Bolehkah Hakim mengadili suatu perkara yang menyangkut dirinya sendiri ? Setidaknya itulah suatu hal penting dari jawaban pemerintah atas permohonan pengujian masa jabatan hakim konstitusi dalam perkara No.131/PUU-XII/2014 yang digelar Mahkamah Konstitusi. Mengenai jawaban pemerintah itu lebih jauh situs resmi Mahkamah Konstitusi (mahkamahkonstitusi.go.id) menyebutkan:
Pemerintah memnyarankan agar permohonan pengujian aturan masa jabatan hakim dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Kedua UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) dibatalkan. Hal ini sangat erat hubungannya dengan kepentingan Hakim Konstitusi, sehingga berlaku prinsip nemo iudex in causa sua, yakni asas hukum yang menyatakan bahwa hakim tidak akan memutus sengketa yang di dalamnya ada kepentingan pribadi dan tentunya bukan kepentingan kelembagaan yang berhubungan dengan sistem negara hukum.
Demikian keterangan yang disampaikan oleh Wicipto Setiadi selaku Dirjen Peraturan Perundang-Undangan Kementerian Hukum dan HAM yang mewakili Pemerintah dalam sidang perkara dengan Nomor 131/PUU-XII/2014 yang digelar MK pada Selasa (23/12) di Ruang Sidang Pleno MK. “Akan lebih baik jika permohonan Pemohon dibahas dengan legislative review karena hal tersebut merupakan pilihan kebijakan dari pembentuk undang-undang,” tambah Wicipto.
Pemohon yang mendalilkan adanya diskriminasi terhadap Hakim Mahkamah Konstitusi dengan Hakim Agung mengenai batas masa jabatan. Hal ini dinilai dari masa jabatan Hakim Agung adalah dari sejak diangkat dan pensiun sampai dengan 70 tahun, sedangkan Hakim Konstitusi hanya lima tahun dan dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan. “Menurut Pemerintah, hal tersebut tidak tepat dan tidak benar serta mengada-ada dan menurut Pemerintah hal tersebut tidak tepat, dan tidak benar, serta mengada-ada karena Pemohon sebagai pembayar pajak hanya merasa hak konstitusionalnya dirugikan bukan secara langsung, sehingga Pemohon bukanlah dalam posisi sebagai terhalang-halangi atau pun sedang dalam dirugikan hak konstitusionalnya,” urainya di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ketua MK Hamdan Zoelva.
Wicipto menambahkan kerugian Pemohon tidak nyata karena ketika ada kesempatan untuk mengajukan diri menjadi calon Hakim Konstitusi. Selain itu, Pemohon tidak menggunakan kesempatan tersebut walaupun Pemohon mendaftarkan sebagai calon, maka Pemohon harus lulus seleksi dan terpilih dahulu untuk menjadi hakim dan jika Pemohon terpilih, maka secara potensial Pemohon dirugikan oleh ketentuan pasal yang dimohonkan. Sedangkan terkait kriteria usia dalam kontitusi, Wicipto menjelaskan adanya batasan usia tertentu untuk menduduki semua jabatan dalam penyelenggara negara merupakan kebijakan hukum dari pembentuk undang-undang yang sewaktu-waktu dapat diubah oleh pembentuk undang-undang sesuai dengan tuntutan kebutuhan perkembangan yang ada.
“Pembatasan masa jabatan seorang Hakim Konstitusi tersebut sejalan dengan rotasi kekuasaan sebab Hakim MK merupakan representasi dari tiga kekuasaan, yaitu DPR, Presiden, dan Mahkamah Agung, sehingga MK memegang tiga kekuasaan yang merepresentasikan kepentingan konstitusional lembaga itu. Oleh karena itu, ketika perioderisasi politik DPR dan Presiden ada pembatasan, maka masa jabatan Hakim MK juga dibatasi,” tandasnya.
Perkara ini dimohonkan oleh Alumnus Fakultas Hukum Universitas Muhamadiyah Jakarta, Riyanti, yang mempersoalkan pembatasan masa jabatan hakim konstitusi sebagaimana diatur pada Pasal 22 UU MK, yang berbunyi “Masa jabatan hakim konstitusi selama 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatanberikutnya”. Ia mendalilkan telah dirugikan hak konstitusionalnya oleh ketentuan tersebut karena merasa khawatir dengan potensi terhambatnya proses rekrutmen hakim konstitusi oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Pemohon bercermin pada munculnya perseteruan yang terjadi pada anggota DPR periode 2014-2019 antara kubu Koalisi Merah Putih dan Koalisi Indonesia Hebat. Pemohon berpandangan perseteruan tersebut dapat berimbas pada pemilihan hakim konstitusi apabila ada Hakim Konstitusi yang berasal dari pilihan DPR habis masa jabatannya.
Selain itu, Pemohon berargumen bahwa ketentuan tersebut menimbulkan perlakuan berbeda antara Hakim Konstitusi dengan Hakim Agung pada Mahkamah Agung, padahal kedua lembaga kekuasaan kehakiman itu diatur pada pengaturan yang sama yaitu Pasal 24 ayat (2) UUD 1945. Pemohon juga berpendapat berdasarkan Putusan MK Nomor 34/PUU-X/2012, MK dan MA merupakan lembaga yang setara, sehingga Pemohon menilai menjadi aneh jika masa jabatan hakim pada kedua lembaga tersebut berbeda atau dibedakan. (Lulu Anjarsari)
Sumber: mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.Berita&id=10472#.VKbCYdKsXfI, akses 2 Jan 2015.
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar
Code Parser
×