Pemeriksaan finansial tidak bisa serta merta membuat simpulan adanya perbuatan melawan hukum, khususnya perbuatan melawan hukum pidana. Apabila diidentifikasi ada kekurangan yang nyata, harus dilanjutkan terlebih dahulu dengan pendalaman pemeriksaan performa.
Ahli Hukum Kerugian Keuangan Negara Dian Puji N. Simatupang mengatakan pemeriksaan investigatif pada hakikatnya terdapat dua pemeriksaan, yakni pemeriksaan keuangan dan pemeriksaan performa. “Pemeriksaan performalah yang dapat menyimpulkan ada tidaknya kerugian negara akibat perbuatan melawan hukum atau kelalaian,” ujarnya dalam sidang perkara nomor 54/PUU-XII/2014 di ruang sidang Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (7/10).
Menurutnya, tidak bisa pemeriksa keuangan tiba-tiba menyimpulkan adanya kerugian atau perbuatan melawan hukum atau kelalaian administrasi karena akuntan tidak pernah dididik atau diberikan pengetahuan secara pengetahuan hukum. Selain itu, dalam pemeriksaan memungkinkan adanya bukti yang tidak akurat dan tidak objektif karena pemeriksa tidak pernah melakukan pengujian silang dengan pihak yang berkepentingan. Padahal, merupakan hak asasi seorang untuk mendapatkan pembelaan dari pemeriksaan.
Lebih lanjut, pemeriksaan investigatif menurut peraturan Badan Pemeriksa Keuangan Nomor 1 Tahun 2008 harus menerapkan asas asersi, yaitu asas ketika semua pihak atau orang yang terkait dengan objek pemeriksaan diberikan kesempatan untuk didengar dan diminta keterangan. “Jika tidak dilakukan pemeriksaan investigatif pada seseorang, maka asas asersi ini tidak akan pernah diterapkan. Hal ini berpotensi melanggar hak asasi atau hak warga negara khususnya pihak yang terkait yang diperiksa sesuai dengan syarat dan prosedur yang seharusnya,” jelasnya.
Dia mengatakan penentuan simpulan kerugian negara, baik karena perbuatan melawan hukum dan kelalaian, hakikatnya harus dilakukan dalam suatu pemeriksaan investigatif agar kewenangan hukum yang lahir akibat hasil pemeriksaan tersebut sah dan tidak melanggar hak untuk memperoleh persamaan di hadapan hukum.
Kewenangan BPK Provinsi
Pada keterangan lain, ahli hukum tata negara Margarito Kamis mengatakan BPK perwakilan di provinsi bukan BPK yang berwenang melaksanakan fungsi sebagaimana dinyatakan secara eksplisit dalam Pasal 23E ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). “Tetapi BPK perwakilan dapat melakukan fungsi BPK RI dengan bersyarat. Syaratnya adalah harus ada penugasan, misalnya diberikan surat tugas secara spesifik. Bila tidak demikian, saya berpendapat audit investigasi itu tidak tepat secara hukum atau tidak valid secara hukum,” ujarnya.
Lebih lanjut, dia berpendapat hasil pemeriksaan dalam konteks Pasal 23E UUD 1945 tidak dapat dijadikan dasar menentukan seseorang melakukan tindak pidana korupsi atau telah melakukan menyalahgunakan kewenangan yang mengakibatkan terjadinya kerugian keuangan negara. Sebab, konteks Pasal 23E UUD 1945 adalah policy. “Menurut saya, hasil pemeriksaan dalam konteks Pasal 23 ayat (1) tidak dapat dijadikan dasar untuk menyangka seseorang melakukan tindak pidana apalagi memastikan bahwa keadaan hukum yang ada pada hasil pemeriksaan itu menjadi dasar menentukan adanya kerugian keuangan negara dan seseorang itu yang bertanggung jawab,” imbuhnya.
