Skip to main content
Boy Yendra Tamin

follow us

Dinamika Birokrasi Indonesia Dan Sistem Pengawasan Untuk Mewujudkan Good Governance

Oleh: Ridho Afrianedy, S.HI, Lc

Mahasiswa S2 Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Bung Hatta dan Hakim Pada Pengadilan Agama Sungai Penuh.

Sebagai warga negara Indonesia, tentunya pernah bersinggungan langsung dengan alur birokrasi pemerintah dalam mengurus administrasi surat atau apapun. Mulai dari hal yang sifatnya individu misalkan pengurusan KTP, Akta Kelahiran, Kartu Keluarga, SIM, NPWP, SIUP, sertifikat tanah dan lain-lain.

Ada yang merasa puas karena pelayanannya baik, ada yang merasa kecewa dan kesal karena pelayanannya lambat dan berbelit-belit, ada yang marah dan makan hati karena harus melalui beberapa meja petugas apalagi petugas yang ditunjuk tidak ada atau sedang keluar bahkan ada petugas yang minta uang pelicin agar urusan bisa lancar dan cepat.

Permasalahan diatas mengenai dinamika birokrasi di Indonesia sudah menjadi rahasia umum bahwa setiap pengurusan apapun di instansi pemerintah terkesan lamban, lama, berbelit-belit, birokrasi panjang, pungutan liar bahkan suap, sehingga muncul adagium negatif “kalau bisa di persulit kenapa harus dipermudah”.

Sebagai warga negara yang baik, tentunya mengikuti segala aturan dan sistem yang telah diberlakukan dalam pengurusan apapun mulai dari berkas-berkas yang diperlukan sebagai syarat akan tetapi karena kebutuhan akan surat resmi tersebut serta keinginan pengurusan agar lebih cepat tak jarang ada warga negara yang menyuap petugas.

Padahal tiap instansi pemerintah ada SOP (Standar Operasional Prosedur) dalam melayani masyarakat. Akan tetapi SOP ini ditabrak karena ada kepentingan buruk untuk menyeleweng dan bisa mendapat penghasilan tambahan di luar gaji dan tunjangan yang diberikan oleh negara.

Sehingga pada bulan Mei tahun 2013 kemaren, Wakil Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Eko Prasojo mengungkapkan ada 7 realita kebobrokan birokrasi di Indonesia, yaitu 1]:

1. Pola pikir para birokrasi di Indonesia terlalu sesuai aturan.

2. Orientasi budaya kerjanya lemah.

3. Birokrasi di Indonesia secara organisasi terlalu gemuk.

4. Peraturan perundang-undangan yang tidak harmonis.

5. Banyak seorang birokrasi ditempatkan di posisi yang tidak sesuai dengan kemampuannya.

6. Soal kewenangan yang tumpang tindih atau overlapping sehingga ada kecenderungan penyalahgunaan kewenangan oleh birokrat.

7. Pelayanan publik yang buruk.

Pernyataan diatas membuktikan reformasi birokrasi yang dicanangkan oleh pemerintah bahkan ada departemen khusus untuk menangani sistem birokrasi di Indonesia belum berhasil. Masih banyak celah-celah kelemahan yang masih kelihatan dan menjadi rahasia umum bahwa aparatur sipil negara tidak maksimal dalam mencurahkan kinerjanya dan memaksimalkan waktu yang tersedia untuk peningkatan pelayanan publik.

Maka tak heran dalam survei Doing Business 2009 yang dibuat oleh International Finance Corporation (IFC) di 181 negara, Indonesia berada pada urutan 129. Posisi Indonesia berada jauh di bawah thailand yang menduduki peringkat 13, Malaysia di urutan 20 dan Vietnam posisi ke-92, Indonesia hanya sedikit diatas Kamboja dengan peringkat 135 dan Filipina dengan urutan 140, ASEAN perlu berbangga karena negeri jiran Singapura mempertahankan posisinya di peringkat pertama disusul urutan berikutnya Selandia Baru, AS, Hongkong dan Denmark 2].

