Catatan Hukum: Boy Yendra Tamin
Yurisprudensi merupakan salah satu sumber hukum yang sangat penting dalam pemeriksaan suatu perkara. Hal ini terutama berkaitan dengan ketentuan Pasal 16 ayat (1) UU No 4 Tahun 2004 yang menyatakan, bahwa pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu suatu perkara yang diajukan dengan dalih, bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadili.
Dalam kaitan itu, dalil “hukum tidak ada atau kurang jelas” tentu bukanlah sebuah alasan yang untuk tidak memeriksa atau mengadili suatu perkara. Artinya dalam kondisi peraturan perundang-undangan belum ada, maka terhadap kasus-kasus kongkrit yang diajukan ke pengadilan , hakim harus tetap menjalankan fungsi pembentukan hukum dengan cara menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Hal ini kemudian dikenal pula dengan interprestasi dan lahirlah produk hukum yang kemudian disebut dengan yurisprudensi.
Meskipun belakangan muncul cara pandang yang kurang tepat, ketika putusan-putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap di rujuk dan disebutkan sebagai sebuah yurisprudensi. Cara pandang yang hanya merujuk suatu putusan pengadilan, tidaklah sama artinya sebagai sudah merujuk sebuah yurisprudensi. Dalam kaitan ini, harus diingat bahwa suatu putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap baru dapat digolongkan sebagai sebuah yurisprudensi apa bila memenuhi syarat:
Putusan atas suatu peristiwa hukum yang belum jelas peraturan perundang-undangannya,
- Sudah berkekuatan hukum tetap
- Berulang kali dijadikan dasar hukum untuk memutus perkara yang sama
- Putusan hakim itu telah memenuhi rasa keadilan masyarakat.
- Dan putusan itu telah dibenarkan oleh Mahkamah Agung.
Seperti telah dikemukakan , bahwa sesungguhnya yurisprudensi sangat esensi dalam penyelesaian perkara-perkara konkrit yang diajukan ke pengadilan atas kasus yang sama. Bagaimana bentuk kesamaan kasusnya, tentu bukanlah pada jalan peristiwannya, melainkan terkait sifat dan substansi perbuatannya, sehingga atas kasus yang sama tidak terjadi perbedaan perlakuan hukum. Mungkin, ada banyak kasus yang sama diputus dengan putusan yang berbeda. Padahal hal itu tidak akan terjadi apabila putusan hakim yang belakangan merujuk atau mengikuti yurisprudensi. Karenya, seharusnya terhadap putusan yang hakim yang memutus belakangan semestinya mengikuti putusan hakim sebelumnya. Ini menjadi penting, terutama berkaitan dengan keadilan hukum dan kepastian hukum dan kepercayaan masyarakat terhadap pengadilan.
Persoalannya kemudian, seberapa konsisten hakim yang memutus suatu perkara atas suatu perkara yang sama konsisten menerapkan yurisprudensi ? Dalam putusan-putusan hakim sering ditemukan putusan-putusan atas perkara yang sama tidak merujuk suatu yurisprudensi dan terkadang dirujuk. Penegak hukum yang lain seperti jaksa dan advokat merujuk suatu yurisprudensi, namun hakim tidak merujuknya dan bahkan mungkin tidak menyentuhnya. Kondisi seperti itu kemudian menjadikan yurisprudensi sebagai sebuah sumber hukum menjadi lemah, padahal yurisprudensi sesungguhnya menjadi salah kekuatan pengadilan (hakim) dalam mengadili dan membuat keputusan atas suatu perkara. Disisi lain dengan mengedepankan yurisprudensi, maka kepercayaan masyarakat terhadap putusan-putusan hakim akan semakin kuat atas kasus yang sama. (Catatan Hukum Boy Yendra Tamin)