Sebab, katanya, sudah menjadi pendapat umum, audit atau pemeriksaan keuangan (audit financial) tidak pernah menyebutkan secara spesifik, siapa melakukan apa, kapan, dan bertanggung jawab apa? Selalu hanya bersifat general. “Hal yang general tidak bisa dipakai sebagai dasar untuk menerangkan sesuatu yang bersifat spesifik,” tutupnya.
Sebelumnya, Tersangka kasus Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Pengelolaan Keuangan pada Dinas Pekerjaan Umum Faisal menguji materi Pasal 10 ayat (2), Pasal 11 huruf c, dan Pasal 34 ayat (1) UU BPK, serta Pasal 13 UU Pemeriksaan, Pengelolaan, dan Tanggung Jawab Keuangan Negara terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
Menurut Pemohon, frasa ditetapkan dengan putusan BPK dalam Pasal 10 ayat (2) UU BPK memiliki penafsiran yang tidak pasti sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum. “Penafsiran yang tidak pasti terkait siapa yang berhak menentukan ada atau tidaknya kerugian negara dan bagaimana mekanisme untuk menentukan ada-tidaknya kerugian tersebut,” ujarnya dalam persidangan perkara teregistrasi nomor 54/PUU-XII/2014 di ruang sidang pleno MK, Jakarta, Rabu (16/7).
Lebih lanjut, Pasal 13 UU Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara terdapat kata dapat. Hal tersebut, menurut Pemohon, berpotensi menimbulkan standar pemberlakuan yang ganda, sehingga memunculkan ketidakpersamaan di hadapan hukum. “BPK RI bisa saja menerapkan pemeriksaan investigatif pada suatu kasus tertentu, namun tidak dalam kasus yang lain,” imbuhnya.
Kata dapat dalam Pasal 13 tersebut, bisa juga ditafsirkan sebagai sebuah kebolehan untuk mengungkap kerugian negara, menggunakan mekanisme pemeriksaan jenis lain selain dari mekanisme pemeriksaan investigatif. Bahkan, kata tersebut bisa ditafsirkan sebagai sebuah kebolehan bagi BPK RI untuk mengungkap kerugian negara tanpa perlu melakukan sebuah mekanisme pemeriksaan.
Selain itu, pada Pasal 11 huruf c UU BPK yang menyatakan BPK dapat memberikan keterangan ahli dalam proses peradilan mengenai kerugian negara atau kerugian daerah, Pemohon menilai norma tersebut dapat ditafsirkan ganda. Pertama, BPK RI berwenang menunjuk pihak eksternal sebagai ahli dalam siding, misalnya kasus kerugian negara atau tindak pidana korupsi. Kedua, BPK berwenang menunjuk pihak internal dari dalam pegawai BPK sendiri sebagai ahli dalam persidangan. “Dalam kasus yang Pemohon hadapi pada saat kemarin, Yang Mulia. Bahwa sidang pada saat di tingkat pembuktiannya, BPK menghadirkan dari internal,” ungkapnya.
Adapun Pasal 10 ayat (2) UU BPK menyatakan:
Penilaian kerugian keuangan negara dan/atau penetapan pihak yang berkewajiban membayar ganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan keputusan BPK.
Pasal 11 huruf c UU BPK menyatakan:
Keterangan ahli dalam proses peradilan mengenai kerugian negara/daerah.
Pasal 34 ayat (1) UU BPK menyatakan:
BPK dalam menjalankan tugas dan wewenangnya dibantu oleh Pelaksana BPK, yang terdiri atas Sekretariat Jenderal, unit pelaksana tugas pemeriksaan, unit pelaksana tugas penunjang, perwakilan, Pemeriksa, dan pejabat lain yang ditetapkan oleh BPK sesuai dengan kebutuhan.
Sedangkan Pasal 13 UU Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara menyatakan:
Pemeriksa dapat melaksanakan pemeriksaan investigatif guna mengungkap adanya indikasi kerugian negara/daerah dan/atau unsur pidana. (Lulu Hanifah/mh)
Sumber: mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.Berita&id=10264
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar
Code Parser
×