Oleh M. Safni
Mahasiswa Magistes Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Bung Hatta1. Latar Belakang.
Tuntutan terhadap pemberantasan KKN dan reformasi birokrasi adalah merupakan sesuatu yang sangat mendasar pada saat berakhirnya era orde baru dan munculnya era reformasi. Hal ini timbul karena sudah sedemikian parahnya perilaku korupsi dikalangan penyelenggara negara dan pengusaha serta buruknya pelayanan birokrasi. Tidak hanya tuntutan masyarakat melainkan juga lembaga donor yang berperan dalam perbaikan ekonomi Indonesia seperti Word Bank dan IMF memberikan syarat untuk segera memberantas korupsi maupun perlunya reformasi terhadap biroksasi.
Dalam rangka pemberantasan korupsi dan reformasi terhadap birokrasi telah dilakukan amandemen terhadap UUD 1945 sebanyak empat kali dan telah banyak Undang-Undang telah dilahirkan untuk menciptakan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). UU yang telah disyahkan tersebut diantaranya adalah UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara; UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara; UU Nomor 1 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara; UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara Yang Bebas dari KKN; UU tentang Pemerintahan Daerah yang telah beberapa kali diganti dan terakhir dengan UU Nomor 23 Tahun 2014; UU Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang dan terakhir diganti dengan UU Nomor 8 Tahun 2010; UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Disamping UU juga telah diterbitkan pertaruran pelaksanaannya seperti Peraturan Pemerintah; Peraturan Presiden; Peraturan Menteri dan lain-lain.
Good Governance sangat erat kaitannya dengan prilaku penyelenggara negara dan birokrasi. Penyelenggara negara menurut dengan UU Nomor 28 tahun 1999 Tentang Penyelenggara NegaraYang Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme adalah pejabat negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif dan yudikatif dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan fungsi penyelenggara negara sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Penyelenggara negara sebagai eksekutif didaerah adalah Gubernur, Bupati dan Walikota dan para pembantunya mulai Wakil Gubernur, Wakil Bupati, Wakil Walikota, Sekretaris Daerah, Asisten Sekretaris Daerah dan para kepala SKPD. Para penyelenggara negara tersebut menjalankan tugas dan fungsinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan dalam suatu sistem yang disebut dengan birokrasi.
Good governance merupakan elemen yang sangat penting dalam mencegah tindak pidana korupsi.1] Salah satu diantara sepuluh prinsip good governance tersebut adalah Prinsip Akuntabilitas. Prinsip akuntabilitas dalam penyelenggaraan pemerintahan telah diatur di dalam UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang dijelaskan dalam penjelasan umumnya tentang azaz-azas umum yaitu dalam rangka mendukung terwujudnya good governance dalam penyelenggaraan negara, pengelolaan negara perlu diselenggaran secara profesional, terbuka, dan bertanggung jawab sesuai dengan aturan pokok yang telah ditetapkan dalam UUD 1945 kedalam azaz umum yang meliputi baik azas-azas universal, azas kesatuan dan azas spesialitas maupun azas-azas baru yang mencerminkan best practice (penerapan kaidah-kaidah yang baik dalam pengelolaan negara antara lain akuntabilitas; professionalitas; proposionalitas; keterbukaan dalam pengelolaan; pemeriksaan keuangan oleh Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri. Penerapan azas-azas umum tersebut lebih khusus lagi disebut dalam penerapan anggaran yang berbasis kinerja. Anggaran yang berbasis kinerja maksudnya adalah sistem penyusunan dan pengelolaan anggaran daerah yang berorientasi pada pencapaian hasil kerja atau kinerja.2] Kinerja suatu lembaga Negara/daerah harus dapat diukur (accountable) dengan menggunakan parameter-parameter tertentu yang ditetapkan sebelumnya. Parameter untuk mengukur kinerja tersebut disebut dengan indikator kinerja.