Kalau kita membandingkan dengan negara-negara yang mana birokrasi pemerintahannya telah berjalan dengan baik disertai adanya indikasi rasa kepuasan dari masyarakatnya dalam menerima pelayanan dari pemerintahnya, ada beberapa hal yang bisa menjadi tolak ukur kita dalam mencapai good governance tersebut. Diantaranya dengan the right man on the right place, adanya analisis jabatan dalam penempatan seseorang dalam suatu jabatan. Kesesuaian jabatan dengan kemampuan aparatur tersebut akan memudahkannya dalam menerjemahkan isi kebijakan yang telah dibuat dan telah diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan serta kebijakan atasannya demi mewujudkan pelayanan publik yang prima dan jangan sampai terjadi pemerintah hanya bisa membuat peraturan saja namun tidak bisa melaksanakannya dengan baik.

Akan tetapi, dalam menjalankan roda pemerintahan, ada suatu hal yang sangat dijaga oleh para birokrat Indonesia dan sudah menjadi rahasia umum juga yaitu menutup aib sesama antar birokrat. Budaya kerja seperti ini akan menimbulkan dampak negatif yang luar biasa dalam mewujudkan good governance bahkan menjadi hambatan utama dalam reformasi birokrasi yang dicanangkan oleh pemerintah.

Sedangkan dalam perusahaan swasta ada konsep yang dikenal yaitu good corporate governance (GCG), di Indonesia, konsep GCG resmi diterapkan di lingkungan perusahaan BUMN melalui keputusan Kepmeneg BUMN Nomor KEP-117/M-MBU/2002 tentang Penerapan Praktik GCG pada BUMN. Konsep GCG itu ada lima yaitu transparency, independency, accountability, responsibility dan fariness 3].

Besar kemungkinan konsep GCG bisa diterapkan diadopsi ke instansi-instansi pemerintah agar bisa memiliki daya saing dalam hal non profit akan tetapi dalam hal peningkatan pelayanan prima untuk masyarakat agar stigma negatif terhadap birokrasi pemerintahan bisa berubah kearah yang positif.

Sehingga ada perubahan besar di dunia dalam bidang birokrasi pemerintahan ini. Semua kebijakan yang diambil oleh para birokrasi pemerintahan berbagai negara telah mengacu pada pasar, sebagaimana yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan besar dalam melayani pangsa pasarnya. Dalam hal ini tentu pasar birokrasi adalah masyarakat sehingga dalam hal pelayanan bisa maksimal diberikan kepada masyarakat dengan orientasi kepuasan masyarakat dalam menerima pelayanan dari birokrasi pemerintah.

Namun bagi kebanyakan orang, menjadi seorang aparatur negara berarti telah memiliki suatu kekuasaan sesuai dengan tugas pokoknya. Sehingga kemungkinan-kemungkinan untuk menyelewengkan kekuasaannya tersebut bisa jadi terjadi baik dari sisi internal pribadinya seperti kurang inisiaatif dalam bekerja, terlalu banyak formalitas, lamban dan tidak totalitas dalam bekerja maupun dari sisi eksternal berupa godaan suap, uang dan lain-lain.

Sikap mental seperti ini akan menimbulkan dampak buruk dalam jalannya birokrasi pemerintahan, akan banyak pencapaian-pencapaian yang tidak sesuai dengan target, kemudian menurunnya dukungan publik akan program-program yang dibuat oleh pemerintah dan hal ini akan menjadi problem tersendiri kedepannya.

Apalagi pada era reformasi ini, dengan ditandai dengan pemilihan kepala daerah secara langsung baik ditingkat gubernur, walikota/bupati, anggota DPRD I dan anggota DPRD II tiap 5 tahun sekali adalah sesuatu yang positif, akan tetapi pasca pemilihan dan telah terpilihnya gubernur yang baru, walikota/bupati yang baru serta anggota dewan yang baru menimbulkan gejolak di tingkat birokrasinya, karena sudah menjadi rahasia umum apabila gubernur telah berganti, walikota/bupati berganti maka kepala dinas, kabid, kasie, kepala sekolah, camat, lurah juga akan berganti.

Spesial Untuk Anda:

Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar