Oleh: Nazhifah Amir
Program Pascasarjana Universitas Bung HattaGerakan reformasi berhasil mendorong terjadinya amandemen terhadap UUD 1945 yang berlangsung mulai tahun 1999 sampai dengan tahun 2002 melalui 4 (empat) tahapan amandemen. Amandemen UUD 1945 yang diikuti dengan perubahan undang-undang dan peraturan pelaksana turunannya untuk mendukung perubahan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
Amanat reformasi juga dituangkan dalam TAP MPR No.VIII/MPR/2001 Tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan Dan Pencegahan Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme meliputi :
⦁ Komisi Pemberantasan Tipikor;⦁ Perlindungan saksi dan korban Kejahatan terorganisasi;⦁ Kebebasan mendapatkan informasi;⦁ Etika pemerintahan;⦁ Kejahatan pencucian uang;⦁ OmbudsmanSalah satu upaya tindak lanjut dari kebebasan mendapatkan informasi, melahirkan UU RI Nomor 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik. Pada butir b. Menimbang, menyatakan bahwa hak memperoleh informasi merupakan hak asasi manusia dan keterbukaan informasi publik merupakan salah satu ciri penting negara demokratis yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat untuk mewujudkan penyelenggaraan negara yang baik.
Hal ini juga sejalan dengan pernyataan SBY selaku Presiden di era reformasi. Pernyataan SBY, pada tanggal 30 April 2010 “UU KIP (Keterbukaan Informasi Publik) adalah bagian dari upaya mewujudkan ‘Good Governance’. Marilah kita jaga bersama sehingga publik mengetahui betul apa yang dilakukan badan publik, tujuannya apa, prosesnya seperti apa, akuntabilitasnya seperti apa”. Demikian dukungan Presiden SBY untuk transparansi demi terwujudnya ‘good Governance’ di Indonesia pada era reformasi ini.
Dengan adanya keterbukaan informasi publik, diharapkan masyarakat dapat mengakses informasi birokrasi, hal ini merupakan salah satu upaya mendorong reformasi birokrasi. Ujung muaranya adalah untuk tata kelola pemerintahan yang baik atau ‘Good Governance’.
Reformasi pelayanan publik menjadi titik strategis untuk memulai pengembangan good governance. Sebab pelayanan publik menjadi ranah interaksi antara negara yang diwakili pemerintah dan lembaga-lembaga non-pemerintah(masyarakat sipil dan mekanisme pasar). Dan berbagai aspek good governance dapat diartikulasikan secara lebih mudah pada ranah pelayanan publik, sekaligus lebih mudah dinilai kinerjanya,Pelayanan publik dewasa ini menjadi isu yang kian strategis karena kualitas kinerja birokrasi pelayanan publik memiliki implikasi luas pada berbagai aspek kehidupan masyarakat. Perbaikan kinerja pelayanan birokrasi di bidang ekonomi misalnya, akan mendorong terciptanya iklim kondusif bagi kegiatan usaha dan investasi, yang pada gilirannya akan membuka kesempatan kerja lebih luas. Secara politis, perbaikan kinerja pelayanan birokrasi akan berdampak tumbuhnya kepercayaan (trust), dan legitimasi terhadap pemerintah sehingga mendorong partisipasi masyarakat. Pelayanan publik yang berkualitas merupakan salah satu indikator terjadinya perubahan penyelenggaraan pemerintahan yang berpihak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Reformasi birokrasi telah diakomodasi dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005 – 2025. Dokumen RPJPN menyebutkan bahwa arah kebijakan dan strategi nasional bidang pembangunan aparatur dilakukan melalui reformasi birokrasi untuk meningkatkan profesionalisme aparatur Negara dan mewujudkan tata pemerintahan yang baik.
Dalam butir menimbang UU No. 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara disebutkan : bahwa dalam rangka pelaksanaan cita-cita bangsa dan mewujudkan tujuan negara sebagaimana tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, perlu dibangun aparatur sipil negara yang memiliki integritas, profesional, netral dan bebas dari intervensi politik, bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta mampu menyelenggarakan pelayanan publik bagi masyarakat dan mampu menjalankan peran sebagai unsur perekat persatuan dan kesatuan bangsa berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Bahwa pelaksanaan manajemen aparatur sipil negara belum berdasarkan pada perbandingan antara kompetensi dan kualifikasi yang diperlukan oleh jabatan dengan kompetensi dan kualifikasi yang dimiliki calon dalam rekrutmen, pengangkatan, penempatan, dan promosi pada jabatan sejalan dengan tata kelola pemerintahan yang baik.