Penerapan anggaran berbasis kinerja tersebut telah dimulai sejak diundangkannya UU 17 Nomor 2003 Tahun 2004 tentang Keuangan Negara baik ditingkat pusat maupun di daerah. Penerapan di daerah dimulai sejak di keluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Sejak diterapkannya anggaran berbasis kinerja tersebut telah banyak perubahan-perubahan yang terjadi dalam pengelolaan keuangan daerah. Beberapa hal prinsip dari perubahan tersebut adalah pemerintah dengan mudah dapat diawasi melalui penerapan internal cost awareness, audit keuangan, evaluasi kinerja internal dan lain-lain. 3]
Dengan semakin baiknya penerapan aturan tentang pengelolaan keuangan ini bukan berarti korupsi sudah hilang sama sekali, akan tetapi masih banyak celah yang memberikan peluang terjadi korupsi baik dalam skala kecil maupun dalam sekala besar. Hal ini dapat dilihat dari rilis hasil laporan pemeriksaan semester pertama BPK tahun 2014 terdapat ketidak patuhan terhadap peraturan perundang-undangan senilai Rp 30,87 Trilyun. Dari jumlah tersebut sebanyak 4.900 kasus senilai Rp 25.74 Trilyun merupakan temuan yang berdampak financial yang menyebabkan kerugian negara, potensi kerugian negara, dan kekurangan penerimaan negara. Selama proses pemeriksaan entitas telah menindak lanjuti temuan ketidak patuhan yang menyebabkan kerugian dan kekurangan penerimaan dengan penyerahan aset atau penyetoran ke kas negara/daerah senilai Rp. 6,37 Trilyun.4] Hasil pemeriksaan BPK yang dirilis tersebut adalah merupakan temuan sedangkan yang tidak ditemukan dalam pemeriksaan tentu lebih banyak. Sebagai salah satu contoh yang cukup relevan terhadap adanya berbagai indikasi terhadap besarnya korupsi akibat rendahnya akuntabitas sehingga besarnya peluang korupsi adalah kebijakan Presiden Jokowi untuk memerintahkan Menteri Dalam Negeri untuk menghentikan bantuan sosial dalam APBD. Kebijakan ini diulas oleh editorial Media Indonesia tanggal 23 Desember 2014 dengan judul Menghapus Dana Bansos. Dalam ulasan tersebut disebutkan.5]
“benar teori yang menyebutkan terjadinya korupsi karena besarnya kewenangan ditambah monopoli atas kewenangan akan tetapi minus akuntabilitas. Tidak menjadi mengherankan bila korupsi menjadi kian masif ketika terjadi pertemuan kepentingan antara kehendak dan menggembungkan pundi-pundi keuangan. Hampir semua intansi memiliki dana bansos yang penggunaannya jauh dari dari tata kelola keuangan yang standar sekalipun”
Kebijakan presiden yang diulas oleh Harian Media Indonesia tersebut berdasarkan masukan dari BPK maupun KPK dari hasil temuannya terhadap penggunaan dana bantuan sosial, dan para pelakunya ada yang telah ditetapkan sebagai tersangka dan terpidana. Berdasarkan latar belakang masalah diatas penulis inging menyusun suatu makalah dengan judul Prinsip Akuntabilitas Paman San Tak Kuat Mencegah Korupsi di Indonesia.
2. Rumusan Masalah.
1. Bagaimanakah akuntabilitas menurut peraturan perundang-undang di Indonesia.
2. Bagaimanakah implementasi prinsip akuntabitas di Indonesia.3. Bagaimanakah pengaruh akuntabilitas kinerja dalam rangka pencegahan korupsi di Indonesia.Pembahasan
1. Akuntabilitas menurut Peraturan Perundang-Undangan.
Banyak aturan perundang-undangan yang menjadikan akuntabilitas sebagai azas dalam pelaksanaanya. Beberapa diantaranya adalah UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara Yang Bebas dari KKN, UU Nomor Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur sipil Negara dan UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam penjelasan Pasal 2 UU Nomor 28 Tahun 1999 pengertian akuntabilitas adalah azas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir kegiatan penyelenggara negara harus dapat dipertanggung jawabkan kepada rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Dalam penjelasan Pasal 7 UU Nomor 5 Tahun 2014 akuntabilitas adalah setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan pegawai ASN harus dapat dipertanggung jawabkan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan akuntabitas menurut Perpres Nomor 14 Tahun 2014 tentang Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah akuntabitas adalah perwujudan kewajiban untuk mempertanggung jawabkan keberhasilan/kegagalan pelaksanaan program/kegiatan yang telah diamanatkan para pemangku kepentingan dalam rangka mencapai misi organisasi secara terukur dengan sasaran/target kinerja yang telah ditetapkan. Dari beberapa pengertian akuntabilitas yang dikutip dari peraturan perundang-undangan maupun pendapat dari para ahli terdapat kata kunci yaitu hasil akhir dari suatu kegiatan yang dapat dipertanggung jawabkan.
