Soal penyidikan dan perhitungan kerugian keuang negara masih menjadi perdebatan secara hukum, terutama terkait wewenang penyidikannya. Hal ini tidak terlepas pula dari adanya berbagai interpretasi terkait Pasal 13 UU Pemeriksaan keuangan negara. Hal itu dikemukakan antara lain oleh Pakar Hukum Pidana Mudzakkir dalam persidangan uji materil UU Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuagan Negara sebagaimana diberitakan pada mahkamahkonsitusi.go.id berkut.
Pakar Hukum Pidana Mudzakkir mengatakan wewenang melakukan penyidikan dilakukan oleh negara kemudian negara mendelegasikan kepada organ negara yang resmi yang diberi wewenang untuk itu. Organ negara tersebut dilakukan oleh pegawai negara atau pegawai negeri yang diangkat menjalani tugas dan wewenangnya untuk/dan atas nama negara.
Hal tersebut karena wewenang dalam penyidikan untuk keadilan/pro justitia/ demi keadilan berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa tidak boleh diperoleh melalui kegiatan interpretasi hukum melalui putusan pengadilan, putusan Mahkamah Konstitusi, atau melaui MOU, atau juga surat edaran, atau sejenisnya. “Majelis Hakim yang saya muliaka, saya jelaskan tidak boleh dalam konteks sistem Negara Republik Indonesia ini yang berlaku hukum positif sekarang adalah namanya penyidik swasta itu tidak ada. Jadi tidak boleh ada penyidik swasta apalagi dia diberi wewenang untuk melakukan penahanan,” ujarnya dalam sidang lanjutan perkara nomor 54/PUU-XII/2014 di ruang sidang pleno Mahkamah Konstitusi, Senin (27/10).
Sehingga, dia menjelaskan, frasa dapat dalam Pasal 13 UU Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara menimbulkan berbagai macam interpretasi yang melahirkan ketidakpastian hukum dan dapat berbuntut pada pelanggaran terhadap hak-hak seseorang yang dijadikan tersangka, terdakwa, atau terpidana karena dia masuk penjara disebabkan semata-mata karena interpretasi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum.
Penggunaan kata dapat dalam Pasal 13 UU tersebut mengandung kalimat atau pernyataan hukum yang tidak tegas, tidak jelas, dan tidak jelas maksudnya, dan tidak sesuai dengan maksud dan tujuan penggunaan wewenang dalam melakukan kegiatan audit investigatif. Padahal dalam pembuktian tindak pidana korupsi khususnya unsur dapat merugikan keuangan negara, menurut Ahli, adalah sebagai unsur yang harus dibuktikan.
“Investigatif adalah wewenang melakukan kegiatan penyidikan untuk keadilan pro justitia atau demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa sehingga harus bersifat pasti untuk menjamin dan melindungi hak-hak hukum yang diperiksa dalam audit investigatif yang hasilnya dapat menentukan seseorang menjadi tersangka, terdakwa, dan terpidana,” imbuhnya.
Sehingga menurutnya, kata dapat seharusnya harus dihapus saja. Kalau untuk kepentingan pembuktian unsur suatu pidana mestinya dilakukan pemeriksaan investigatif atau yang disebut sebagai audit investigatif. “Saya kira pendapat Ahli sudah saya sampaikan hasil kajian Ahli memang relevansinya seperti itu karena dalam satu audit ada audit general dan audit khusus dan khusus untuk perkara pidana pembuktian dalam suatu perkara pidana, itu dikenal sebagai audit investigatif,” ujarnya.
Audit Umum Harus Ditindaklanjuti
Sedangkan Auditor Publik Zulkifli Aboebakar mengatakan tujuan melakukan audit adalah untuk meyakinkan bahwa semua data yang disajikan oleh auditee di dalam LKPD atau Laporan Keuangan Daerah telah taat asas terhadap peraturan perundang-undangan yang ada. Menurutnya, apabila semua taat aturan dalam PP Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Internal Pemerintah BPKP berfungsi sebagai internal auditor, sementara BPK itu adalah eksternal auditor yang mewakili publik.
Dalam konteks tersebut, dia mengaku heran karena seringkali melihat bahwa hampir dari 520 kota dan kabupaten plus 33 atau 34 provinsi yang ada, itu sekitar 70% sampai 80% mendapatkan disclaimer opinion. Menurutnya, hal itu terjadi karena sistem administrasi keuangan dan administrasi umum yang dijalankan oleh entitas yang ada belum sepenuhnya memahami apa yang diinginkan oleh UU Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. “Ada ketidakpahaman untuk melaksanakan aturan-aturan yang ada disebabkan kelemahan sumber daya manusia yang dimiliki oleh Negara, atau kabupaten, kota, dan provinsi yang ada,” jelasnya.
Lebih lanjut, dalam pelaksanaan atau implementasi audit umum, auditor sangat tergantung kepada PP Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Internal Kontrol. Karena luasnya cakupan item yang harus diperiksa, maka auditor tidak mungkin untuk melakukan pemeriksaan 100%. Jadi, auditor hanya memeriksa berdasarkan sampling. Semakin bagus sistem internal kontrol yang ada, maka sample yang diambil sedikit, kecil. Kalau sistem internal kontrolnya weak atau weaknesses-nya besar sekali, maka sample yang diambil besar.
