Oleh : M. Safni
Mahasiswa S2 Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Bung HattaIndonesia telah merdeka selama 69 tahun namun apa yang menjadi cita-cita proklamasi seperti apa yang tertuang dalam alinia keempat UUD 1945 masih jauh dari harapan. Telah berlalu tiga zaman yang masing-masingnya punya karakter tersendiri yaitu zaman orde lama yang berlangsung selama lebih kurang 20 tahun, zaman orde baru yang berlangsung selama 32 tahun dan zaman reformasi yang sudah berlangsung lebih dari 16 tahun namun sistem ketata negaraan Indonesia belum berhasil menciptakan sistem birokrasi pemerintahan yang efektif. Harapan akan adanya perbaikan terhadap birokrasi pemerintahan muncul setelah adanya reformasi ditahun 1998 dimana salah tuntutannya adalah reformasi terhadap birokrasi pemerintahan.
Birokrasi pemerintahan merupakan suatu organisasi pemerintahan yang dijalankan dengan sistem perintah/instruksi yang terdiri dari berbagai tingkatan jabatan (hirarki) yang berbentuk piramida. Birokrasi pemerintahan yang terbesar di Indonesia adalah Negara Republik Indonesia yang dipimpin oleh presiden dibantu oleh para menteri dan kepala lembaga negara. Menteri dan kepala lembaga negara masing-masingnya memimpin birokrasi pemerintahan dilingkungan kementerian atau lembaga negara sesuai pembidangan. Dibawahnya ada Gubernur yang memimpin birokrasi di propinsi dan Bupati/Walikota memimpin birokrasi di kabupaten/kota. Namun menurut ciri birokrasi seperti yang dikemukakan Weber, Presiden, Gubernur maupun Bupati/Walikota bukanlah merupakan birokrasi karena jabatan tersebut dipilih oleh rakyat.
Presiden, Gubernur maupun Bupati/Walikota mempunyai kekuasaan atas birokrasi karena mempunyai kewenangan untuk menyusun sistem birokrasi dan mengangkat maupun memberhentikan aparat yang menjalankan birokrasi. Kekuasaan dan kewenangan yang dimiliki oleh pejabat terhadap birokrasi pemerintahan tersebut sampai saat ini belum dapat mewujudkan apa yang diinginkan oleh rakyat. Salah satu yang diinginkan oleh rakyat adalah terdapatnya rasa keadilan . Rakyat saat ini sering menyaksikan tayangan berita di televisi banyaknya pejabat dan birokrasi yang ditangkap karena tersangkut masalah korupsi. Pemberitaan tersebut telah membentuk opini bahwa birokrasi pemerintahan dari dulu sampai sekarang tetap seperti itu tidak mengalami perubahan.
Opini yang terbentuk dimasyarakat tersebut tidak salah karena memang kenyataannya seperti itu. Penulis ingin mengambil salah satu contoh tentang perilaku korupsi pejabat dan birokrasi. Pada zaman orde baru perilaku korupsi lebih banyak terjadi di pusat karena memang birokrasi waktu itu bersifat sentralistik. Kekuasaan dan otoritas berada di lembaga kepresidenan dan departemen sehingga seluruh keputusan ada disana. Seluruh penerimaan negara disetor kepusat masuk ke APBN dan pengeluarannya melalui belanja negara yang dituangkan dalam bentuk daftar isian kegiatan (DIK) dan daftar isian proyek (DIP). Anggaran terbesar APBN digunakan oleh departemen dan jajarannya kebawah seperti kantor wilayah departemen ditingkat propinsi dan kantor departemen tingkat kabupaten/kotamadya. Perencanaan proyek bersifat dari atas (bottom up) sehingga daerah menerima saja proyek-proyek apa yang telah direncanakan oleh pusat. Pengawasan yang ada hanya pengawas internal yang disebut dengan Inspektorat Jenderal tidak ada pengawasan yang dilakukan oleh pihak independen seperti BPK. Kondisi seperti itu telah menyebabkan besarnya kebocoran anggaran disetiap departemen. Korupsi selanjutnnya dilaksanakan di daerah tidak berbeda jauh dengan apa yang terjadi dipusat. Dana APBN yang dialokasikan ke daerah dilaksanakan dalam bentuk instruksi presiden (Inpres) yang digunakan untuk pembangunan seperti pembangun jalan, pembangunan sekolah, pembangunan puskesmas dan kegiatan penunjang lainnya. Pengelola proyek inpres ini adalah orang-orang tertentu yang dekad dengan kepala daerah seperti Kepala Dinas Pekerjaan Umum, Ketua Bappeda, Kepala Dinas Kesehatan, Kepala Bagian Pembangunan dan Kepala Bagian Keuangan. Pada pengelolaan proyek ini banyak sekali celah yang dapat menyebabkan terjadinya tindak pidana korupsi.
