Oleh Akhmad Kholil Irfan, S.Ag, SH
Hakim Pengadilan Agama Sungai Penuh.Indonesia adalah Negara Hukum, hal tersebut bisa kita lihat dalam konstitusi Negara kita, yaitu pada pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”. Kemudian pada pasal 28H, ayat (2) amandemen ketiga, dijelaskan bahwa “Setiap orang berhak mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.
Perubahan sistem politik dan kekuasaan negara pasca reformasi telah membawa angin segar bagi perkembangan cita demokrasi. Jargon Trias politika kian hari, kian nampak. Adanya kejelasan pembagian kekuasanan, tidak ada lembaga Negara yang paling superior dalam negeri ini. Kekuasaan eksekutif di era ORBA (orde baru) begitu kuat, nyaris tidak bisa dikontrol, tuntutan reformasi memaksa kita untuk saling mengontrol. Hal yang sama juga terjadi pada lembaga legislatif dan yudikatif, dulu yang bersifat ekslusif dan terkesan tertutup, sulit diakses sekarang sudah mulai terbuka.
Penguatan mekanisme kontrol saling jaga dan adanya keseimbangan (checks and balances mechanism) antar cabang kekuasaan negara juga menjadi agenda utama dalam proses amandemen UUD 1945. Salah satu lembaga negara utama (main state organ) yang dibentuk berdasarkan hasil amandemen UUD 1945 untuk menjalankan mekanisme checks and balances tersebut adalah Mahkamah Konstitusi.
Reformasi sesungguhnya merupakan proses yang harus senantiasa dilakukan secara bertahap dan sistematis, sehingga setiap pelaksanaannya harus memiliki pemetaan dan skala prioritas yang jelas dan tetap terintegrasi satu sama lain. Selain itu reformasi hendaknya selalu identik dengan kata perubahan, sehingga arah perubahan yang dimaksud dapat terlihat jelas dan akuntabel.
Dalam pasal 24 UUD 1945 amandemen ketiga ayat (1), berbunyi” Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan”. Dari term diatas dapat diambil kesimpulan bahwa; Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka, artinya dalam menjalankan kekuasaanya yang diaplikasikan oleh 4 (empat) lingkungan peradilan dibawahnya harus bebas dari intervensi pihak manapun.
Menurut Lawrence M. Friedman, setiap sistem hukum selalu mengandung tiga komponen, yaitu komponen struktural, substansial dan kultural. Kebanyakan orang selalu berpendapat bahwa apa yang dinamakan sistem hukum hanya mencakup komponen struktural dan substansial saja tanpa mempertimbangkan adanya komponen kultural.[1]
Berbicara budaya hukum, juga berbicara tentang kesadaran hukum masyarakat dan budaya serta kebiasaan yang ada dalam masyarakat. Budaya dan kebiasaan masyarakat yang bersifat konvensional maupun budaya dan kebiasaan masyarakat yang bersifat modern. Berkembangnya teknologi Informasi di Negeri kita, sangat berimbas akan berubahan budaya dan kebiasaan masyarakat, baik yang positif maupun negatif.
Dalam rangka memenuhi tuntutan zaman dan perkembangan teknologi yang begitu pesat, maka Mahkamah Agung melalui Putusan Ketua Mahkamah Agung nomor : 144/KMA/I/20011, tentang Pedoman Pelayanan Informasi di Pengadilan, memberikan payung hukum perihal keterbukaan informasi di Pengadilan. Hal tersebut merupakan respon positif dari Mahkamah Agung atas tuntutan reformasi birokrasi, demi terwujudnya good governance.
Secara ideal sosok birokrasi publik telah ditetapkan dalam konsideran UU No. 43 Tahun 1999, tentang Perubahan atas UU No. 8 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian. “Bahwa dalam rangka usaha mencapai tujuan nasional untuk mewujudkan masyarakat madani yang taat hukum, berperadaban modern, demokratis, makmur, adil dan bermoral tinggi, diperlukan pegawai negeri yang merupakan unsur aparatur negara yang bertugas sebagai abdi masyarakat yang menyelenggarakan pelayanan secara adil dan merata, menjaga persatuan dan kesatuan bangsa dengan penuh ketaatan kepada Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Bahwa untuk maksud tersebut diperlukan pegawai negeri yang berkemampuan melaksanakan tugas pemerintah dan pembangunan serta bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme”.[2]
Jargon Reformasi Birokrasi.
Reformasi berasal dari bahasa inggris yaitu reform “memperbaiki” yang berarti perubahan suatu sistem yang sudah ada pada suatu masa.[3] Kitapun sering mendengar kata reformasi dalam pemerintahan yang dapat diartikan perubahan suatu sistem pemerintahan tersebut. Pemerintah dalam arti sempit hanya menyangkut eksekutif saja, akan tetapi pemerintah dalam arti luas masuk didalamnya legislatif dan yudikatif.
