Pantaskah hukum Allah dibandingkan dengan hukum negara (hukum buatan manusia) ? Hukum yang dibuat negara (manusia) dalam berbagai fungsi dan eksistensinya tidaklah bisa menjawab persoalan-persoalan kehidupan manusia secara menyeluruh dalam berbagai dimensinya, Bahkan ketika suatu hukum yang dibentuk negara adakalanya merugikan sebagian masyarakat, sekalipun hukum yang dibuat negara itu ditujukan untuk semua masyarakat. Adanya banyak fakta yang dapat dikemukakan, bagaimana hukum yang dibuat negara tidak mampu mengatur tatanan kehidupan dalam masyarakat kearah sebagaimana yang diharapkan. Bahkan terlihat kecenderungan hukum negara tidak mampu membendung perbuatan-perbuatan yang dinyatakan sebagai dilarang, apa yang sudah dinyatakan dilarang terus terjadi dan berulang, meskipun dengan sanksi yang sangat berat dan keras.
Fenomena kegagalan hukum buatan manusia (negara) dalam mengarahkan dan menata kehidupan masyarakat sebenarnya terjadi di berbagai belahan negara-negara dunia dengan segala aspeknya. Kegagalan hukum negara itu tentu tidak semata-mata dalam arti penegakannya atau adanya penyalahgunaan hukum yang tidak sesuai dengan maksud dan tujuan hukum negara itu dibentuk, namun lebih dari itu. Hukum negara selain penuh ketidak sempurnaan juga tidak mampu berlaku lama, serta tidak mampu mengatur sosla-soal yang hakiki dari diri manusia. Hukum negara nyaris dalam waktu tertentu harus dilakukan perubahan, pembaharuan atau diganti seluruhnya karena tidak sesuai lagi dengan perkembangan yang terjadi dalam masyarakat. Tidak tertutup pula kemungkinan, apa yang sekarang diatur dalam hukum negara tidak lebih baik dari apa yang diatur dalam hukum negara sebelumnya, sehingga tidak jarang muncul kesimpulan dari para pembentuk hukum negara kembali ke ketentuan hukum yang lama.
Kilasan terhadap hukum negara itu tentu tidak terlepas dari eksistensi hukum negara sebagai hukum buatan manusia, yang sebenarnya penuh dengan berbagai kekurangan dan kelemahan. Sekalipun hukum negara itu dibuat dan didasarkan pada berbagai sistem, teori dan pandangan filosofis, namun ujungnya tetap melahirkan hukum yang tidak sempurna. Ketidak sempurnaan hukum negara itu terkadang bukan pada hukum yang dibentuk, tetapi pada sistem, teori dan filosofi hukum negara itu sendiri. Singkatnya ketidak sempurnaan hukum negara tidak terlepas dari paham dan pandangan dari pembentuk hukum negara mengenai persoalan kemasyarakatan yang akan diaturnya dengan hukum.Karena itu hukum buatan manusia selain mudah lapuk dimakan waktu, juga sangat sulit untuk mencapai titik sempurna. Apalagi ketika hukum yang dibentuk negara didominasi oleh kepentingan politik dan kekuasaan, maka hukum negara akan lebih singkat masa berlakunya atau pada suatu ketika arus politik dan kekuasaan dalam negara berubah, beralih, hukum yang sudah dibentuk sebelumnya berpotensi untuk dirubah, diperbaharui kembali atau diganti dengan yang baru sama sekali. Hal ini tidak berarti hukum negara tidak penting, karena dalam sebuah organisasi yang bernama harus ada hukum yang menjadi acuan bagi setiap pemerintah maupun yang diperintah. Dalam perspektif ini, maka pembentukan hukum negara tentu harus tetap diupayakan pada pencapaian nilai-nilai hidup bersama yang dianut dan merujuk cita-cita bersama yang sudah disepakati dalam hidup bernegara.Selain hukum negara, dalam kehidupan masyarakat suatu negara ada hukum agama yang menjadi pegangan mereka, sebagaimana halnya juga dengan pemeluk agama Islam. Dalam hubungan ini, kedudukan dan keberadaan hukum agama tidak sama dengan hukum negara. Karena itu, pertanyaan diawal dari catatan ini, pantaskah hukum agama dibandingkan dengan hukum negara ? Jawabanya jelas, tidak ada alasan untuk membandingkan sistem hukum agama yang datang dari Tuhan (Allah Swt) dengan sistem hukum (hukum) buatan manusia. Jika kemudian ada yang membandingkannya, tentulah semata-mata guna melihat kekurangan dari hukum negara sebagai hasil kesepakatan manusia. Hal ini terlebih lagi dikarenakan antara hukum Allah dengan hukum negara memiliki perbedaan yang mendasar * (catatan hukum Boy Yendra Tamin)