Dalam rangka mewujudkan good governance pemerintah telah menerbitkan Inpres Nomor 7 Tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (AKIP) yang memerintahkan kepada Menteri, Panglima TNI, Gubernur Bank Indonesia, Jaksa Agung, Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Para Pimpinan Lembaga Pemerintahan Non Departemen, Para Pimpinan Sekretariat Lembaga Tertinggi Negara dan Tinggi Negara, Para Gubernur, Para Bupati dan Walikota untuk melaksanakan akuntabilitas kinerja instansi pemerintah sebagai wujud pertanggung jawaban instansi pemerintah dalam mencapai misi dan tujuan organisasi. Akuntabilitas kinerja instansi pemerintah tersebut harus dilaporkan setiap tahun kepada presiden dan salinannya ditembuskan kepada Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Kepada setiap instansi pemerintah diwajibkan menyusun Rencana Strategik yang disusun dengan kriteria tertentu dan untuk penyusunan pedoman laporan akuntabilitas dan rencana strategik ditugaskan kepada Lembaga Admistrasi Negara (LAN). Untuk melakukan evaluasi terhadap laporan akuntabilitas ditugaskan kepada BPKP dan hasil evaluasi tersebut disampaikan kepada Presiden melalui Menteri Negara Bidang Pengawasan dan Pendayagunaan Aparatur Negara. Pedoman penyusunan laporan akuntabilitas instansi pemerintah yang disusun oleh LAN tersebut secara substansi berisi pengertian tentang akuntabilitas kinerja instansi pemerintah, komponen rencana strategik, komponen rencana kinerja, kerangka pengukuran kinerja, evaluasi kinerja, analisis akuntabilitas kinerja, penanggung jawab pelaporan, prinsip-prinsip LAKIP, format dan isi LAKIP, waktu penyampaian LAKIP, dan mekanisme penyampaian LAKIP.6]
Dari beberapa substansi diatas yang perlu lebih jauh dipahami adalah perencanaan kinerja dan pengukuran kinerja karena hal ini menyangkut sampai sejauh mana efisiensi dan efektifitas penggunaan dana. Perencanaan kinerja merupakan proses penyusunan rencana kinerja sebagai penjabaran dari sasaran yang telah ditetapkan dalam rencana strategik, yang akan dilaksanakan oleh instansi pemerintah melalui berbagai kegiatan tahunan. Didalam rencana kinerja ditetapkan rencana capaian kinerja tahunan untuk seluruh indikator kinerja yang ada pada tingkat sasaran dan kegiatan. Penyusunan rencana kinerja dilakukan seiring dengan agenda penyusunan dan kebijakan anggaran, serta merupakan komitmen bagi instansi untuk mencapainya.7] Komponen rencana kinerja meliputi, sasaran, program, kegiatan, dan indikator kinerja kegiatan. Indikator kinerja kegiatan adalah ukuran kuantitatif dan kualitatif yang menggambarkan tingkat pencapaian suatu kegiatan yang ditetapkan. Indikator kinerja kegiatan ini dikategorikan dalam kelompok :
a) Masukan (inputs) adalah segala sesuatu yang dibutuhkan agar pelaksanaan kegiatan dan program dapat berjalan atau dalam rangka menghasilkan output misalnya sumber daya manusia, dana, material, waktu, teknologi dan sebagainya;
b) Keluaran (Outputs), adalah segala sesuatu berupa produk/jasa (fisik dan/atau non fisik) sebagai hasil langsung dari pelaksanaan suatu kegiatan dan program berdasarkan masukan yang digunakan;
c) Hasil (outcomes), adalah segala sesuatu yang mencerminkan berfungsinya keluaran kegiatan jangka menengah. Putcome merupakan ukuran seberapa jauh setiap produk/jasa dapat memenuhi kebutuhan dan harapan masyarakat;
d) Manfaat (benefits), adalah kegunaan suatu keluaran (outputs) yang dirasakan langsung oleh masyarakat. Dapat berupa tersedianya fasilitas yang dapat diakses publik;
e) Dampak (imfact), adalah ukuran tingkat pengaruh sosial, ekonomi, lingkungan atau kepentingan umum lainnya yang dimulai oleh capaian kinerja dalam suatu kegiatan.
