Oleh: Emral Djamal Dt Rajo Mudo
Balaputradewa, mengukuhkan dirinya sebagai Raja Mahkota Suwarnadwipa Sriwijaya, anak Samaragrawira yang menikah dengan Dewi Tara, putri Raja Darmasetu Raja Benggala, dari keluarga Soma. Balaputradewa, dapat menyatukan kembali Sriwijaya di Suwarnabhumi, Pulau Emas, Sumatera yang raja-rajanya terpecah-pecah di berbagai negeri pedalaman. Ia tampil sebagai pemegang tampuk kekuasaan (Rajo Alam-Bermahkota) di Sumatera. Oleh karena itu Balaputradewa dijuluki rakyatnya sebagai Raja Sekutu, (Rajo Sako) Rajo Sakutu Suwarnadwipa. Yakni sebagai Raja yang mempersatukan dua kerajaan besar (dwipa), Melayu dan Sriwijaya.
Balaputradewa Raja Suwarnadwipa (850 M)
Menurut prasasti Argapura atau prasasti Wanua Tengah tahun 863 M, telah terjadi perang tahta antara Balaputradewa putra Samaragrawira dengan kakaknya Pramodawardhani putri Samaratungga karena tahta yang diserahkan kepada suaminya Sri Maharaja Jati Ningrat (tercatat pada prasasti Wantil), atau kepada Rakai Pikatan Pu Manuku menurut prasasti Argapura. Peperangan itu menelan korban banyak, dan berakhir dengan menghilangnya Balaputradewa.
Balaputradewa berangkat ke Sumatera, dan di Sriwijaya disambut oleh masyarakat dan dielu-elukan sebagai Putra Mahkota, pengganti Raja Samaratungga. Balaputradewa yang diterima sebagai putra mahkota menyusun strategi baru dalam membina kerajaan Sriwijaya, dan sebagai penerus generasi Wangsa Sailendra di Sriwijaya, Sumatera.
Sementara di Mataram, tahta kerajaan diteruskan oleh putra Sri Maharaja Jati Ningrat yakni Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala dengan ibu kotanya di Mamrati, dekat Temanggung yang dibangun oleh Sri Maharaja Jatininggrat sendiri.
Pada tahun kedatangan Balaputradewa di Sumatera-Sriwijaya (850 M) langsung menuju bekas ibu kota kerajaan Melayu Jambi di pedalaman Sumatera. Menyebut pedalaman Sumatera, berarti perlu menelusuri negeri-negeri memudiki aliran sungai Batang Hari sampai ke hulunya, untuk menentukan lokasi yang tepat .
Prasasti Nalanda yang dipahat sekitar 860 M, menyatakan bahwa Balaputradewa, raja Suwarnadwipa (Sumatera), adalah cucu raja Yawabhumi. Raja Yawabhumi ini mempunyai anak bernama Samaragrawira, ayah Balaputradewa. Ibunya, istri Samaragrawira bernama Dewi Tara, putri Raja Darmasetu.
Menurut Prof. W.P. Stutterheim, raja Darmasetu itu tiada lain adalah Raja Benggala Dharmapala. Jadi Dewi Tara adalah putri Benggala istri Samaragrawira (Samara tungga). Dengan demikian Sri Sanggrama Dhananjaya Raja Sailendra, ayah Samaratungga, dan raja Benggala Dharmapala ayah Dewi Tara, merupakan kakek Balaputradewa.
Itulah sebabnya pembuatan arca Bodhisatwa Manjustri oleh Sri Sanggrama Dhanan jaya dihadiri oleh pendeta dari Benggala. Dan itu pulalah sebabnya, kenapa Balaputradewa atau Walaputradewa sebagai anak bungsu yang kembali ke peda laman Sumatera dielu-elukan dan diterima masyarakat sebagai putra mahkota, seorang raja yang mewarisi mahkota yang Sah, dari Dinasti Sailendra.
Orang-orang pedalaman di Minangkabau menyebutnya sebagai Rajo Mangkuto (Raja Bermahkota) Wangsa Warman Dewa, maksudnya adalah Raja Mahkota ahli waris yang Sah keturunan Dapunta Hyang Sri Maharaja Sanggrama Dhananjaya Sri Maharaja Indra Warman Dewa, Raja Sriwijaya (ad 5, 775-782 M). Masyarakat pedalaman menerimanya sebagai cucu Raja yang kembali pulang ke kampung halamannya di pedalaman Sumatera.
Sejarah mencatat, bahwa Balaputradewa mendirikan ibukota baru, memindahkan kerajaan ke Jambi bagian hulu Batang Hari. Dimanakah tepatnya “bagian hulu Batang Hari” itu? Kemudian mengirim utusan ke Cina, pada tahun 853 M. Biasanya, utusan ke Cina dilakukan dari Jawa pengirimannya atas nama Sriwijaya bersama Mataram, seperti pengiriman utusan pertama pada tahun 745 M, dan kedua pada tahun 781 M.Salimbado Grup, 1995
Emral Djamal bersama : Rusdal Inayatsyah