Tidak jarang seorang terdakwa terkena pemberatan hukuman karena dalam persidangan mungkir dan berbelit-belit dalam memberikan jawaban, lalu kemudian mengakui perbuatannya. Disisi lain mungkin pernah juga terjadi seorang hakim menanyakan kepada terdakwa, apakah terdakwa mengakui kesalahannya. Namun pertanyaan hakim itu dijawab oleh terdakwa, bahwa ianya tidak merasa bersalah. Atas jawaban terdakwa itu bisa terjadi hakim menilai sebagai hal yang memberatkan terdakwa.
Kejadian-kejadian seperti dikemukakan itu bisa ditemui dalam putusan hakim, bahkan penuntut umum menjadikan faktor terdakwa yang mangkir atau memberikan jawaban berbelit-belit atau tidak mengakui kesalahannya dalam persidangan sebagai hal yang memberatkan sehingga dituntut dengan hukuman berat.
Seorang terdakwa berbelit-belit dalam jawabannya atau mungkir atas perbuatan yang didakwakan kepadanya, sebenarnya bisa dipahami dari berbagai aspek;
Pertama, berbelitnya terdakwa dalam jawaban atau mungkirnya terdakwa bisa jadi dikarenakan apa yang didakwakan kepadanya tidak sepenuhnya benar dan ada hal-hal dalam proses pembuktian dalam persidangan yang tidak sesuai dengan fakta yang sebenarnya, tetapi terdakwa tidak bisa berbuat banyak, apalagi jika ada keterangan saksi yang tidak menerangkan hal yang sebenarnya terjadi.
Kedua, berbelitnya terdakwa dalam memberikan jawaban atau mungkirnya terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya memang sudah menjadi watak dan maksud terdakwa.
Ketiga, berbelitnya terdakwa memberikan jawaban atau mungkirnya terdakwa bisa pula disebabkan, bahwa ia tidak sepenuhnya bersalah atas perbuatan pidana yang didakwakan kepadanya, tetapi perbuatan itu terjadi ada sebab musababnya. Tetapi dalam persidangan hal itu tidak dipertimbangkan oleh hakim atau tidak diungkap Penuntut Umum dalam dakwaannya.
Dalam persidangan bisa pula terjadi hakim atau penuntut umum mengajukan pertanyaan normatif dan biasanya sering dijadikan sebagai hal-hal yang meringankan, atau memberatkan. Ketika ditanyakan apakah terdakwa mengakui kesalahannya, jika terdakwa menyatakan mengakui kesalahannya, maka hal itu dijadikan sebagai hal yang meringankan. Sebaliknya, jika terdakwa tidak mengakui kesalahannya dipandang sebagai hal-hal yang memberatkan. Semestinya, kepada seorang terdakwa tidaklah perlu ditanyakan apakah ia mengakui atau tidak mengakui kesalahannya, sebab salah atau tidaknya terdakwa hakimlah yang menilai dan secara phisikologis terlalu sulit bagi terdakwa untuk menyatakan sendiri bahwa ia telah bersalah. Hakim selama proses persidangan dan dari fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan bisa menilai sendiri, apakah terdakwa bersalah atau tidak dan karenanya tidak perlu menanyakan kepada terdakwa apakah ia mengakui bersalah atau tidak. Karena itu, pengakuan bersalah atau mungkir atau memberikan jawaban berbelit-belit seorang terdakwa seharusnya tidak dijadikan sebagai hal yang memberatkan atau meringankan terdakwa, apalagi dijadikan untuk pemberatan hukuman bagi terdakwa.
Terkait dengan hal di atas, ada yurisprudensi terkait dengan soal terdakwa mungkir atau memberikan jawaban berbelit-belit dan kemudian mengakui perbuatannya yakni putusan Mahkamah Agung No.451 K/KR/1981 tanggal 31 Mei 1982 dengan kaidah hukum:
Memahami jurisprudensi Mahkamah Agung itu, maka jika soal terdakwa mungkir, berbelit-belit dalam jawabannya akan dijadikan untuk pemberatan hukuman, maka wajib bagi penuntut umum atau hakim menggali apakah mungkirnya Terdakwa atau berbelit-belit dalam jawabannya benar-benar sebagai sikap bawaan Terdakwa menghindar dari tanggung jawab hukum, ataukah memang ada hal-hal yang dirasakan Terdakwa atas dakwaan dan apa yang terjadi proses persidangan dirasakannya tidak sesuai dengan apa dirasakan dan dilakukan terdakwa. Hal ini tentu tidak terlepas dari pemberian hak kepada terdakwa untuk menerangkan atau menyikapi fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan baik berupa keterangan saksi, maupun terhadap alat bukti. Apalagi dalam hal ini keterangan seorang terdakwa tidak jarang terabaikan karena terdakwa memberikan keterangan tidak dibawah sumpah. Karena itu apabila terdakwa mungkir, memberikan keterangan berbelit-belit dan kemudian mengakui perbuatannya haruslah dicermati, apakah merupakan sikap pelaku atau memang ada hal-hal yang dirasakan terdakwa tidak adil baginya atau keterangan saksi tidak seperti yang dialami dan dilakukan Terdakwa. Intinya, jika sikap seorang terdakwa mungkin atau berbelit-belit, maka selayaknya hakim menggali lebih dalam sikap terdakwa yang demikian. (catatan hukum Boy Yendra Tamin)Tidaklah cukup/sempurna pertimbangan hukum untuk pemberatan hukuman salah seorang terdakwa dengan hanya menyebutkan bahwa terdakwa yang bersangkutan mula-mula mungkir dan berbelit-belit dalam jawabannya tetapi kemudian terus terang mengakui perbuatannya. Jika demikian, putusan pengadilan Tinggi/Pengadilan Negeri harus dibatalkan.