Oleh: Ridho Afrianedy, S.HI
Mahasiswa Magister lmu Hukum Univ Bung Hatta dan Hakim Pengadilan Agama Sungai PenuhPendahuluan.
Pada era reformasi ini, kebebasan dalam berpendapat sangat dijunjung sekali dalam berbagai bidang. Sehingga masyarakat disuguhi berbagai berita baik dari media massa cetak maupun media elektronik hingga sosial media seperti tweeter, facebook dan lain sebagainya.
Diantara sorotan tajam media pada era reformasi ini adalah dalam bidang penegakan hukum, terutama penegakan hukum tindak pidana korupsi. Hampir tiap hari media massa terutama televisi dalam pemberitaannya menjadikan isu korupsi sebagai trend topic hangat yang harus diungkap dan diekspos ke masyarakat.
Rating berita mengenai tersangka korupsi yang dilakukan oleh para birokrat pemerintahan dalam arti luas baik dari lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif semakin meningkat setelah terbentuknya lembaga KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) pada tahun 2003 sebagai wujud dari disahkannya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Sebuah diskusi live mengenai bidang hukum di salah satu televisi swasta yang dikenal dengan ILC (Indonesia Lawyers Club) menjadi tayangan yang paling digemari oleh masyarakat yang berkecimpung dalam profesi hukum baik dari kalangan mahasiswa hukum, dosen hukum, pengacara hingga masyarakat awam.
Bahkan akhir-akhir ini, lembaga KPK hampir setiap hari di penuhi puluhan wartawan berbagai media untuk meliput berita tentang tersangka korupsi. Kebijakan pimpinan KPK dalam memberitakan siapa yang akan menjadi tersangka seringkali pada hari Jum’at pun ditunggu-tunggu oleh para wartawan, sehingga hari Jum’at dikenal menjadi Jum’at keramat, ini merupakan bentuk pelaksanaan prinsip keterbukaan dalam penegakan hukum dalam institusi KPK.Persidangan demi persidangan pun bisa diikuti oleh masyarakat umum dan aparat pemerintahan lewat tayangan live (langsung). Masyarakat dan aparatur pemerintah menjadi tahu bagaimana proses persidangan bagi tersangka korupsi terutama para birokrat pemerintahan hingga pembacaan putusan oleh Majelis Hakim.
Peran media massa menjadi besar dalam memberikan informasi kepada masyarakat. Opini publik akan terbawa dalam diskusi-diskusi maupun dialog-dialog para pengamat hukum yang tampil dilayar kaca. Sehingga masyarakat semakin tercerdaskan baik dari sisi pemahaman dalam bidang hukum maupun efek jera yang akan dialami oleh para koruptor kalangan birokrat pemerintahan.
Ekpresi yang dimunculkan oleh masyarakat ini dibangun dengan tujuan bahwa hukum akan dapat menjadi efektif hanya jika pelanggaran-pelanggaran dihukum. Hal ini sekaligus menempatkan suatu kewajiban moral atas masyarakat untuk menghukum kejahatan sebagaimana masyarakat menempatkan suatu kewajiban moral atas anggotanya untuk menahan diri agar tidak melanggar hukum. Penjatuhan hukuman menandakan ketidaksetujuan masyarakat terhadap perbuatan-perbuatan jahat dan menegaskan kembali nilai-nilai hukum pidana yang dirancang untuk ditegaskan. Hal ini merefleksikan pandangan yang lebih modern tentang tempat yang lebih tepat bagi retribusi dalam sistem peradilan pidana. (Allen, 1999:3-4).1]
Selain itu, perkembangan kinerja KPK perlu diapresiasi. Dukungan masyarakat luas pada KPK sangat besar. Semakin beraneka ragam modus koruptor dalam mengeruk kekayaan negara serta adanya arus untuk melemahkan posisi KPK patut diwaspadai jangan sampai menurunkan etos kerja KPK dalam memberantas tindak pidana korupsi.
Institusi KPK telah mendapat nama baik dalam mewujudkan prinsip-prinsip good governance dalam lembaganya, sehingga diharapkan akan bisa menjadi contoh bagi institusi negara lainnya, apalagi institusi penegak hukum KPK telah mendapat dukungan dari pers dan masyarakat.
Permasalahan.
Bagaimana pengaruh media dalam pencegahan tindak pidana korupsi oleh KPK sebagai bagian pelaksanaan prinsip good governance diantaranya keterbukaan dan penegakan hukum?