Bahwa untuk mewujudkan aparatur sipil negara sebagai bagian dari reformasi birokrasi, perlu ditetapkan aparatur sipil negara sebagai profesi yang memiliki kewajiban mengelola dan mengembangkan dirinya dan wajib mempertanggungjawabkan kinerjanya dan menerapkan prinsip merit dalam pelaksanaan manajemen aparatur sipil negara;Asas-Asas Penyelenggaraan kebijakan dan Manajemen Aparatur Sipil Negara disingkat ASN. Dalam pelaksanaan Penyelenggaraan kebijakan dan Manajemen ASN berdasarkan pada asas :
a. kepastian hukum;b. profesionalitas;c. proporsionalitas;d. keterpaduan;e. delegasi;f. netralitas;g. akuntabilitas;h. efektif dan efisien;i. keterbukaan;j. non diskriminatif;k. persatuan dan kesatuan;l. keadilan dan kesetaraan; danm. kesejahteraan.Perlu wujud nyata ‘Good governance’, untuk pengelolaan birokrasi yang lebih baik. Diharapkan Ibukota tidak lagi jadi magnet bagi pencari kerja. Diharapkan pemerintah daerah juga mampu menggali potensi daerah dan munculnya peluang-peluang kerja di daerah-daerah. Pemerintahan berjalan secara efektif dan efisien, serta tepat guna, terutama adanya kemudahan akses bagi masyarakat terhadap keterbukaan informasi publik di pusat dan di daerah.
Ciri-ciri dari ‘Good governance’ yaitu : Transparansi, Partisipasi, akuntabiliti, sustainbility. Maka untuk mewujudkan ‘Good governance’ dicanangkan reformasi birokrasi sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 81 Tahun 2010 Tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025
Beberapa prinsip dalam melaksanakan reformasi birokrasi dapat dikemukakan sebagai berikut :
Outcomes oriented. Seluruh program dan kegiatan yang dilaksanakan dalam kaitan dengan reformasi birokrasi harus dapat mencapai hasil (outcomes) yang mengarah pada peningkatan kualitas kelembagaan, tatalaksana, peraturan perundang-undangan, manajemen SDM aparatur, pengawasan, akuntabilitas, kualitas pelayanan publik, perubahan pola pikir (mind set) dan budaya kerja (culture set) aparatur. Kondisi ini diharapkan akan meningkatkan kepercayaan masyarakat dan membawa pemerintahan Indonesia menuju pada pemerintahan kelas dunia.
Terukur. Pelaksanaan reformasi birokrasi yang dirancang dengan outcomes oriented harus dilakukan secara terukur dan jelas target serta waktu pencapaiannya.
Efisien.Pelaksanaan reformasi birokrasi yang dirancang dengan outcomes oriented harus memperhatikan pemanfaatan sumber daya yang ada secara efisien dan profesional.
Efektif. Reformasi birokrasi harus dilaksanakan secara efektif sesuai dengan target pencapaian sasaran reformasi birokrasi.
Realistik Outputs dan outcomes dari pelaksanaan kegiatan dan program ditentukan secara realistik dan dapat dicapai secara optimal.
Konsisten. Reformasi birokrasi harus dilaksanakan secara konsisten dari waktu ke waktu, dan mencakup seluruh tingkatan pemerintahan, termasuk individu pegawai.
Sinergi. Pelaksanaan program dan kegiatan dilakukan secara sinergi. Satu tahapan kegiatan harus memberikan dampak positif bagi tahapan kegiatan lainnya, satu program harus memberikan dampak positif bagi program lainnya. Kegiatan yang dilakukan satu instansi pemerintah harus memperhatikan keterkaitan dengan kegiatan yang dilakukan oleh instansi pemerintah lainnya, dan harus menghindari adanya tumpang tindih antarkegiatan di setiap instansi.
Inovatif. Reformasi birokrasi memberikan ruang gerak yang luas bagi K/L dan Pemda untuk melakukan inovasi-inovasi dalam penyelenggaraan pemerintahan, pertukaran pengetahuan, dan best practices untuk menghasilkan kinerja yang lebih baik.
Kepatuhan. Reformasi birokrasi harus dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Dimonitor. Pelaksanaan reformasi birokrasi harus dimonitor secara melembaga untuk memastikan semua tahapan dilalui dengan baik, target dicapai sesuai dengan rencana, dan penyimpangan segera dapat diketahui dan dapat dilakukan perbaikan.
Untuk menjawab pertanyaan, mungkinkah Indonesia mewujudkan good governance, jawabannya adalah bisa mungkin dan tidak mungkin tergantung kepada ‘stake holder’ atau pihak-pihak yang berkepentingan dengan hal tata kelola pemerintahan ini, yaitu seluruh elemen bangsa Indonesia. Mulai dari pemimpin dan seluruh jajarannya termasuk masyarakat secara luas. Bila hal ini sudah menjadi tekad bersama tentu good governance dapat terwujud. Mengingat perjuangan untuk perubahan ini sudah melewati perjuangan berkorban darah, nyawa dan air mata. Tidak sedikit harta yang sudah dikorbankan, namun mereka yang di zona nyaman juga berjuang mati-matian untuk bertahan.*