Catatan Akhmad Kholil Irfan,S.Ag, SH
Prinsip negara hukum selalu berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat dan negara. Penggunaan konsep negara hukum sebagai terjemahan dari dua konsep yang berbeda, yaitu rechtsstaat dan rule of law, secara akademis agaknya tidak terlalu dipersoalkan.
Konsep rechtsstaat dan rule of law sesunggungnya lahir dari dua kondisi dan sejarah yang berbeda. Ide tentang rechtsstaat, mulai populer pada abad XVII sebagai akibat dari situasi sosial politik Eropa yang didominasi oleh kekuasaan raja. Paham ini dikembangkan oleh ahli-ahli hukum eropa barat seperti Immanuel Kant dan Friedrich Julius Stahl, sedangkan paham rule of law dikembangkan oleh Albert Venn Dicey, dengan karyanya Introduction to Study of The Law of The Constitution. Paham the rule of law bertumpu pada sistem hukum Anglo Saxon atau Common Law System, sedangkan rechtsstaat bertumpu pada sistem Civil Law atau Eropa Continental.
Menurut Friedrich Julius Stahl, konsep negara hukum yang disebut dengan rechtsstaat, mencakup empat elemen penting, yaitu :
Perlindungan hak asasi manusia
- Pembagian kekuasaan
- Pemerintahan berdasarkan Undang-Undang
- Peradilan tata usaha negara
Sedangkan Mochtar Kusumaatmadja mengartikan negara hukum sebagai negara yang berdasarkan hukum, dimana kekuasaan tunduk pada hukum dan semua orang sama dihadapan hukum. A. Hamid s. Attamimi mengartikan negara hukum sebagai negara yang menempatkan hukum sebagai dasar kekuasaan negara dan penyelenggara negara tersebut dalam segala bentuknya dilakukan dibawah kekuasaan hukum. Saudargo gautama mengartikan negara hukum dengan; Suatu negara dimana perseorangan mempunyai hak terhadap negara, HAM diakui oleh Undang-undang, dimana untuk merealisasikan perlindungan hak-hak ini kekuasaan negara dipisah-pisahkan hingga badan penyelenggara negara, badan pembuat Undang-undang dan badan peradilan berada pada pelbagai tangan, peradilan yang bebas kedudukannya untuk dapat memberikan perlindungan semestinya kepada setiap orang yang hak-haknya dirugikan walaupun hal ini terjadi oleh alat negara sendiri.
Berdasarkan berbagai prinsip negara hukum yang telah dikemukakan tersebut dan melihat kecenderungan perkembangan negara hukum modern yang melahirkan prinsip-prinsip penting untuk mewujudkan negara hukum, maka terdapat sembilan prinsip pokok sebagai pilar utama penyangga negara hukum yaitu :
Supremasi Hukum (Supremacy of Law).
- Persamaan dalam Hukum (Equality Before The Law).
- Asas Legalitas.
- Pembatasan Kekuasaan.
- Peradilan Bebas dan Tidak memihak.
- Peradilan Tata Usaha Negara.
- Perlindungan Hak Asasi Manusia.
- Sebagai sarana Mewujudkan Tujuan Negara.
- Transparansi.
Sesungguhnya asas persamaan dihadapan hukum bergerak dalam payung hukum yang berlaku umum (general) dan tunggal. Ketunggalan hukum itu menjadi satu wajah utuh diantara dimensi sosial lain. Dalam hal in persamaan dihadapan hukum, seolah-olah memberi gambaran didalamnya bahwa secara sosial dan ekonomi orang boleh tidak mendapatkan persamaan. Perbedaan perlakuan “persamaan” antara wilayah hukum, wilayah sosial dan wilayah ekonomi, itulah sesungguhnya yang menjadi asas persamaan dihadapan hukum secara nyata, tanpa harus membedakan strata.
Asas persamaan dihadapan hukum merupakan asas dimana terdapat kesetaraan dalam hukum pada setiap individu tanpa adanya pengecualian. Asas kesamaan didalam hukum itu bisa dijadikan sebagai standar untuk mengafirmasi kelompok-kelompok marginal juga kelompok minoritas. Namun karena ketimpangan sumberdaya, baik kekuasaan, modal maupun informasi, asas tersebut sering didominasi oleh kelompok penguasa, pemodal sebagai pelindung atau tameng atas aset dan kekuasannya.Persamaan dihadapan hukum harus diartikan secara dinamis dan tidak diartikan secara statis. Artinya, kalau ada persamaan dihadapan hukum bagi semua orang, maka harus diimbangi juga dengan persamaan perlakuan (equal treatment) bagi semua orang. Jika ada dua orang bersengketa datang ke pengadilan dan telah berhadapan dengaan majelis hakim, maka mereka harus diperlakukan sama oleh majelis hakim tersebut (audi et alteram partem).
Mengartikan persamaan di hadapan hukum secara dinamis dipercaya akan memberikan jaminan adanya akses untuk memperoleh keadilan (access to justice) bagi semua orang tanpa memperdulikan latarbelakangnya. Para filsuf Yunani memandang keadilan sebagai suatu kebajikam individual (individual virtue). Oleh karena itu dalam Institute of Justinian, mendefinisikan keadilan dengan suatu tujuan yang kontinyu dan konsisten untuk diberikan kepada setiap orang haknya, justice is the constant and continual purpose which gives to everyone his own.
Ajaran Islam juga memerintahkan kita untuk berbuat adil dalam menyelesaikan suatu perkara. Hal tersebut bisa dijumpai dalam Al Quran Surat An Nisa : 58, menyebutkan : “Dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum diantara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil”. Selanjutnya dalam Al Quran Surat An Nisa : 135 ditegaskan : “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang-orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Alloh biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabat. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Alloh lebih tahu kemaslahatannya, maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutarbalikan kata-kata atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Alloh adalah maha mengetahui segala apa yang kamu kerjakan”.
Dalam konstitusi kita dengan tegas memberikan jaminan adanya kesaman kedudukan. Hal tersebut di jelaskan dalam Pasal 27 ayat (1) ”Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Pasal ini memberikan pengertian bahwa setiap warga negara tanpa harus melihat apakah dia penduduk asli ataupun bukan, berasal dari golongan terdidik atau rakyat jelata yang buta huruf, golongan menengah keatas atau kaum marginal yang bergumul dengan kemiskinan harus dilayani sama dihadapan hukum.
Kedudukan berarti menempatkan warga negara untuk mendapatkan perlakuan yang sama dihadapan hukum. Sehingga dengan kedudukan yang setara, maka warga negara dalam berhadapan dengan hukum tidak ada yang berada diatas hukum. No man above the law, artinya tidak ada keistimewaan yang diberikan oleh hukum kepada subyek hukum, kalau ada subyek hukum yang memperoleh keistimewaan berarti menempatkan subyek hukum tersebut berada diatas hukum.
Tujuan utama adanya equality before the law, adalah menegakan keadilan dimana persamaan kedudukan berarti hukum sebagai satu entitas tidak membedakan siapapun yang meminta keadilan kepadanya. Diharapkan dengan adanya asas ini tidak terjadi suatu diskriminasi dalam supremasi hukum di Indonesia dimana ada suatu pembeda antara Penguasa, sikaya, simiskin dan rakyat jelata*