- Bagaimana perkembangan kinerja lembaga KPK dalam penegakan hukum sebagai wujud pelaksanaan good governance instansinya?
A. Pengaruh Media Dalam Pencegahan Tindak Pidana Korupsi oleh KPK berdasarkan Prinsip Good Governance.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi penegakan hukum, sesuai dengan pendapat yang disampaikan oleh Soerjono Soekanto, faktor-faktor tersebut adalah:2]
Faktor hukumnya sendiri, yakni undang-undangnya.
- Faktor penegak hukum yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum.
- Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.
- Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan.
- Faktor kebudayaan yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
Maksud penulis disini adalah media punya pengaruh yang kuat pada era sekarang ini baik melalui media cetak maupun elektronik bahkan sosial media misalkan tweeter, facebook dan lain-lain dalam memberikan informasi dan perkembangan kasus korupsi sehingga memberikan efek yang kuat dan positif dalam penegakan hukum oleh KPK di Indonesia serta berpengaruh dalam mewujudkan prinsip-prinsip good governance di Indonesia.
Kemudian penulis berpendapat, semakin banyak media massa yang mengekpos kasus korupsi menandakan penegakan hukum berjalan dengan baik, hal ini didasari dari sisi kepekaan media dalam menyikapi kasus korupsi apakah melindungi, menutupi atau mengalihkan opini publik atas tindak pidana korupsi yang dijatuhkan pada seseorang.
Sisi lainnya yang penulis tangkap, masyarakat semakin sadar bahwa koruptor itu masih ada, perlu diwaspadai, perlu untuk ditindak, perlu dimeja hijaukan bahkan ada yang berpendapat perlu dihukum mati. Sensitifitas ini perlu dijaga karena korupsi merupakan kejahatan luar biasa (extra ordinary crime).
Perlu kita cermati, budaya saling memberi sebagai bentuk ucapan terima kasih merupakan suatu budaya yang baik, akan tetapi harus dibedakan dengan budaya memberi karena ada suatu hal yang dingin didapat dari seseorang yang sedang mendapat posisi sebagai pejabat publik, karena ini merupakan indikasi adanya upaya penyuapan. Susan Rose Ackerman mengatakan: Cultural anthropologists also tend to be sympathetic to gifts and favors that others call corruption, but they reach that conclusion by a very different route. They study payments or gifts given to officials and the mutual exchange of favors, including electoral quid pro quos. They look to traditions that emphasize loyalties to friends, family, tribe, region, religion, or ethnic group. These practices privilege informal, friendly social contacts over arm’s-length, rule-bound transactions.3] Scholars in this tradition often refuse to label transactions as corrupt if they are based on affective ties, or they claim that, even if formally illegal, the practices are socially acceptable, economically beneficial, and compensate for the imperfections of government and of electoral institutions. Artinya dari sisi antropologi, budaya cenderung menganggap memberi hadiah itu merupakan wujud simpati dan saling berbagi keberhasilan, akan tetapi yang lain menganggap itu merupakan perbuatan korupsi. Ini merupakan sebuah kesimpulan dengan cara/proses yang berbeda. Mereka mempelajari mengenai pemberian hadiah kepada pejabat serta saling tukar hadiah atas keberhasilan suatu proyek termasuk dalam proses pemilihan. Mereka melihat tradisi ini menekankan kesetiaan kepada teman, keluarga, suku, daerah, agama atau kelompok etnis. Praktik-praktik ini merupakan bentuk keistimewaan kontak sosial yang ramah di masyarakat selama itu berjalan secara wajar serta sesuai dengan aturan tradisi itu dan terikat. Kaum agama dalam tradisi ini sering menolak hal tersebut diberi label korupsi karena mereka beranggapan hal ini didasarkan pada ikatan efektif atau jika ini ilegal, praktik ini diterima secara sosial, ekonomi menguntungkan dan mengkompensasi ketidak sempurnaan pemerintah dan lembaga-lembaga pemilihan.
Dalam konteks internasional, World Bank dan Transparancy International mengartikan korupsi sebagai penyalahgunaan kewenangan untuk keuntungan pribadi (corruption is operationally defined as the misuse of entrusted power for private gain). Karena menggunakan jabatan publik sebagai alat untuk meraih keuntungan pribadi, inilah korupsi dipandang oleh masyarakat internasional seperti terlihat dalam kesepakatan negara-negara pihak yang menyetujui Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi 2003 sebagai ancaman atas stabilitas dan keamanan masyarakat, melemahkan lembaga dan nilai-nilai demokrasi, nilai-nilai etika dan keadilan serta membahayakan pembangunan berkelanjutan dan aturan hukum.4]
Penulis bependapat, budaya dan tradisi suatu daerah pasti berbeda dengan daerah lainnya. Indonesia berbeda dengan negara-negara di Eropa dan Amerika, akan tetapi dalam hal gerakan anti korupsi semuanya sepakat harus diberantas karena jauh dari nilai-nilai serta prinsip-prinsip good governance. Sehingga sikap kehati-hatian dalam bertindak bagi seorang pejabat publik harus terus dijaga agar tidak disalahgunakan untuk memperoleh keuntungan belaka.
Peran media dalam bentuk memberitakan suatu kejadian tindak pidana korupsi merupakan bentuk bagian pengawasan oleh masyarakat secara tidak langsung. Efek jera sebagai bentuk tujuan hukum pidana akan semakin efektif bila ada penghukuman dari sisi pemberitaan media yang gencar terhadap tindakan pelaku tindak pidana korupsi. Hal ini demi terwujudnya good governance dalam sistem pemerintahan negara ini.
Selain itu, Penulis melihat sorotan pemberitaan media terhadap tersangka korupsi hingga proses persidangannya secara tidak langsung akan mendorong berjalannya program good governance terutama prinsip akuntabilitas, tanggungjawab dan profesionalitas di berbagai instansi pemerintah pusat dan daerah.
Walaupun ada yang berpendapat, media juga dipengaruhi oleh pemilik modalnya yang kadangkala berafiliasi dengan partai. Sekiranya anggota partainya itu punya kedekatan dengan para birokrat pemerintahan atau bahkan pemilik modal media massa itu terlibat dalam kasus korupsi maka otomatis media itu akan melindungi atau menutupi serta mengalihkan opini publik tentang status atau perilaku korupsinya.
Artikel Bahrudin Lopa tahun 1986 sesungguhnya sudah menyinggung “perselingkuhan” kekuatan politik dengan imperium bisnis dalam beberapa deskripsi kasus yang dia rujuk. Di wilayah eksekutif, kasus seperti Kakuei Tanaka, bekas Perdana Menteri Jepang yang dituduh menerima suap dari industri pesawat terbang Amerika Serikat sebesar ¥ 500 juta (Rp. 24,8 triliun). Modus yang digunakan, Tanaka selaku PM Jepang memberikan fasilitas khusus pada All Nipon Airways, sehingga lancarlah penjualan pesawat terbang keluaran Lockhead Aircraft Corporation. Sebagai balas jasa, Tanaka diberikan hadiah. Kemudian berkembang, sejumlah besar uang dalam kasus ini ternyata merupakan dana politik untuk kepentingan partainya.5]
Namun yang perlu disadari, hakim sebagai pemutus perkara korupsi tersebut tidak akan tersandera dengan adanya pemberitaan di media massa. Walau bagaimana pun media massa memberitakan tentang tidak adanya tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh seseorang, yang akan dipertimbangkan hakim tersebut itu adalah fakta-fakta yang ada di persidangan bukan yang diluar persidangan.
Pemberitaan tentang kasus korupsi yang tengah dihadapi seseorang acapkali membuat pemirsa yang melihat dan menontonnya kasihan, iba dan simpati sekiranya dominasi pemberitaan tersebut medudukan pelaku sebagai korban bukan tersangka korupsi.
