antara bohong dan Kejujuran bukan dalam perspektif hukum pidana (dh-1
b. Kejujuran diri versus cermin jujur
Berbicara masalah kejujuran atau jujur, merupakan sesuatu yang mudah untuk dikatakan akan tetapi betapa sulit untuk dilaksanakan. Ketika kita jujur pada diri kita, maka pengawasan melekat atau waskat, kemudian audit internal, pengendalian internal untuk menuju cita-cita good governance merupakan sesuatu yang tidak perlu. Akan tetapi kejujuran menjadi sesuatu yang mahal dewasa ini. Dalam suatu penelitian ternyata adanya audit dan pengendalian internal yang dilakukan terhadap para birokrat mempunyai dampak yang luar biasa.
These results indicate that 1) there is a positive relationship between internal audit, internal control and fraud prevention, 2) internal audit, internal control and good government governance affects both fraud prevention and partially simultaneously, 3) internal audit, internal control, good government governance, fraud prevention affects the performance of both local government and partially simultaneously. The contribution of this study describes the effect that the internal audit in the implementation of a consistent internal control for the government to realize good governance and prevent fraud, to improve local government performance on an ongoing basis. The implications of this study showed improved performance of local government for development in the areas of research interest in creating clean government. 5]
Kejujuran diri ternyata belum cukup, karena sejatinya kita masih merasa belum jujur, karena kita butuh diawasi oleh orang lain. Jika kita muslim yang taat, maka kita harus selalu merasa diawasi. Bukankah dalam ajaran Islam setiap gerak-gerik kita senantiasa ditulis oleh malaikat. Doktrin ini sudah didapatkan oleh setiap muslim sejak dia masih kecil. Apakah doktrin ini sudah menjelma dalam prilaku kita sehari-hari, atau kita berusaha melakukan pembohongan terhadap diri kita. Kita merasa lupa diawasai, atau melupakan pengawasan yang dilakukan oleh Illahi. Saya yakin sesungguhnya kita tidak pernah mampu berbohong pada nurani kita. Ketika mulut kita berbohong, maka hakekatnya nurani kita berontak.
Kejujuran diri kita pupuk, kembalikan setiap gerak gerik kita pada kejujuran nurani, niscaya kejujuran yang hakiki akan muncul. Cermin itu tidak pernah bohong, karena cermin adalah perefleksi sejati.
Negara petugas
Ketika kita berbicara hukum, maka akan banyak sekali orang yang mengartikan hukum sesuai dengan pengetahuan dan pengalaman empirisnya. Ada orang yang mengartikan hukum sebagai ketentuan penguasa, maksudnya adakah seperangkat peraturan tertulis yang dibuat oleh pemerintah melalui badan-badan yang berwenang. Ada juga yang mengartikan hukum sebagai petugas, artinya hukum dibayangkan dalam wujud petugas yang berseragam dan bertindak terhadap orang-orang yang melakukan tindakan-tindakan yang membahayakan masyarakat atau melanggar aturan dalam bermasyarakat atau kesepakatan masyarakat yang dilakukan oleh pemerintah. Maka jangan disalahkan ketika Polantas melaksanakan tugas dijalan maka masyarakat menilai Polantas itulah hukum, atau Satpol PP ketika melakukan penertiban terhadap bangunan liar atau para gelandangan dan pengemis (gepeng) dijalanan, maka Satpol PP itulah hukum, atau para Hakim, Advokat, Jaksa ketika melaksanakan persidangan itulah hukum.
Anggapan masyarakat terhadap hukum yang diujudkan dalam bentuk petugas tidak bisa disalahkan atau salah. Karena itulah pengalaman empiris yang mereka alami kemudian diaktualisasikan dalam kenyataan. Ketika diperempatan jalan, lampu merah, kemudian kendaraan menjadi tidak teratur, karena masyarakat memandang hukum tidak ada (petugas), atau ketika para gelandangan dan pengemis merasa nyaman melakukan aksinya di ibu kota karena tidak ada operasi dari petugas (Satpol PP), karena mereka masih menganggap hukum itu petugas. Maka jika petugasnya tidak ada, maka kesadaran untuk tidak melakukan pelanggaran tidak ada. Bagi mereka hukum itu petugas.
Jika kita lihat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dewasa ini, maka para birokrat yang notabene adalah orang-orang pilihan, masih menganggap adanya negara petugas. Artinya mereka akan melaksanakan tugas dengan profesional, transparan dan prinsip-prinsip penyelenggaraan negara yang lainnya, jika mereka diawasi. Lalu apa bedanya para birokrat dengan rakyat biasa, yang ketika melihat hukum adalah petugas? Atau para birokrat yang melihat Negara (pemerintah) adalah petugas, baik petugas pada level Badan pengawas, maupun petugas dalam level pengawasan-pengawasan internal.
