Hukum Indonesia sampai saat ini masih mengenal hukuman mati bagi pelaku kejahatan. Meskipun belakangan persoalan penerapan hukuman mati itu tidak luput dari pandangan hukum yang pro-kontra. Belakangan perdebatan soal hukuman mati menghangat kembali pasca penolakan grasi bagi terpidana mati oleh Presiden Joko Widodo. Secara hukum alasan yang sering diajukan adalah, bahwa hukuman mati itu adalah model sanksi hukum berupa hukuman itu merupakan warisan kolonial Belanda dan alasan lain dengan mengajukan soal HAM yang sudah dituangkan dalam UUD 1945, yakni hak untuk hidup.
Dengan menetapkan bentuk-bentuk kejahatan atau mengklasifikasi sejumlah kejahatan yang bisa diancam dengan hukum mati, setidaknya penggunaan hukum mati terbebas dari pandangan pro-kontra. Tentunya, untuk menerapkan atau menjatuhkan saksi hukum mati tidaklah mudah. Hakim pengadilan harus memperhatikan seberapa berat kesalahan pelaku kejahatan sehingga pantas dihukum mati. Karena itu diperlukan suatu kajian atau penemuan hukum yang esensial dan mendalam atas bentuk-bentuk kejahatan yang dapat dikenai saksi pidana mati, termasuk kadar kejahatan itu sendiri. Dengan kata lain, dalam menentukan suatu kejahatan dengan ancaman hukum mati, tidak didasarkan pada prinsip penghukuman semata, tetapi dipertimbangkan pula apa dampak dari kejahatan untuk jangka panjang, baik terhadap person maupun masyarakat luas, bahkan untuk kelangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara. Pandangan ini tentu hanya sebuah catatan sekilas, dan tentu dengan harapan ada forum hukum yang membedah soal hukuman mati secara menyeluruh dan mendalam soal hukuman mati di Indonesia. (Catatan hukum: Dr. Boy Yendra Tamin, SH. MH).