Sekiranya begitu, berlakulah sebuah paradigma penegakan hukum dewasa ini bukan lagi dikendalikan oleh para penguasa negara melainkan oleh para pemilik modal media massa yang memiliki kepentingan politik praktis dan para penegak hukum yang dipopulerkan dan/atau dibayar oleh pemilik media tersebut. Maka dengan kekayaan dan kepemilikan teknologi informasi yang berbasis berita dapat menggiring penegakan hukum ke arah mana saja yang dia suka.6]
Bahkan dalam kasus fenomenal di Amerika seperti Watergate yang berujung dengan pengunduran diri Richard M. Nixon dari jabatan Presiden Amerika Serikat. Dalam pidato Mcgovern di Senat Amerika saat itu, disebutkan Gabungan Perusahaan Asuransi Chicago yang mendapatkan keuntungan melalui kebijakan Nixon ditengarai sangat terkait dengan aliran uang US$ 0,5 Juta kepada Panitia Kampanye Pencalonan Nixon untuk pemilihan Presiden tahun 1968.7]
Dari dua kasus yang terjadi di dua negara besar tersebut, dapat kita dapat hipotesa bahwa kejahatan tindak pidana korupsi dengan modus persahabatan antara politisi dengan pengusaha/pemilik modal merupakan suatu hal sudah biasa terjadi. Padahal dua negara besar ini, baik itu Jepang dan Amerika Serikat dikenal mempunyai sistem hukum dan budaya hukum kuat, akan tetapi kekuatan uang lebih berkuasa daripada integritas itu sendiri, apalagi sebuah partai tidak mungkin berjalan dan hidup tanpa ada biaya operasional, sehingga butuh suntikan dana dari para pemilik modal dan disinilah pemufakatan jahat itu terjadi.
Di Indonesia, kasus seperti bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) merupakan contoh konkret, ketika imperium bisnis mampu menjerat dan membangun jejaring dengan penegak hukum dan pengambil kebijakan di eksekutif dan legislatif. Sebut saja, kasus Urip Tri Gunawan, seorang Jaksa di Kejaksaan Agung akhirnya di vonis 20 tahun penjara oleh Pengadilan tipikor karena terbukti menerima suap. Hakim saat itu meyakini, bahwa tujuan pemberian uang US $ 600.000 tersebut terkait penghentian perkara pidana BLBI salah seorang obligor dengan utang terbesar yakni Syamsul Nursalim sebagai pihak dari Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) 8].
Gencarnya pemberitaan media terhadap suatu proses kasus korupsi yang sedang diperiksa oleh KPK akan memberikan efek tekanan serta dukungan yang kuat dari seluruh lapisan masyarakat anti korupsi terhadap pemberantasan korupsi oleh KPK. Minimnya pemberitaan media akan membuat penegak hukum seperti KPK merasa tidak didukung sehingga peranan media sebagai pewarta berita sangat dibutuhkan ditengah krisis moral integritas para penyelenggara negara dalam memberikan pelayanan publik demi terwujudnya good governance.
Penulis berpendapat, secara umum pemberitaan media saat sekarang ini sangat mendukung KPK dalam pemberantasan tindak pidana korupsi walaupun ada yang berpandangan negatif dengan KPK dalam hal penanganan tersangka korupsi yang tebang pilih. Akan tetapi dampak positif dari pemberitaan media sangat bermanfaat dan bisa menimbulkan efek jera bagi koruptor dengan diekspos tentang keluarganya, gaya hidupnya, serta rekam jejaknya sehingga bisa membuat pelaku lain surut niatnya untuk melakukan tindak pidana korupsi terutama penyelenggara negara yang punya akses pada uang negara.
B. Sejarah KPK.
Sebagaimana termuat dalam website resmi KPK www.kpk.go.id diterangkan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, KPK diberi amanat melakukan pemberantasan korupsi secara profesional, intensif dan berkesinambungan. KPK merupakan lembaga negara yang bersifat independen yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bebas dari kekuasaan manapun.
KPK merupakan salah satu lembaga yang lahir dari rahim era reformasi. KPK merupakan harapan baru dari rakyat Indonesia dalam upaya dan usaha pemberantasan korupsi demi terwujudnya good governance di Indonesia. Sebagaimana kita ketahui, pada masa orde baru korupsi menggurita dari elit bawah sampai elit atas di lembaga pemerintahan maupun lembaga lainnya sehingga jauh dari prinsip-prinsip good governance.
