Oleh: Tuanku Mudo H. Emral Djamal Dt. Rajo Mudo
Sandi Adat adalah pancang lantak pasupadan, pancang batas dalam wilayah adat alam Minangkabau, sifatnya keras diumpamakan seperti “batu”, karena itu biasa disebut dengan “batu sandi”. Apabila “batu sandi” digunakan sebagai pancang tanda batas, maka disebut “batu (sem) padan”. Batu Sandi, atau Batu Padan sebagai Sandi Adat, merupakan tanda-tanda batas wilayah hukum adat yang telah ditentukan dan memiliki kekuatan “tergagah” (tagak tagun, tanggap dan tangguh) sesuai dengan ketentuan Adat Yang Di-adatkan, yakni Adat yang diturun wariskan dari generasi ke generasi oleh dua orang tokoh Niniek Pendiri, Pencetus dan Penegak U-HAAM sejak sekitar akhir abad ke 13 yakni Sutan Paduko Basa (Sultan Malik Besar, Sultan Al-Malik Al-Akbar) yang kemudian bergelar Datuk Ketumanggungan dan Sutan Balun (Sultan Indera Alam) Gelar Datuk Perpatih Nan Sabatang.
Dari catatan tambo-tambo lama, tanpa menyebutkan nama pengarangnya ditemui keterangan tentang adanya 22 butir Batu Sandi sebagai “batu padan” pancang batas bagi Undang dan Hukum Adat Alam Minangkabau yang tak boleh diganggu gugat, tak boleh dicabut, tak boleh dirubah. Karena “kalau dibubut layu dianjak mati”.
Walau pun ada beberapa nilai Undang-Hukum Adat Alam Minangkabau (U-HAAM) telah mengalami kekeroposan, bak umpamo “rumah gadang katirisan” akibat “Cupak (baca U-HAAM) dialieh urang panggaleh, Sukek dianjak urang lalu.”
Namun demikian, bagaimanapun Adat Alam Minangkabau itu tetap hidup, dan menjadi kenyataan sampai hari ini. sejak kelahiran “benih U-HAAM nan setampang” sampai tumbuh subur rimbun daun, ternyata pula “batang pohon kayu” U-HAAM yang berumur lebih kurang 7 abad itu, yang mengatur komunitas manusia berkaum-kaum, bersuku-suku berinduk ke suku Ibu (matrilineal) dengan berbagai pra nata sosial Limbago Kaum Saparuik nan batungganai, Limbago Suku nan ba-pangulu, Limbago Kampuang ba-Nan Tuo, dan Limbago Kerapatan Nagari ba-Pucuek Bulek, atau Pucuak Adat kaganti Rajo, masih hidup dan bertahan eksis, tegak, tanggap dan tangguh di setiap nagari se-Alam Minangkabau di Sumatera Barat.
Akankah dibiarkan begitu saja ?
Tetapi sebaliknya apabila Pohon atau “Batang Kayu” U-HAAM itu betul-betul telah “dibubut” maka kehidupan nagari akan layu, dan bila U-HAAM “dianjak” dan tidak diberlakukan lagi, maka nagari nagari akan “mati” (dibubut layu dianjak mati). Untuk dapat masuk ke wilayah pengetahuan (hak wilayah ilmu) Adat Alam Minangkabau (AAM) yang telah dipancang dengan batu padan nan 22 tersebut maka ditetapkan pula Sandi Adat dalam Luhak Nan Tigo dan Laras Nan Duo di Alam Minang kabau, yaitu :
• Cupak Nan Duo, dan• Kato Nan Ampek.Sasaran Buah Tarok, Bayang
Tuanku Mudo H. Emral Djamal Dt. Rajo Mudo