang. Sastrawan angkatan 66 ini lahir 17 November 1924 di Padang Panjang (Sumatera Barat), dan wafat di Padang, 22 Maret 2003. Meski Navis telah lama meninggalkan kita, namun guyon, sindiran, pemikiran, dan terutama karya-karyanya tak pernah berpisah dari kita. Pikiran-pikirannya yang bernas, guyon dan sindiran-sindirannya yang khas dan pedas, serta karya-karyanya yang monumental akan selalu bercahaya indah , menyinari hidup dan kehidupan kita selamanya. (Padang, 1996 – 2014). **