Sehingga pada era reformasi, usaha pemberantasan korupsi dimulai oleh B. J. Habibie dengan mengeluarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme berikut pembentukan berbagai komisi atau badan baru seperti Komisi Pengawas Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN), KPPU, dan lembaga Ombudsman. 9]
Presiden berikutnya, Abdurrahman Wahid, membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) melalui Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2000. Namun, ditengah semangat menggebu-gebu untuk memberantas korupsi dari anggota tim ini, melalui suatu judicial review Mahkamah Agung, TGPTPK akhirnya dibubarkan dengan logika membenturkannya ke Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999. Nasib serupa tapi tak sama dialami oleh KPKPN, dengan dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi, tugas KPKPN melebur masuk ke dalam KPK, sehingga KPKPN sendiri hilang dan menguap. Artinya, KPK-lah lembaga pemberantasan korupsi terbaru yang masih eksis.10]
KPK dibentuk bukan untuk mengambil alih tugas pemberantasan korupsi dari lembaga-lembaga yang ada sebelumnya. Penjelasan Undang-Undang menyebutkan KPK sebagai trigger mechanism, yang berarti mendorong atau sebagai stimulus agar upaya pemberantasan korupsi oleh lembaga-lembaga yang telah ada sebelumnya menjadi lebih efektif dan efisien.11]
Walaupun memang sekilas dapat penulis katakan, kehadiran KPK memang dibutuhkan demi terwujudnya good governance akibat ketidakoptimalan lembaga lain seperti kejaksaan dan kepolisian dalam menindak para koruptor apalagi koruptor setingkat menteri dan pejabat negara lainnya. Padahal dalam penindakan para pelakunya dibutuhkan kerja keras dan berkesinambungan serta keberanian pimpinan masing-masing lembaga tersebut.
C. Perkembangan Kinerja KPK.
Setelah 11 tahun berdirinya KPK sejak tahun 2003 serta telah bergantinya pucuk pimpinan KPK sebanyak 5 kali, telah banyak tersangka tindak pidana korupsi yang telah divonis hukuman penjara oleh Majelis Hakim Pengadilan TIPIKOR (Tindak Pidana Korupsi).
Sejak KPK berdiri sudah banyak kasus-kasus besar yang ditangani dan dijatuhi hukuman. Dalam kurun waktu 2004 sd Mei 2012, KPK telah berhasil membawa para koruptor kelas kakap ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dan semuanya diputus bersalah (100% conviction Rate). Mereka adalah 50 anggota DPR, 6 Menteri/Pejabat Setingkat Menteri, 8 Gubernur, 1 Gubernur Bank Indonesia, 5 Wakil Gubernur, 29 Walikota dan Bupati, 7 Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU), Komisi Yudisial dan Pimpinan KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha). 4 Hakim, 3 Jaksa di Kejaksaan Agung, 4 Duta Besar dan 4 Konsulat Jenderal (termasuk Mantan Kapolri), Jaksa senior, Penyidik KPK, seratus lebih pejabat pemerintah eselon I &II (Direktur Umum, Sekretaris Jenderal, Deputi, Direktur, dll), 85 CEO, pemimpin perusahaan milik negara (BUMN) dan pihak swasta yang terlibat dalam korupsi. Data ini akan terus bertambah seiring banyaknya kasus korupsi yang saat ini sedang ditangani/disidangkan di Pengadilan Tipikor baik di Jakarta maupun di daerah.12]
Biasanya korupsi yang terjadi ada ditemukan dalam berbagai bentuk sebagaimana dikatakan oleh Michael A. Loscot:13] The first inquiry regards the nature of the wrongful conduct. Several distinctions may be made between different types of corrupt conduct. First, corruption may be either unilateral or mutual. Second, corruption may be “hard” or “soft.” Third, corruption may be found either in the object of a contract or in its procurement.
Artinya penilaian awal adalah perbuatan korupsi itu merupakan sifat/prilaku yang salah. Dan ada beberapa perbedaan yang dapat dibuat antara berbagai jenis korupsi yang dilakukan, pertama, korupsi dapat dilakukan secara kolektif, unilateral, kedua, korupsi mungkin “keras” atau “lunak”, ketiga, korupsi dapat ditemukan dalam obyek kontrak atau dalam pengadaan. Sehingga dapat ditarik kesimpulan pada poin ketiga, korupsi secara kasat mata tidak dapat terlihat jelas perbuatannya, akan tetapi jika dilakukan audit terhadap kontrak serta proses pengadaan suatu barang/jasa maka akan ditemukan suatu kejanggalan yang menjurus pada perbuatan tindak pidana korupsi.
Korupsi dan kekuasaan, ibarat dua sisi dari satu mata uang. Korupsi selalu mengiringi perjalanan kekuasaan dan sebaliknya kekuasaan dan sebaliknya kekuasaan merupakan “pintu masuk” bagi tindak pidana korupsi. Inilah hakikat pernyataan Lord Acton, guru besar sejarah modern di Universitas Cambridge, Inggris, yang hidup di abad 19 dengan adagiumnya yang terkenal: power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely (kekuasaan itu cenderung disalahgunakan dan kekuasaan yang absolut sudah pasti disalahgunakan). 14]
Dengan perpaduan kekuasaan dengan korupsi, maka KPK sebagai lembaga negara anti korupsi akan menghadapi tantangan dari internal kekuasaan yang anti dengan gerakan pemberantasan korupsi. Penguatan akan lembaga KPK sangat mutlak diperlukan demi terwujudnya good governance di Indonesia.