Hans Kelsen mengartikan hukum sebagai: Suatu perintah terhadap tingkah laku manusia, atau pendapat Paul Scholten, yang mengartikan hukum sebagai suatu petunjuk hidup tentang apa yang layak dilakukan yang bersifat perintah, atau pendapat Van kant, yang menterjemahkan hukum sebagai keseluruhan aturan hidup yang bersifat memaksa untuk melindungi kepentingan manusia dan masyarakat. 6]
Dari beberapa pengertian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa hukum adalah: Kumpulan peraturan-peraturan yang mengatur tingkah laku manusia tentang apa yang boleh dilakukan atau tidak bersifat memaksa yang mempunyai sangsi tegas dan mempunyai tujuan untuk mencapai kesejahteraan dan keadilan masyarakat.
Jika setiap aparatur negeri ini beranggapan bahwa negara bukan berarti petugas, akan tetapi negara diartikan sebagai sarana mencapai kemakmuran, dan keadilan bersama, maka pelaksanaan good governance, akan mudah mencapainya. Minimal prinsip-prinsi good governance, mulai dari akuntabilitas, kontroling, responsibility, profesional, efisien dan efektif, transparan, kesetaraan, jangkauan kedepan, partisipasi dan penegakan hukum, betul-betul dijadikan cermin diri para birokrat. Prinsip-prinsip good governance, ibarat Cermin impor, yang bagus. Maka masukan inti dari refleksi cermin itu ke dalam nurani masing-masing, kemudian hubungkan dengan ajaran-ajaran agama kita masing-masing dan nilai-nilai luhur bangsa kita, maka harapan untuk mencapai kemakmuran, kesejahteraan dan keadilan negeri ini akan mudah mencapainya. Jangan cermin yang bagus, mahal dan barang impor ini dipecah, gara-gara gambar yang muncul dari refleksi itu jelek, karena yang jelek bukan cerminnya akan tetapi yang jelek adalah mereka-mereka yang ada di depan cermin. Jangan belah, atau pecah cermin itu, karena cermin tidak pernah akan bohong.
Kesimpulan
Dari uraian diatas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Good governance atau kepemerintahan yang baik, yang tercermin dari prinsip-prinsipnya adalah barang impor yang baik, maka harus dilaksanakan dengan segenap kesadaran diri, dari semua aspek penyelenggara negara.
2. Masukan prinsip-prinsip tersebut dalam kehidupan nyata, pada setiap level masyarakat, mulai dari keluarga, hingga masyarakat, tentunya para aparatur penyelenggara negara.
3. Amalkan ajaran Agama kita masing-masing, niscaya cerminan prinsip-prinsip good governance hakekatnya telah ada.
4. Cermin itu tidak pernah bohong, kalau ada kejelekan dalam refleksi cermin, maka yang salah adalah yang berdiri di depan cermin, bukan cerminnya. Wallohu’alam.
* Baca bagian sebelumnya: Cerminku salah.... klik disini.
* Baca juga:
1. Good Governance Di Negeri Serpihan Sorga
2. Tebing Terjal Good Governance
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Aziz Hakim. Negara Hukum dan Demokrasi Di Indonesia. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. 2011.
M. Faozan, Pesan Keadilan dibalik teks hukum yang terlupakan, MARI, Varia Peradilan No. 299 Oktober 2010
Nuramin Saleh (Makalah), Reformasi Birokrasi Upaya Mewujudkan Implementasi Good Governance, BEM Univ. 45 Makasar, Fak. Psikologi, 2014.
Ridwan, Hukum Administrasi Negara,PT RajaGrafindo Persada, 2008, Jakarta
Wahyu Widiana dan Abu Tholhah, Pelaksanaan Program-Program Prioritas Reformasi Birokrasi (Kumpulan Artikel Pilihan), Direjn Badilah MARI, 2012, Jakarta
Widi Lestariningtyas, Indonesian Journal of Economics and Bussiness (IJEB), Vol 2, No. 02, 2012.
edukasi.kompasiana.com/2013/05/08/politisasi-birokrasi-di-indonesia-558239.html .
innocent.blogspot.com/2011/04/pengertian-hukum-sistem-hukum-tujuan.html.
Catatan Kaki:
1] Ridwan, Hukum Administrasi Negara,PT RajaGrafindo Persada, 2008, Jakarta, hlm.254-255.
2] Wahyu Widiana dan Abu Tholhah, Pelaksanaan Program-Program Prioritas Reformasi Birokrasi (Kumpulan Artikel Pilihan), Direjn Badilah MARI, 2012, Jakarta, hlm. 5
3] edukasi.kompasiana.com/2013/05/08/politisasi-birokrasi-di-indonesia-558239.html
4] Asikin dalam Pesan Keadilan dibalik teks hukum yang terlupakan, M. Faozan, Varia Peradilan No. 299 Oktober 2010, hlm. 35.
5] Widi Lestariningtyas, Indonesian Journal of Economics and Bussiness (IJEB), Vol 2, No. 02, 2012.
6] innocent.blogspot.com/2011/04/pengertian-hukum-sistem-hukum-tujuan.html