Dia juga mengaku heran apa alasan pihak kejaksaan dan/atau kepolisian menggunakan laporan keuangan pemerintah daerah produk dari audit umum. Pasalnya, audit umum tidak memberikan gambaran tentang kecurangan kecuali di dalam management letter itu. “Jadi, management letter itulah yang mengatakan ada indikasi. Kalau indikasi, kan belum tentu,” katanya.
Indikasi tersebut seharusnya wajib ditindaklanjuti dengan melakukan pemeriksaan khusus. Namun kenyataannya, dari laporan yang diperkarakan ini, pihak kepolisian dan kejaksaan tanpa menggunakan laporan investigasi atau laporan spesial audit langsung menggunakan produk dari general audit untuk menjadikan seseorang pejabat di daerah atau kepala dinas yang mempunyai kewenangan untuk menyusun LKPD SKPD-nya untuk dijadikan tersangka, padahal hasil pengamatan umum bukan pengamatan yang sangat mendalam.
Oleh karena itu, dia mengusulkan kata dapat dalam Pasal 13 UU Kekayaan Negara dapat diganti dengan kata wajib tanpa mempersoalkan material atau tidak. “Jadi kalau dimaknai bahwa di dalam proses audit itu ada indikasi fraud (kecurangan), maka kebijakannya adalah wajib dan/atau harus dilakukan pemeriksaan khusus,” imbuhnya.
Sebelumnya, Tersangka kasus Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Pengelolaan Keuangan pada Dinas Pekerjaan Umum Faisal menguji materi Pasal 10 ayat (2), Pasal 11 huruf c, dan Pasal 34 ayat (1) UU BPK, serta Pasal 13 UU Pemeriksaan, Pengelolaan, dan Tanggung Jawab Keuangan Negara terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
Menurut Pemohon, frasa ditetapkan dengan putusan BPK dalam Pasal 10 ayat (2) UU BPK memiliki penafsiran yang tidak pasti sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum. “Penafsiran yang tidak pasti terkait siapa yang berhak menentukan ada atau tidaknya kerugian negara dan bagaimana mekanisme untuk menentukan ada-tidaknya kerugian tersebut,” ujarnya dalam persidangan perkara teregistrasi nomor 54/PUU-XII/2014 di ruang sidang pleno MK, Jakarta, Rabu (16/7).
Lebih lanjut, Pasal 13 UU Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara terdapat kata dapat. Hal tersebut, menurut Pemohon, berpotensi menimbulkan standar pemberlakuan yang ganda, sehingga memunculkan ketidakpersamaan di hadapan hukum. “BPK RI bisa saja menerapkan pemeriksaan investigatif pada suatu kasus tertentu, namun tidak dalam kasus yang lain,” imbuhnya.
Kata dapat dalam Pasal 13 tersebut, bisa juga ditafsirkan sebagai sebuah kebolehan untuk mengungkap kerugian negara, menggunakan mekanisme pemeriksaan jenis lain selain dari mekanisme pemeriksaan investigatif. Bahkan, kata tersebut bisa ditafsirkan sebagai sebuah kebolehan bagi BPK RI untuk mengungkap kerugian negara tanpa perlu melakukan sebuah mekanisme pemeriksaan.
Selain itu, pada Pasal 11 huruf c UU BPK yang menyatakan BPK dapat memberikan keterangan ahli dalam proses peradilan mengenai kerugian negara atau kerugian daerah, Pemohon menilai norma tersebut dapat ditafsirkan ganda. Pertama, BPK RI berwenang menunjuk pihak eksternal sebagai ahli dalam siding, misalnya kasus kerugian negara atau tindak pidana korupsi. Kedua, BPK berwenang menunjuk pihak internal dari dalam pegawai BPK sendiri sebagai ahli dalam persidangan. “Dalam kasus yang Pemohon hadapi pada saat kemarin, Yang Mulia. Bahwa sidang pada saat di tingkat pembuktiannya, BPK menghadirkan dari internal,” ungkapnya.
Adapun Pasal 10 ayat (2) UU BPK menyatakan:
Penilaian kerugian keuangan negara dan/atau penetapan pihak yang berkewajiban membayar ganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan keputusan BPK.
Pasal 11 huruf c UU BPK menyatakan:
Keterangan ahli dalam proses peradilan mengenai kerugian negara/daerah.
Pasal 34 ayat (1) UU BPK menyatakan:
BPK dalam menjalankan tugas dan wewenangnya dibantu oleh Pelaksana BPK, yang terdiri atas Sekretariat Jenderal, unit pelaksana tugas pemeriksaan, unit pelaksana tugas penunjang, perwakilan, Pemeriksa, dan pejabat lain yang ditetapkan oleh BPK sesuai dengan kebutuhan.
Sedangkan Pasal 13 UU Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara menyatakan:
Pemeriksa dapat melaksanakan pemeriksaan investigatif guna mengungkap adanya indikasi kerugian negara/daerah dan/atau unsur pidana. (Lulu Hanifah/mh)
Sumber: mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.Berita&id=10323#.VE43BSKsWn0
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar
Code Parser
×