Dari sinilah, ICW membangun sebuah tesis korupsi politik, bahwa posisi dan kekuatan politisi meurpakan alat bagi kelompok bisnis untuk mempertahankan dan mengembangkan skala keuntungan sedemikian rupa. Ditataran praktis, persilangan kepentingan antara partai politik, parlemen, dan kekuasaan eksekutif yang dibangun oleh afiliasi partai politik menjadi penyebab tidak berjalannya fungsi utama negara untuk melayani masyarakatnya. Ada yang menyebutnya dengan istilah State Capture, tepatnya ketika fungsi negara dibajak oleh kepentingan jejaring korupsi dalam skala sangat besar.15]
Sehingga KPK mengalami ujian bertubi-tubi baik dari internal sendiri maupun dari eksternal. Ujian besar yang dialami oleh KPK adalah ketika Ketua KPK masa kerja 2007-2009 diberhentikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudoyono setelah divonis penjara selama 18 tahun sebagai tersangka pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen.
Selain itu, ada juga kasus yang terkenal dengan istilah cecak dan buaya. Ini merupakan kasus antar lembaga KPK dengan lembaga kepolisian terutama dengan mantan Kabareskrim Jenderal bintang tiga Susno Duadji. Peran media dalam memberitakan kasus ini membuat masyarakat bangun dan melawan siapa saja yang anti KPK bahkan presiden pun turun tangan.
Walaupun demikian, publik telah telanjur berharap banyak kepada KPK sejak terbentuknya pada tahun 2003. Sehingga ujian-ujian yang dihadapi KPK bisa dilewati karena adanya dukungan besar dari publik ketika itu sampai sekarang ini. Sehingga apapun yang terjadi, masyarakat siap berdiri bersama-sama mendukung KPK dalam memberantas korupsi.
Berbagai bentuk dan modus korupsi pada akhir-akhir ini semakin canggih dan tersistimatis. Pelaku korupsi sekarang tidak bertindak atau bermain sendiri-sendiri, akan tetapi sudah bersifat kolektif atau dengan istilah korupsi berjama’ah. Dengan terungkapnya satu orang menjadi tersangka korupsi maka akan terbongkar siapa teman-temannya yang terlibat juga serta terungkap juga skandal korupsi lainnya seperti kasus suap mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mukhtar dan mantan gubernur Banten Atut.
Selain itu, disetiap modus operandi korupsi, jabatan publik menjadi sarana perilaku koruptif yang efektif. Hal ini tidak terlepas dari fakta bahwa jabatan publik merupakan apa yang disebut dengan “position of trust” (posisi yang memungkinkan pemegang jabatan mendapatkan otoritas secara legal untuk dan atas nama lembaga yang dipimpinnya melakukan suatu tindakan dan pihak lain menaruh kepercayaan kepada pemegang jabatan publik itu). Pemegang jabatan publik misalnya dapat memungut biaya tidak sah untuk sebuah tindakan yang mengatasnamakan aktivitas pelayanan publik atau menggunakan kewenangan jabatannya untuk tujuan-tujuan tertentu yang tidak sah. Terminologi jabatan publik disini mencakup pula pihak-pihak tertentu yang merupakan bagian dari lingkaran dalam jabatan publik tertentu tersebut. Pepatah lama Cina mnegajarkan: whoever is near an official gets honor and whoever is near a kitchen gets food, yang terjemahan bebasnya kira-kira adalah siapapun yang dekat dengan seorang pejabat akan mendapatkan kehormatan dan siapapun yang dekat dengan dapur akan mendapatkan makanan. Artinya, siapapun yang dekat dengan jabatan publik dan dekat dengan subyek perumusan kebijakan akan mendapatkan kehormatan yang besarannya mendekati kewenangan pemegang jabatan publik, termasuk potensi penyalahgunaan kekuasaan bahkan korupsi. 16]
Korupsi sebagai suatu tindak pidana khusus maka perlakuannya harus khusus, aturannya juga khusus, penegak hukumnya harus khusus sehingga bisa maksimal dalam menjalankan tugas dan wewenangnya. KPK sebagai lembaga khusus dalam menangani tindak pidana korupsi harus punya teknis khusus juga dalam menjalankan operasinya.