Setelah reformasi perilaku korupsi pada birokrasi pemerintahan mulai bergeser dari pusat kedaerah. Hal ini terjadi karena adanya UU tentang perimbangan antara keuangan pemerintah dengan keuangan pemerintah daerah propinsi dan pemerintah daerah kabupaten /kota sehingga melalui dana perimbangan dan dana bagi hasil, penerimaan daerah bertambah jauh lebih besar dari sebelumnya. Dengan semakin besarnya anggaran daerah, walaupun pengawasan telah semakin ketat perilaku korupsi oleh birokrasi pemerintahan tetap semakin meningkat. Menurut catatan KPK per September 2014 jumlah kepala daerah yang tersangkut masalah korupsi sudah lebih dari 300 orang. Kepala daerah yang diduga maupun yang telah diputuskan melakukan korupsi tersebut tentu tidak melaksanakanya sendiri. Minimal ada tiga aparat dibawah kepala daerah yang terlibat dalam setiap tindak pidana korupsi tersebut yaitu Sekretaris Daerah, Pejabat Pembuat Komitmen, Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan dan Bendahara. Dari beberapa kasus tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh pejabat ataupun birokrasi tidak semua kasus telah menyebabkan pelaku memperkaya diri ataupun menerima uang dari kegiatan tersebut, akan tetapi ada diantaranya akibat dari kelalaian birokrasi dalam mengelola administrasi sehingga menimbulkan kerugian negara.
Dengan semakin besarnya anggaran dan besarnya kekuasaan dan kewenangan telah menyebabkan minat tokoh atau elit masyarakat untuk menjadi kepala daerah juga semakin besar. Untuk memperoleh posisi menjadi kepala daerah tersebut berbagai cara harus ditempuh. Bagi yang akan memperoleh kedudukan harus mengeluarkan banyak biaya dan bagi yang akan mempertahankan kedudukan juga memerlukan banyak biaya, termasuk menggunakan birokrasi dan fasilitas negara. Biaya yang telah dikeluarkan tersebut harus dapat dikembalikan setelah menduduki jabatan sebagai kepala daerah. Fenomena menggunakan kekuasaan dan kewenangan untuk menggerakan birokrasi dalam mempertahankan kekuasaan tersebut telah menjadi tren saat ini. Ada banyak cara yang dapat digunakan oleh penguasa didaerah dalam mempertahankan jabatannya sebagai kepala daerah. Dalam tulisan ini penulis akan mengemukakan dua saja yaitu pengerahan kegiatan dalam APBD oleh birokrasi untuk menarik hati masyarakat dan sistem tender jabatan.
1. Pelaksanaan kegiatan dalam APBD tujuannya tidak hanya semata untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat akan tetapi bagaimana supaya kegiatan tersebut dapat meningkatkan citra kepala daerah dimata masyarakat agar supaya nanti bisa terpilih kembali. Untuk itu kepada kepala SKPD diminta untuk bisa sebanyak mungkin mencari momen yang dapat mengumpulkan masyarakat yang akan dihadiri oleh kepala daerah. Cara yang tepat untuk itu adalah melaksanakan kegiatan APBD dalam bentuk pertemuan-pertemuan dan pemberian bantuan. Disini yang menjadi tolok ukur dari keberhasilan seorang birokrasi dimata kepala daerah adalah sampai seberapa banyak dapat mengumpulkan masa yang diprediksi dapat mendukung kepala daerah mencalon lagi sebagai kepala daerah. Bagi birokrasi yang dianggap tidak mendukung dan bagi birokrasi yang berseberangan atau mendukung pihak lain akan dihabisi.
2. Jabatan dalam sebuah sistem birokrasi yang baik adalah merupakan amanah dan tanggung jawab yang harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Puncak karir seseorang dalam sebuah birokrasi adalah jabatan yang maksimal yang bisa diperolehnya. Pada saat ini dengan sistem pemilihan kepala daerah yang berlaku, sistem birokrasi tidak lagi sehat. Apa yang diharapkan terhadap birokrasi sesuai dengan perundangan seperti seorang aparatur harus mempunyai kompetensi, harus professional dan harus netral tidak berlaku. Dalam menentukan seseorang yang akan duduk sebagai pejabat bukan lagi seperti apa yang disebut diatas. Akan tetapi seberapa besar seseorang yang ingin menduduki jabatan tersebut menyanggupi menstor uang, baik saat mau diangkat maupun nanti setelah menduduki jabatan. Sistem tender jabatan, itulah istilah yang tren saat ini, bukan sistem lelang jabatan yang dilakukan oleh Gubernur DKI Joko Widodo terhadap pejabatnya yang melakukan fet and proper test terhadap pegawai. Bisa kita bayangkan bagaimana seorang pejabat yang telah ditempatkan dalam suatu jabatan menutupi target yang telah ditetapkan oleh sang kepala daerah, tentu saja akan menjarah APBD yang seharusnya mensejahterakan rakyat.
Bila dipahami secara seksama apa yang menjadi target dari pemerintah melalui Kementrian Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi terhadap reformasi birokrasi di Indonesia, akan sulit diwujudkan bila sistem rekrutmen kepala daerah tidak diperbaiki. Apa yang dilaporkan oleh kepala daerah dalam Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) setiap tahun adalah sesuatu yang semu. Mungkin tidak semua daerah seperti itu dengan kata lain ada juga daerah yang baik, akan tetapi ditempat penulis bertugas kenyataannya seperti itu.
Berdasarkan uraian diatas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa birokrasi saat ini belum sebagaimana yang diharapkan oleh rakyat, belum bisa terlepas dari prilaku korupsi dan merupakan alat dari penguasa untuk mempertahankan kekuasaannya.*