Oleh Drs. Dasril Ahmad
KRITIKUS sastra, Jakob Sumardjo menyatakan, dalam era Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) dewasa ini, manusia memang cenderung memandang teknik, ilmu pengetahuan dan sebagainya itu menjadi prioritas utama dalam hidupnya. Makanya, perasaan-perasaan mereka pun juga perasaan-perasaan yang setara dengan itu, yaitu perasaan-perasaan yang cuma bisa menyenangkan sesaat. Jika teknologi menghasilkan “mie instant”, “susu instant” dan sebagainya, maka mereka juga ingin seni yang instant saja. Sekali pakai sudah itu tukar. Kita tahu tiap hari mereka mengonsumsi seni, tapi seni yang dikonsumsi itu adalah seni instant, seni populer itu saja, yang memberikan kesenangan sesaat. Mereka memerlukan itu karena sesuai dengan tuntutan ilmu dan teknologi itu sendiri dalam hidup mereka sehari-hari. Meskipun sebetulnya seni semacam itu tidak “mengisi” apa-apa, tidak menyehatkan rohani mereka sama-sekali.
Jakob Sumardjo menyatakan hal itu dalam kesempatan wawancara tentang eksistensi sastra dan seni pada umumnya dalam era IPTEK ini, di sela-sela berlangsungnya Kongres Bahasa Indonesia VI, Senin (1/11/1993) lalu di Bali Room Hotel Indonesia, Jakarta. Oleh karena itulah, Jakob yang sehari-hari adalah juga dosen di Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI) Bandung ini, menegaskan sudah saatnya kita menyadarkan bahwa sesungguhnya manusia yang sebenarnya itu tidaklah hanya cukup mengonsumsi perasaan-perasaan semacam itu. Tetapi sebagai manusia kita punya perasaan-perasaan yang lebih mulia, lebih luhur, lebih dalam daripada apa yang selama ini diterima oleh masyarakat. “Nah, sekarang tugas seni adalah menggali perasaan-perasaan yang demikian itu, bukan hanya menggali pikiran-pikiran. Terutama adalah membawa manusia ke perasaan-perasaan tertentu. Kalau seni itu sifatnya religius, ya, ke perasaan-perasaan religius itu. Ini ‘kan perlu. Tapi hal ini pula yang sering tidak dilihat oleh manusia sekarang, bahwa seni itu bukan hanya untuk kesenangan sesaat saja. Bahwa seni itu juga bisa membawa manusia ke perasaan-perasaan tadi, di samping juga ke pikiran-pikiran yang mungkin setara dengan tuntutan ilmu pengetahuan,” katanya.
Mengambil contoh pada karya sastra, menurut Jakob, kalau manusia menyadari sepenuhnya hal itu,maka ia yakin sastra tidak akan disebut marjinal lagi dalam kehidupan masyarakat Indonesia sekarang. Keyakinannya itu lebih didasari atas pandangan optimistisnya, bahwa sastra akan tetap eksis dan dibutuhkan manusia, biarpun dalam era IPTEK dan arus globalisasi sekali pun. Sebab, lanjutnya, manusia itukan hidup dari pikiran, dari perasaan, dan dari segala kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Jadi selama manusia itu masih ingin disebut “manusia”, jelas ia tetap membutuhkan teknik dan hasil-hasilnya yang membutuhkan ilmu pengetahuan. Lalu, perasaan manusia itu pun juga harus diisi, harus dikontrol, yang antara lain dapat diberikan oleh karya-karya sastra. “Jadi saya kira, selama manusia itu masih tetap ‘manusia yang utuh’, ia senantiasa tetap membutuhkan karya-karya sastra dan seni pada umumnya,” tandas Jakob pula.
Sungguhpun demikian, Jakob Sumardjo pun mengakui, kemajuan media informasi elektronik seperti televisi dewasa ini, merupakan suatu tantangan yang tak bisa kita elakkan. Media televisi itu, menurutnya, menantang masyarakat untuk mesti banyak belajar dari situ, karena ia disodorkan tiap hari dan datang sendiri. Selain itu televisi juga merupakan tantangan tersendiri bagi sastra, yang tampak pengaruhnya terhadap pilihan selera untuk menumbuhkan minat baca, peningkatan apresiasi sastra masyarakat sebagai upaya kongkrit dalam melihat maraknya eksistensi sastra itu di tengah masyarakat kita. “Oleh karena televisi sudah memberi suguhan yang menyenangkan dan meninabobokkan masyarakat, tentu masyarakat akan serta-merta melupakan karya sastra. Masyarakat kita tentu akan memilih media televisi yang menyenangkan itu daripada karya sastra yang menantang mereka pula untuk berpikir guna memahami isinya. Inilah tantangan bagi sastra yang tak bisa kita elakkan itu,” papar Jakob.
Lebih jauh, menurut Jakob Sumardjo, untuk merangsang kembali minat baca masyarakat pada karya sastra di tengah dahsyatnya pengaruh tayangan media televisi dewasa ini, sudah saatnya kita pikirkan untuk menerbitkan karya-karya sastra dengan daya tarik (format) yang bagus, semenarikmungkin, guna menandingi/mendekati daya tarik dari media televisi itu tadi. Sebagai contoh, kritikus sastra kelahiran Klaten, Jawa Tengah, 26 Agustus 1939, dan menamatkan pendidikan formal Sarjana Sejarah IKIP Bandung (1970) ini menyebutkan, novel “Siti Nurbaya” misalnya, kalau novel itu mau diterbitkan kembali haruslah dibuat formatnya begitu rupa agar tampak semenarik mungkin. Kalau perlu, lanjutnya, ya, bikin ilustrasinya yang bagus-bagus lagi. “Meski kehadiran ilustrasi itu bukan sesuatu yang esensial, tapi saya kira hal itu perlu untuk menandingi daya tarik media televisi itu tadi. Dengan demikian diharapkan agar masyarakat masih berminat membeli dan membaca buku-buku karya sastra yang bernilai tinggi itu,” ia menyarankan.