Bagi penegak hukum seperti KPK, modus korupsi yang selalu berkembang bisa menjadi pemicu lembaga KPK agar lebih optimal dalam mengawasi dan memeriksa perkara-perkara baik yang berasal dari laporan masyarakat maupun dari penyidikan oleh tim penyidik KPK sendiri.
Laporan masyarakat menjadi modal utama bagi KPK akhir-akhir ini dalam menyingkap modus korupsi, sehingga KPK sangat terbantu sekali dengan adanya laporan masyarakat ini. Tidak terhitung kasus-kasus dengan nominal besar dimulai dari adanya laporan masyarakat kemudian kasusnya dikembangkan oleh KPK dan pada akhirnya mengerucut pada aktor utamanya terutama pejabat-pejabat.
Kerugian negara akibat tindak pidana korupsi luar biasa besar. Sehingga KPK semakin teruji apalagi untuk menjerat pelaku korupsi menjadi tersangka, KPK harus mempunyai minimal 2 alat bukti yang sah sesuai dengan 183 KUHAP. Dengan pertimbangan 2 alat bukti tersebut disertai dengan keterangan saksi bisa membuktikan ada hubungan tindak pidana korupsi itu dengan jabatannya serta ada potensi kerugian negara.
Dan penulis sangat kagum dengan perkembangan kinerja KPK, apalagi banyak kasus korupsi yang terungkap melalui OTT (Operasi Tertangkap Tangan) seperti kasus Ahmad Fathonah dan lain-lain. Selain itu, tersangka korupsi juga bukan dari kalangan biasa akan tetapi sekaliber mantan Ketua Mahkamah Konstitusi serta akhir-akhir ini ada beberapa orang menteri dari kabinet SBY-Budiono seperti Andi Malarangeng, Suryadama Ali dan Jero Wacik.
Hasil kinerja KPK pun di pengadilan berhasil menyeret para tersangka tersebut ke penjara. 100% tersangka korupsi yang ditangkap KPK telah divonis. Hal ini merupakan indikasi kinerja KPK yang telah maksimal dalam upaya mengungkap aktor korupsi dan tidak berhenti dengan 1 orang akan tetapi membuka jaring-jaring koruptor lainnya seperti kasus korupsi yang melibatkan M. Nazarudin dalam kasus korupsi Hambalang.
Perkembangan kinerja KPK dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi dari tahun ketahun menunjukan trend positif. Dukungan kuat dan besar dari masyarakat kepada KPK merupakan sinyal positif dan harapan agar KPK tetap ada dan semaksimal mungkin melaksanakan tugas dan wewenangnya dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Dengan sinyal positif ini dharapkan kedepannya prinsip-prinsip good governance bisa terwujud dalam sistem pemerintahan kita dengan meningkatnya kinerja KPK dalam memberantas tindak pidana korupsi.
Kesimpulan
Dari pembahasan ini, penulis dapat simpulkan sebagai berikut:
Media punya pengaruh yang kuat pada era sekarang ini baik melalui media cetak maupun elektronik bahkan sosial media misalkan tweeter, facebook dan lain-lain dalam memberikan informasi dan perkembangan kasus korupsi sehingga memberikan efek yang kuat dan positif dalam penegakan hukum di Indonesia.
- Pemberitaan media akan kasus korupsi merupakan bentuk dukungan demi terwujudnya prinsip-prinsip good governance di Indonesia serta bentuk gerakan terhadap kejahatan tindak pidana korupsi sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime).
- Hakim sebagai pemutus perkara korupsi tersebut tidak akan tersandera dengan adanya pemberitaan dimedia massa karena yang akan menjadi pertimbangan hakim adalah fakta-fakta di persidangan bukan yang diluar persidangan.
- Masyarakat serta aparatur birokrasi pemerintahan akan tercerdaskan dengan adanya diskusi-diskusi dan dialog-dialog dari pengamat-pengamat hukum pidana yang tampil di televisi mengenai tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh seseorang tersangka korupsi.
