Oleh: Dasril Ahmad
HARI-hari kita selalu terbentur sosok-sosok dengan kepribadian yang sulit ditebak. Langkah-langkah yang diayunkan lebih banyak terantuk sebelum mencapai tujuan yang didambakan. Hidup penuh romantika, penuh suka dan duka. Ini menandakan bahwa hidup dan kehidupan tidaklah seindah dan senikmat yang dibayangkan. Janji yang kini terukir, besok bukan mustahil mungkir. Tawa dan tangis datang silih- berganti, karena tak satu pun juga yang abadi. Tak terkecuali juga dengan cinta. Terhadap cinta, penyair sering berjiwa romantis dan nostalgik. Tapi pada saatnya pula jiwanya heroik, ingin mencabik-cabik lembaran sejarah; apalagi lembaran sejarah cintanya yang tak kunjung abadi! Penyair mengembarai hati dan perasaannya sendiri, tiada lain untuk merenungi untaian nasib yang dibuhul dengan cinta yang tak pasti.
Begitu kesan saya setelah membaca sajak“Kepada Cinta” (kado buat : Cey) karya Syarifuddin Arifin (If) yang muncul di akun facebook ini, Kamis (25/4/2013) lalu. Bagi saya, sajak ini merupakan sebuah sajak liris- romantis yang mengungkapkan curahan hati dan perasaan si penyairnya dalam sentuhan cinta dengan kondisi miris, sebagaimana saya ungkapkan di atas. Catatan ini ingin saya mulai dengan melirik judul sajak, yaitu “kepada cinta” (kado buat: cey). Dari judul itu saja telah muncul aroma romantis yang akan diungkapkan penyair kepada kita. Penyair menulis sajak ini sebagai kado/hadiah buat Cey, yang identik sebagai ungkapan perasaan suka, senang, kasih, sayang, dan terpikat si penyair (aku lirik) terhadap seseorang (gadis) yang disebutnya dalam sajak ini, Cey.
Dari judul itu pula, tak sukar bagi kita menebak bahwa antara si penyair “aku” sudah lama memendam perasaan cintanya kepada Cey. Bagi penyair, perasaan cinta yang tumbuh di hati itu tak bisa diungkapkan dengan surat dan tak juga dengan berisyarat, tetapi hanya dapat dirasakan dengan sepenuh hati dan segenap perasaan. Sejak remaja sampai usianya kini telah memuncak tua, perasaan itu belum juga sempat dilabuhkan. Saking lamanya perasaan cinta itu dipendam, maka ia (cinta itu) bukan hanya telah tertoreh di hulu hati “aku”,tetapi juga telah menjadikan darahnya muncrat penuh harap untuk bisa menuju ke suatu ikatan resmi, perkawinan. Sedangkan sang kekasih (si Cey) sepertinya masih diliputi perasaan bimbang, sehingga tak mampu menghadang “kerikil” di depan matanya yang akan menghalangi perjalanan cinta mereka untuk berlabuh menuju sebuah pelabuhan yang indah. Hal itu diungkapkan If dalam bait 1 berikut: “Mungkin ini bukan surat, bukan juga berupa isyarat/pelan-pelan menoreh hulu hati, dan mata darahpun muncrat/ membasahi segala harap, lalu menenggelamkan umurku yang makin memuncak/Sementara kau dalam igau, menapak hari-hari dengan langkah pasti, tak/ mampu menghentikan mentari yang setia mencengkeramkan tangannya/ hingga aku dan kau pun terpahat.”
