Catatan Hukum: Ahmad Kholil, SH. S.Ag
Indonesia adalah negara hukum, di dalam negara hukum setiap orang mempunyai hak yang sama di muka hukum. Hukum harus ditegakkan diatas segalanya. Jika hukum ditegakkan dengan benar maka keadilan akan bisa dirasakan oleh setiap orang. Hukum tidak membedakan antara si kaya dan si miskin, demikian juga dengan akses untuk mendapatkan hukum dan keadilan itu sendiri, tidak pernah membedakan strata sosial. Dalam prakteknya orang yang miskin ternyata lebih sulit jika dibandingkan orang kaya dan para pejabat untuk bisa mengakses keadilan dalam hukum (access to justice).
Masalah kesempatan mendapatkan keadilan (access to justice), meskipun sudah dibatasi pada pengertian bantuan hukum (legal assistance) bagi si miskin, sebenarnya adalah masalah yang tidak mudah untuk diuraikan. Hal ini disebabkan karena masalah kesempatan mendapatkan keadilan bukan hanya masalah hukum melainkan juga merupakan masalah politik, bahkan lebih jauh lagi adalah masalah budaya. Situasi politik yang berubah-ubah tidak membantu keadaannya lebih mudah. Setiap periode sejarah, dengan sistem politiknya tersendiri, telah banyak memberikan pengaruh atas masalah ini. Pesoalannya bertambah sulit apabila kita melihatnya dari sudut ekonomi, disebabkan oleh kemiskinan yang meluas. [1]
Didalam konstitusi kita menjamin tidak adanya diskriminasi atas dasar dan bentuk apapun, termasuk didalamnya diskriminasi untuk bisa mengakses satu buah keadilan. Hal tersebut bisa dibaca dalam pasal 28I ayat (2) : “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindunghadap perlakuan yang bersifat diskriminatif”. Di dalam teori kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan dan lain-lain tidak bisa menghalangi seseorang untuk bisa mengakses suatu keadilan (access to justice).
Akses kepada keadilan (access to justice) tidak hanya sekedar wacana akan tetapi telah menjadi program nasional. Negara kita memberikan perhatian yang serius terhadap pemenuhan akses terhadap keadilan terutama bagi masyarakat yang miskin, termarjinalkan dan kaum perempuan. Hal ini bisa dilihat dari keluarnya Inpres Nomor 3 Tahun 2010 tanggal 21 April 2010 tentang Program Pembangunan Berkeadilan yang memberikan penekanan pada pentingnya “keadilan bagi semua”.
Dalam Instruksi Presiden Nomor 03 Tahun 2010 tersebut, Presiden memerintahkan Menteri Koordinator Politik Hukum dan HAM untuk berkoordinasi dengan Mahkamah Agung dalam menjalankan program justice for all, terutama dalam pelaksanaan sidang keliling dan fasilitas perkara prodeo. [2]
Pada bulan Oktober 2010, Ketua Mahkamah Agung meluncurkan cetak biru (blue print) Pembaruan Mahkamah Agung RI 2010 – 2035 dan salah satu komponen utama pada peta jalan reformasi pengadilan Indonesia untuk sepuluh Tahun mendatang ini adalah akses terhadap keadilan. Dalam Tahun yang sama Mahkamah Agung juga mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 10 Tahun 2010 tentang Pedoman Pemberian Bantuan Hukum, yang isinya mengatur tentang fasilitas perkara prodeo, pelayanan sidang keliling dan pos bantuan hukum.
Usaha mewujudkan access to justice dalam implementasinya meliputi tiga hal. Pertama : hak untuk memperoleh manfaat dan menggunakan institusi peradilan. Kedua : adanya jaminan ketersediaan sarana pemenuhan hak bagi masyarakat miskin untuk mencapai keadilan dan ketiga: adanya metode dan prosedur yang efektif untuk memperluas akses masyarakat terhadap keadilan.[3]
Seiring dengan lahirnya Undang-undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum, menjadi semakin jelas bahwa sesungguhnya akses untuk memperoleh keadilan (access to justice) secara struktural semakin nyata adanya, karena dalam Undang-undang ini, bagi mereka yang tidak mampu secara ekonomipun diperhatikan, dengan adanya ketersediaan anggaran yang di kelola oleh Kemenkumham. Dalam hal ini Mahkamah Agung juga merespon dengan terbitnya Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 2014, tentang Pedoman Pemberian Layanan Hukum Bagi Masyarakat tidak mampu di Pengadilan, dengan belakunya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2014, maka Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 10 Tahun 2010 tentang Bantuan Hukum tidak berlaku lagi.
Access to justice (akses memperoleh keadilan) menjadi hak setiap warga negara bukan merupakan sesuatu yang mustahil untuk dijalankan. Payung hukum yang ada sudah jelas, jika ditemua kendala dilapangan maka sesungguhnya yang menjadi pertanyaan adalah sudahkan para penegak hukum menjalankan aturan dengan baik dan benar. Dengan adanya payung hukum yang jelas, diharapkan kedepan tidak ada lagi warga negara yang miskin, bodoh tidak terdidik masih termarjinalkan untuk bisa mengakses keadilan, karena semakaungguhnya akses memperoleh keadilan adalah hak setiap warga negara.
Membangun dan meningkatkan pengertian dan kesadaran rakyat indonesia, bahwa setiap orang mempunyai hak yang dijamin hukum. Rakyat, terutama si miskin, yang merupakan bagian terbesar dari masyarakat harus dididik dan diberi kesadaran bahwa, walaupun mereka miskin dan lemah mereka juga manusia dengan harga diri dan merupakan warganegara terhormat dari negara demokratis. Dimana hak-haknya diatur menurut hukum dan oleh karenanya mereka mempunyai hak-hak yang sama dengan yang kuat dan kaya. Mereka juga harus diberitahu bahwa jika hak-hak ini dilanggar atau dibelakangkan, mereka mempunyai hak untuk membela diri dan atau berjuang untuk hak-hak tersebut melalui saluran-saluran hukum.[4]
Akses memperoleh keadilan merupakan hak setiap warga negara tanpa membedakan strata sosial. Dalam hal bantuan hukum bagi masyarakat tidak mampu, baik melalui anggaran yang dikelola Departemen Hukum dan Hak Asasi manusi, sebagaimana yang dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum, maupun anggaran yang dikelola oleh Mahkamah Agung melalui lembaga Peradilan yang ada dibawahnya, baik peradilan umum, peradilan agama maupun peradilan tata usaha negara. Hal tersebut bisa dilihat dalam Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 2014. Bantuan hukum tersebut bukanlah usaha belas kasihan Negara terhadap kaum miskin ataupun bantuan kemanusiaan, akan tetapi merupakan hak dari setiap warga negara untuk memperoleh keadilan, dengan tidak memandang jabatan dan kekayaan.
Catatan kaki:
[1] Adnan Buyung Nasution, Bantuan Hukum di Indonesia, 1982, LP3ES, Jakarta, halaman 49 .[2]AhmadKamil, Ahmad Kamil, 2012, Membangun Peradilan Agama yang Bermartabat, Dirjen Badilag MARI, Jakarta, halaman 26.[3] Ibid., halaman 26.[4] Adnan Buyung Nasution,Bantuan Hukum di Indonesia, 1982, LP3ES, Jakarta, halaman 54.