- Secara umum pemberitaan media saat sekarang ini sangat mendukung KPK dalam pemberantasan tindak pidana korupsi walaupun ada yang berpandangan negatif dengan KPK dalam hal penanganan tersangka korupsi yang tebang pilih. Akan tetapi dampak positif dari pemberitaan media sangat bermanfaat dan bisa menimbulkan efek jera bagi koruptor dengan diekspos tentang keluarganya, gaya hidupnya, serta rekam jejaknya sehingga bisa membuat pelaku lain surut niatnya untuk melakukan tindak pidana korupsi
Buku:
Soekanto, S, 2010, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, RajaGrafindo Persada, Jakarta.Majalah:
Mujahidin, A, 2014, Penegakan Hukum Jangan Tersandera Pemberitaan Media, Varia Peradilan: Majalah Hukum Tahun XXIX Nomor 344 Juli 2014.Jurnal:
Apriani, Luh, Rina, 2010, Penerapan Filsafat Pemidanaan Dalam Tindak Pidana Korupsi, Jurnal Yudisial, Vol-III/No-01/APRIL/2010.Ackerman, Susan Rose, 2011, Corruption: Greed, Culture and The State, The Yale Law Journal, Volume 120.Diansyah, Febri, 2009, Senjakala Pemberantasan Korupsi; Memangkas Akar Korupsi dari Pengadilan Tipikor, Jurnal Konstitusi, Volume 6, Nomor 2, Juli 2009.Loscot, Michael, A, Streamlining The Corruption Defense: A Proposed Framework for FCPA-ICSID Interaction, Duke Law Journal, Vol 63:1201.Thohari, A, Ahsin, 2011, (Bukan) Menggantang Asap Pemberantasan Korupsi di Indonesia, Jurnal Legislasi Indonesia, Vol 8, No 2, Juni 2011.Website:
kpk.go.id/id/berita/berita-kpk-kegiatan/290-kpk-lembaga-permanenkpk.go.id/id/tentang-kpk/sekilas-kpkwikipedia.org/wiki/Komisi_Pemberantasan_KorupsiCatatan kaki:
1] Luh, Rina, Apriani, 2010, Penerapan Filsafat Pemidanaan Dalam Tindak Pidana Korupsi, Jurnal Yudisial, Vol-III/NO-01/APRIL/2010, hlm. 6-7.2] Soerjono, Soekanto, 2010, Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, RajaGrafindo Persada, Jakarta, halaman 8.3] Susan, Rose –Ackerman, 2011, Corruption: Greed, Culture and The State, The Yale Law Journal, Volume 120, 2010-2011.4] A, Ahsin Thohari, 2011, (Bukan) menggantang Asap Pemberantasan Korupsi di Indonesia, Jurnal Legislasi Indonesia, Vol 8 No. 2, Juni 2011, hlm. 341.5] Febri Diansyah, 2009, Senjakala Pemberantasan Korupsi; memangkas Akar Korupsi dari Pengadilan Tipikor, Jurnal Konstitusi, Volume 6, Nomor 2, Juli 2009, hlm. 11.6] Ahmad Mujahidin, 2014, Penegakan Hukum Jangan Tersandera Pemberitaan Media, Varia Peradilan: Majalah Hukum Tahun XXIX Nomor 344 Juli 2014, halaman 109.7] Ibid.8] Ibid. hlm. 11-12.9] wikipedia.org/wiki/Komisi_Pemberantasan_Korupsi, diakses pada tanggal 16 Desember 2014.10] Ibid.11] kpk.go.id/id/tentang-kpk/sekilas-kpk, diakses pada tanggal 16 Desember 2014.12] kpk.go.id/id/berita/berita-kpk-kegiatan/290-kpk-lembaga-permanen, diakses pada tanggal 16 Desember 2014.13] Michael, A. Loscot, Streamlining The Corruption Defense: A Proposed Framework for FCPA-ICSID Interaction, Duke Law Journal, Vol 63: 1201, hlm. 1218.14] Luh, Rina, Apriani, 2010, Penerapan Filsafat Pemidanaan Dalam Tindak Pidana Korupsi, Jurnal Yudisial, Vol-III/NO-01/APRIL/2010, hlm. 2.15] Febri Diansyah, 2009, Senjakala Pemberantasan Korupsi; memangkas Akar Korupsi dari Pengadilan Tipikor, Jurnal Konstitusi, Volume 6, Nomor 2, Juli 2009, hlm. 16.16] A, Ahsin Thohari, 2011, (Bukan) menggantang Asap Pemberantasan Korupsi di Indonesia, Jurnal Legislasi Indonesia, Vol 8 No. 2, Juni 2011, hlm. 341.