Perasaan cinta “aku” terhadap Cey yang tumbuh sejak usia remaja itu, ternyata masih ditanggapi dengan keraguan oleh Cey. Akibatnya, gelora cinta “aku” yang semula menyala-nyala, kini perlahan mulai redup sampai akhirnya tersisa seperti cahaya kunang-kunang. Meski demikian, cinta Cey belum juga dapat diraihnya, karena Cey selalu enggan berpaling kepada “aku”. Hal ini kita rasakan diungkapan penyair Syarifuddin Arifin dalam bait 2 sajaknya ini. “Seperti melayang jauh, ketika daun coklatku masih pucuk hinggap di tubuhmu, anakku/ Kini telah padam kandil meninggalkan kunang-kunang/ yang selalu lenyap ketika kutangkap, kau pun tersenyum seperti enggan menebaknya.” Sementara bagi si “aku” perasaan cinta itu tak kunjung bisa dikikis di lubuk hatinya. Malah sebaliknya, perasaan cinta yang suci (bersih seperti kapas) itu, senantiasa terbang membubung tinggi “mengawang di awan-awan”, dan kemudian karena cinta tak juga “berbalas”, maka yang dirasakan kemudian adalah hati yang lara diiringi hujan air mata. Hal itu diungkapkan If dalam kuplet ini: “Inilah rasa yang mengawang di awan-awan bagaikan kapas/ lalu menggulung gabak dan jatuh ke bumi menimbun hujan di tubuh kita.”
Sungguh tak ada lagi daya dan upaya untuk melukiskan derasnya perasaan cinta di hati “aku” terhadap Cey. “Aku” kini bingung dan kehabisan akal untuk mencari (dan menyebut) media yang pas untuk mencurahkan perasaan cintanya tersebut, setelah bukan dalam bentuk surat dan isyarat. Tenggelam dalam kebingungan dan kesedihan yang mendera bertubi-tubi, tak disadari, perguliran waktu pun dirasakan “aku” sudah tak lagi bersahabat dengan dirinya, kecuali hanya milik kekasihnya Cey. Dengan keprihatinan yang mendalam, akhirnya “aku” pasrah seraya mempertanyakan sendiri nasib cintanya ke depan. Hal-hal ini diungkapkan penyair dalam bait 3 ini: “Kepada cinta atas nama apakah ini? Telah gugur/penanggalan malam ini/ telah tanggal kalender di dinding itu dan lepaslah lusinan tahun-tahun/ berjejer mengikuti langkahmu. Anakku, akankah kau biarkan langkah ini/ terseot mengikuti mata batinmu?
Sajak “Kepada Cinta” (kado buat :cey) ini memperlihatkan kekuatan bahasa pengucapan sajak yang dimiliki penyair Syarifuddin Arifin. Selain mementingkan unsur bunyi, If juga telaten menampilkan metafor-metafor yang hidup dan padu mengaduk-aduk emosi kita. Untuk mengungkapkan perasaan cinta yang tumbuh dan bersemi di usia remaja, ia menampilkan ungkapan metafor begini:”… ketika daun coklatku masih pucuk hinggap di tubuhmu, anakku”. Metafor yang ditampilkan If terasa hidup dan segar, bukankah coklat merupakan makanan yang kerap dijadikan simbol untuk mengungkapkan kasih-sayang di kalangan remaja yang tengah dimabuk cinta?
Meski menggarap tema cinta, tapi If tak larut dengan bahasa pengucapan yang cengeng, dan persoalan cinta di dalam sajaknya pun tidak diselesaikan dengan amanat yang klise. Artinya, dengan tema klise tentang cinta, If ingin meninggalkan pesan dalam sajaknya berupa sesuatu yang baru. Dalam sajak ini, antara lain hal itu tampak betapa tegarnya hati cey untuk tak menerima perasaan cinta “aku”, meski usia “aku” telah memuncak sampai tua. Sayang,kita tak menemukan alasan Cey menolak perasaan cinta “aku” terhadap dirinya didalam sajak ini.
Ternyata, penyair Syarifuddin Arifin yang belakangan kondang dijuluki penyair dengan sajak-sajak protes sosial yang kuat, seperti tampak dalam sajak-sajaknya dalam kumpulan “Maling Kondang” (2012), tak dinyana juga seorang penyair liris dan romantis yang kuatdan patut diperhitungan. Beberapa sajaknya yang muncul di facebook ini juga memperlihatkan kecenderungan demikian, seperti dalam sajak “Jumat Agung” yang diposting di akun facebook ini pada 29Maret 2013 yang lalu. *** (Padang, 30 April 2013)
* Drs. Dasril Ahmad, kritikus sastra, tinggal di Padang