Salah menerapkan hukum seharusnya tidak terjadi dalam pemeriksaan suatu perkara, namun sering kita dengar. Meskipun atas adanya salah menerapkan hukum dalam suatu putusan hakim dapat diajukan keberatan melalui upaya hukum yang tersedia untuk itu seperti banding dan kasasi, tetapi dari aspek penegakan hukum, salah menerapkan hukum dalam suatu putusan tidak terpisahkan dari profesionalitas penegak hukum. Dalam konteks ini, hakikinya dalam suatu proses peradilan tidak semestinya tejadi salah menerapkan hukum, karena hukum menjadi pijakan utama dalam memeriksa, mengadili suatu perkara.
Jika sering terjadi suatu putusan pengadilan tingkat bawah dibatalkan atau diperbaiki oleh pengadilan tingkat atasnya dengan pertimbangan karena salah menerapkan hukum, maka persoalannya tidak hanya sebatas tersedianya upaya hukum untuk mengajukan keberatan, melainkan menyangkut kecermatan hakim dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara. Ujung dari kecermatan hakim adalah berkaitan dengan penguasaan hukum hakim dalam membuat pertimbangan hukum atas seluruh bukti dan fakta yang diajukan atau terungkap dalam persidangan.
Terkait dengan soal salah menerapkan hukum, M Yahya Harahap (2007;539) menyatakan, "bahwa satu tujuan kasasi, memperbaiki dan meluruskan kesalahan penerapan hukum agar hukum benar-benar diterapkan sebagaimana mestinya dan apakah cara mengadili benar-benar dilakukan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan." Memahami pandangan M Yahya Harahap tersebut, maka sesungguhnya salah menerapkan hukum dalam mengadili suatu perkara merupakan hal yang tidak dikehendaki atau tidak boleh terjadi. Namun hakim sebagai manusia biasa, maka salah menerapkan hukum selalu saja ada kemungkinannya terjadi. Karena itu, hukum acara tetap memberikan ruang bagi seorang pencari keadilan untuk mengajukan keberatan atas suatu putusan pengadilan apabila ternyata dalam putusan itu ditemukan adanya salah menerapkan hukum. Ruang yang disediakan hukum acara itu, tentu tidak berarti adanya salah menerapkan hukum dalam suatu pertimbangan hukum putusan hakim sebagai hal yang biasa saja dan ada upaya hukum tersedia untuk itu. Esensi pemberian ruang bagi seorang pencari keadilan terkait adanya salah menerapkan hukum adalah sebagai sarana koreksi atas putusan pengadilan tingkat bawah yang secara subtansial dalam penegakan hukum tidak diperbolehkan. Dan adanya salah menerapkan hukum dalam putusan hakim akan terus terjadi apabila masalahnya diarahkan pada pemikiran atau paham, “silahkan ajukan keberatan melalui upaya hukum yang tersedia”.
Mencermati kaidah hukum dari yurisprudensi di atas, konsekuensinya terjadi pembatalan putusan pengadilan tingkat bawah dan seorang terdakwa harus dibebaskan dari dakwaan Penuntut Umum. Disisi lain, apabila sejak dari awal -- dalam pemeriksaan suatu perkara pada pengadilan tingkat pertama atau pun banding-- alat bukti benar-benar dipertimbangkan dengan sempurna, maka tentu seorang terdakwa sudah mendapatkan kebebasannya sejak awal, dimana perbuatan yang dituduhkan kepada terdakwa ternyata bukan merupakan tindak pidana berdasarkan alat bukti yang diajukan dalam persidangan.Judex facti telah salah menerapkan hukum; judex facti dengan melawan hak tidak mempertimbangkan secara cermat alat bukti berupa surat-surat yang diajukan di muka pengadilan. Yang berwenang memeriksa dan memutus perkara ini adalah Pengadilan Perdata.
Dengan demikian, dalam memeriksaan dan mengadili suatu perkara seharusnya tidak boleh terjadi adanya salah menerapkan hukum. Ini tidak sajak karena hukum menjadi dasar pijakan utama dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara, namun akibat dari salah menerapkan hukum itu menimbulkan kerugian bagi seorang pencari keadilan, baik moril maupun materiel dalam berbagai aspeknya. Di sisi lain adalah berkenaan dengan kepastian hukum. (Catatan Hukum Dr. Boy Yendra Tamin, SH.MH).