Meskipun di satu segi, Jakob menyadari banyak orang yang tidak setuju dengan kehadiran ilustrasi dalam buku sastra –karena akan membatasi imajinasi pembaca terhadap cerita, tapi di segi lain ia menilai kalau untuk konsumsi pelajar (yang banyak terpikat daya tarik tayangan media televisi itu), ilustrasi dalam karya sastra itu masih perlu untuk menumbuhkan minat baca mereka. “Kalau bagi kita mungkin ilustrasi itu tidak begitu perlu. Tetapi bagi orang lain, saya kira masih diperlukan ilustrasi itu guna memasyarakatkan sastra di tengah pesatnya kemajuan media televisi dewasa ini. Karena bukan mustahil dengan melihat daya tarik ilustrasinya, tentu minat mereka untuk membaca bukunya akan bangkit pula dengan segera,” tutur Jakob lagi.
Begitu pula, banyaknya karya sastra yang diangkat sebagai sinetron di media televisi belakangan ini, dilihat Jakob sebagai sesuatu yang menggembirakan untuk memancing minat baca masyarakat pada sastra. Menurut dia, asal sinetron itu digarap dengan baik (berhasil), tentu tak akan mengurangi minat baca masyarakat terhadap karya sastranya. Tetapi, kalau penggarapannya jelek, malah yang timbul adalah sebaliknya. Masyarakat akan punya gambaran bahwa novel itu jelek, sehingga mereka tak lagi tertarik untuk membaca novel itu. “Jadi fungsi film dan sinetron itu sebenarnya sama saja dengan kehadiran ilustrasi pada buku sastra itu tadi. Masyarakat, karena telah melihat sinetron atau ilustrasinya yang bagus, tentu mereka tertarik untuk membaca bukunya,” tegas Jakob.
Kurang Pas
Sementara itu, sistem pengajaran sastra yang diberlakukan di lapangan pendidikan dewasa ini, menurut Jakob Sumardjo pun sudah harus dibenahi, karena dinilai kurang pas untuk menanamkan apresiasi sastra terhadap siswa. Pada hematnya, banyaknya timbul keluhan apresiasi sastra siswa menurun, itu antara lain disebabkan karena guru-guru sekarang banyak yang nggak mengajarkan apresiasi, tapi hanya mengajarkan pengetahuan sastra saja sebagaimana yang dituntut oleh kurikulum.
“Itulah sebabnya, saya pikir, sistem pengajaran (termasuk kurikulum) sastra itu yang harus kita benahi dulu. Sebab, jika guru-guru cuma pintar –dan dituntut hanya, mengajarkan pengetahuan sastra saja, tanpa mengajarkan kesusastraan yang dapat menumbuhkan apresiasi, tentu apresiasi dan eksistensi sastra tak tertanam baik di kalangan siswa dalam era IPTEK dan globalisasi ini,” ungkap Jakob.
Sebaiknya, tambah dia, pengajaran sastra itu harus dilakukan di luar jam pengajaran sastra resmi. Pengajaran sastra resmi (formal) itu kan bertujuan untuk mendapatk anangka-angka (nilai), yang dasarnya hanya pengetahuan saja, bukan berdasarkan bobot pengalaman seseorang yang tak bisa kita nilai. Menurut Jakob, pengetahuan sastra itu tetap sah diberikan, tapi di samping itu hendaknya juga diberikan pengajaran yang sifatnya memberikan pengalaman kesastraan yang tak bisa dinilai itu. “Itulah, menurut saya, metode pengajaran apresiasi sastra yang relevan saat ini,” tukasnya.
Akhirnya, menurut Jakob, jika pembenahan sistem pengajaran sastra itu belum juga dilaksanakan, maka kita janganlah menyesali kondisi apresiasi siswa terhadap sastra yang tidak menggembirakan itu. Persoalannya adalah, karena sistem pengajaran sastra yang diterapkan selama ini kurang pas, mengakibatkan sastra di kalangan kaum terpelajar itu kurang tertanam. “Jadi akhirnya, orang-orang yang menyenangi sastra itu adalah orang-orang yang memang dilahirkan untuk senang sastra, senang seni, bukan karena hasil pendidikan. Mereka itu sebenarnya mendidik dirinya sendiri, mencintai sastra dan menjadi sastrawan. Kita tidak perlu lagi heran, jika di dalam era IPTEK dan globalisasi ini banyak orang yang menyenangi “seni instant” saja, meskipun tak mengisi apa-apa dan tidak menyehatkan rohani itu,” demikian Jakob sumardjo, yang hingga kini telah menerbitkan 18 buku esei, kritik dan apresiasi sastra itu, menegaskan. (Dasril Ahmad) ***
*) Tulisan lama (1993), pernah dimuat di Harian Haluan (Padang) dan Tabloid Mingguan Mutiara, Jakarta, keduanya pada edisi Desember 1993.