Dalam suatu reformasi, sangat erat dan sering dikaitkan dengan kata birokrasi. Birokrasi berasal dari kata “bureau” yang berarti meja atau kantor dan kata kratia (cratein) yang berarti pemerintahan.[4] Birokrasi berdasarkan definisi yang dikemukakan oleh beberapa ahli adalah suatu sistem kontrol dalam organisasi yang dirancang berdasarkan aturan-aturan yang rasional dan sistematis dan bertujuan untuk mengkordinasi dan mengarahkan aktifitas-aktifitas kerja individu dalam rangka penyelesaian tugas-tugas administrasi.
Berbicara soal birokrasi, tidak bisa lepas dari konsep yang digagas Max Weber, sosiolog asal Jerman, dalam karyanya “The Theory of Economy and Social Organization”, yang dikenal dengan dengan ideal type (tipe ideal) birokrasi modern. Joyce Warham dalam “An open case” menyebutkan bahwa birokrasi model weber mempunyai tipe ideal yang sama seperti tipe ideal profesional yang sering diadopsi dalam berbagai rujukan birokrasi di berbagai negara, termaksuk di Indonesia, walaupun dalam penerapannya tidak sepenuhnya bisa dilakukan.
Weber membangun konsep birokrasi berdasar teori sistem kewarganegaraan yang dikembangkannya. Ada tiga jenis kewenangan yang berbeda dalam teori ini. 1) Kewenangan tradisional (traditional authority), mendasarkan legitimasi kewenangan pada tradisi yang diwariskan antar generasi. 2). Kewenangan kharismatik (charismatic authority), mendasarkan legitimasi kewenangan dari kualitas pribadi yang tinggi dan bersifat supranatural. 3). Kewenangan legal rasional (legal rational authority), mendasarkan kewenangan yang bersumber pada peraturan perundang-undangan. Dalam analisis Weber, birokrasi tipe ideal yang dapat menjamin efisiensi yang tinggi harus mendasarkan pada otoritas legal rasional.[5]
Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa reformasi birokrasi dapat diartikan sebagai perubahan secara mendasar, baik mind set, maupun culture set penyelenggara negara dari mentalitas yang bersifat mengawasi, mengontrol dan menguasai masyarakat (kolonial paradigm), menjadi penyelenggara negara (birokrasi) yang pro kepada good public service serta tata kelola pemerintahan yang dapat meminimalisir terjadinya KKN (kolusi korupsi dan nepotisme), baik pada suprastruktur maupun infrastruktur penyelenggara negara dan juga penegakan supremasi hukum.
Publikasi Putusan Respon Positif Menuju Pengadilan Yang Good And Clean
Didalam Undang-undang nomor 48 tahun 2009, tentang Kekuasaan Kehakiman pasal 52 ayat (1) dan (2) menyebutkan “ayat (1), Pengadilan wajib memberikan akses kepada masyarakaat untuk memperoleh informasi yang berkaitan dengan putusan dan biaya perkara dalam proses persidangan, ayat (2) pengadilan wajib menyampaikan salinan putusan kepada para pihak dalam jangka waktu yang ditentukan berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Dari maksud pasal 52 tersebut dapat diambil kesimpulan, publikasi putusan berdasarkan hirarki aturan hukum yang ada sudah merupakan kewajiban bagi lembaga yudikatif. Dalam perjalannya agar tidak terjadi kesalahan dan pemahaman yang berbias luas akan hal tersebut, maka Mahkamah Agung mengeluarkan Keputusan Ketua Mahkama Agung nomor 1-144/KMA/SK/I/2011, tentang Pedoman Pelayanan Informasi di Pengadilan, memberi arah dan pedoman yang jelas tentang pelayanan tugas informasi yang efisien dan efektif serta sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan sesuai tugas, fungsi dan organisasi pengadilan.
Sesungguhnya publikasi putusan, adalah merupakan bagian kecil dari sebuah informasi yang bisa didapat di dalam lembaga peradilan itu sendiri. Perlu ditegaskan KMA 1-144/KMA/SK/I/2011, merupakan dasar hukum yang bersifat aplikatif bagi peradilan untuk mem-publis- berbagai informasi yang ada di Pengadilan.