Pengukuran digunakan sebagai dasar untuk menilai keberhasilan dan kegagalan pelaksanaan kegiatan sesuai dengan sasaran dan tujuan yang telah ditetapkan dalam rangka mewujudkan visi dan misi. Pengukuran dimaksud merupakan hasil dari suatu penilaian yang sistematik dan didasarkan pada kelompok indikator kinerja kegiatan yang berupa indikator-indikator masukan, keluaran, hasil, manfaat dan dampak. 8]
Berdasarkan hasil pengukuran kinerja dengan membandingkan antara target kinerja dengan realisasi kinerja dilakukan evaluasi terhadap pencapaian setiap indikator kinerja kegiatan untuk memberikan penjelasan lebih lanjut terhadap hal-hal yang mendukung terhadap keberhasilan dan kegagalan pelaksanaan suatu kegiatan. Dalam evaluasi juga dilakukan analisis efisiensi dengan cara membandingkan antara output dan input baik untuk rencana maupun realisasi. Dalam analisis kinerja juga dilakukan pengukuran tingkat efektifitas yang menggambarkan tingkat kesesuaian antara tujuan dengan hasil, manfaat atau dampak dan evaluasi terhadap setiap perbedaan kinerja yang terjadi. Proses terakhir dalam mengukur akuntabilitas kinerja instansi pemerintahan adalah melaporkan akuntabilitas kinerja kepada Presien secara berjenjang. SKPD atau pengguna/kuasa pengguna anggaran menyampaikan laporan kepada kepala daerah, kepala daerah menyampaikan kepada Presiden melalui Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi dan tembusannya kepada BPKP.
Dalam pelaporan keuangan dan akuntabitas kinerja instansi pemerintah, pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2006 tentang dan Pelaporan Keuangan Kinerja Instansi Pemerintah. Pasal 20 PP tersebut menyatakan bahwa laporan akuntabilitas kinerja instansi pemerintah tersebut dikembangkan secara terintegrasi dengan sistem perencanaan, sistem penganggaran, sistem perbendaharaan, dan sistem akuntansi pemerintahan. Dalam Pasal 20 ayat (3) dinyatakan sitem akuntabilitas kinerja lebih lanjut dalam peraturan presiden. Peraturan presiden sebagaimana dimaksud baru diterbitkan dengan Preraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2014 tentang Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah atau disingkat dengan SAKIP. Dalam Perpres Nomor 14 Tahun 2014 terdapat tiga entitas yang diwajibkan melaksanakan SAKIP yaitu satuan kerja, unit organisasi, kementerian negara/lembaga negara. Penyelenggaraan SAKIP meliputi rencana strategis, perjanjian kerja, pengukuran kinerja, pengelolaan data kinerja, pelaporan dan review dan evaluasi kinerja. Beberapa unsur penyelenggaraan SAKIP ini terdapat hal yang baru yang tidak dilakukan sebelumnya dan diatur khusus dalam Pasal 3 sampai 16 mengenai perjanjian kerja dan Pasal 17 mengenai pengelolaan data kinerja. Perjanjian kinerja adalah lembar/dokumen yang berisikan penugasan dari pimpinan instansi yang lebih tinggi kepada pimpinan instansi yang lebih rendah untuk melaksanakan program/kegiatan yang disertai dengan indikator kinerja9] Perjanjian kinerja ini mencantumkan indikator kinerja dan target kinerja. Indikator kinerja memenuhi kriteria spesifik, dapat terukur, dapat dicapai, berjangka waktu tertentu, dan dapat dipantau dan dikumpulkan.10] Indikator kenerja terdiri dari indikator kinerja program/kegiatan dan indikator kinerja utama. Indiator kinerja program terkait dengan keluaran (outputs) sedangkan indikator kinerja utama terkait dengan hasil (outcomes) --bersambung ke; Implementasi prinsip akuntabilitas