Dalam KMA 1-144/KMA/SK/I/2011, dijelaskan perihal definisi dari informasi itu sendiri adalah: “Informasi adalah keterangan, pernyataan, gagasan, dan tanda-tanda yang mengandung nilai, makna, dan pesan, baik data, fakta maupun penjelasannya yang dapat dilihat, didengar, dan dibaca yang disajikan dalam berbagai kemasan dan format sesuai dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi secara elektronik ataupun non elektronik yang dihasilkan, disimpan, dikelola, dikirim, dan/atau diterima oleh suatu Pengadilan yang berkaitan dengan penyelenggara dan penyelenggaraan tugas dan fungsi pengadilan; baik yang berkaitan dengan penanganan perkara, maupun yang berkaitan dengan pengelolaan organisasi pengadilan “. Dari pengertian diatas putusan adalah merupakan produk peradilan yang berkaitan dengan ending dari sebuah proses di pengadilan itu sendiri (informasi yang berkaitan dengan penanganan perkara).
Didalam lampiran1 huruf C2 KMA nomor 1-144/KMA/SK/I/2011, tentang Pedoman Pelayanan Informasi di Pengadilan, dijelaskan bahwa maksud dengan publikasi putusan adalah; “seluruh putusan dan penetapan Pengadilan, baik yang telah berkekuatan hukum tetap maupun yang belum berkekuatan hukum tetap (dalam bentuk fotokopi atau naskah elektronik, bukan salinan resmi)”. Berkaitan dengan publikasi putusan juga dikenal dengan adanya anonimisasi putusan, yaitu pengaburan informasi yang memuat identitas para pihak yang berperkara, saksi dan pihak terkait dalam putusan yang akan dipublikasikan. Artinya walaupun akses informasi yang berkaitan dengan putusan sebuah perkara, privacy dari para pihak, saksi dan pihak-pihak yang terkait tetap terjaga.
Disetiap pengadilan juga terdapat SOP (standar operasional prosedur), berkaitan dengan publikasi putusan. SOP tentang aktifitas publikasi putusan dimulai dari dasar putusan Majelis Hakim yang memutus perkara tertentu, setelah Majelis menghimpun dan meneliti putusan yang akan di publikasikan, langkah selanjutnya adalah menyerahkan putusan tersebut pada petugas meja III, petugas meja III berkordinasi dengan Panitera Muda Hukum dan juga tim untuk melakukan anonimisasi (pengaburan informasi yang memuat identitas para pihak yang berperkara, saksi dan pihak terkait dalam putusan) berpedoman pada SK KMA 1-144 tahun 2011. Tahap selanjutnya adalah mempublikasikan putusan yang telah dianonimisasi dalam direktori putusan pengadilan yang tersedia dalam web site pengadilan tersebut.
Catatan kaki:
[1] Abdul Manan, Aspek-aspek Pengubah Hukum, Kencana, 2006, Jakarta. Hlm.96.
[2] Sudarsono Harjosoekarto, Visi Besar Tanpa Transformasi Birokrasi dalam Memahami Hukum dari Konstitusi sampai Implementasi, PT RajaGrafindo Persada,2011, hlm. 323.[3] Nur Amin Saleh, Makalah, Reformasi Birokrasi Upaya Mewujudkan Implementasi Good Governance, BEM FPSi Univ 45 makasar, 2014, hlm.1. [4] Ibid. [5] Ibid, hlm.2.DAFTAR PUSTAKA
Abdul Aziz Hakim. Negara Hukum dan Demokrasi Di Indonesia. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. 2011.Abdul Manan. Aspek-aspek Pengubah Hukum. Kencana. Jakarta. 2005.Charlie Rudyat. Kamus Hukum, Pustaka Mahardika. Jakarta.Hendarmin Ranadireksa. Bedah Konstitusi Lewat Gambar (Dinamika Konstitusi Indonesia). Fokus Media. Bandung. 2007.Muladi. Hak asasi Manusia, Hakikat Konsep dan Implikasinya dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat, Refika Aditama. Bandung, 2007.Jimly Asshidiqi. Menuju Negara Hukum yang Demokratis. Buana Ilmu Populer. Jakarta. 2009.Nuramin Saleh (Makalah), Reformasi Birokrasi Upaya Mewujudkan Implementasi Good Governance, BEM Univ. 45 Makasar, Fak. Psikologi, 2014.Pan Mohamad Faiz, Mengawal Demokrasi Melalui Constitutional Review, UI Untuk Bangsa, 2009.Perludem (Perkumpulan Pemilu dan Demokrasi), Sabtu 06 September 2014, 15.39. (Dalam Kompas).Ridwan HR. Hukum Administrasi Negara. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. 2010.Satya Arianto dan Ninuk Triyanti. Memahami Hukum dari Konstruksi sampai Implementasi. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. 2011.Soerjono Soekanto. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum . PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. 2011.Undang-undang Dasar RI Tahun 1945, Konstitusi Republik Indonesia, Hasil Amandemen; 1,II,III,IV.Undang-undang Nomor. 43 Tahun 1999, tentang perubahan atas Undang-undang Nomor. 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian.Undang-undang Nomor. 48 tahun 2009, tentang Kekuasaan Kehakiman.