Oleh Darman Moenir
Saudara-saudara yang budiman.
Kembali ke RMI, saya masih mengikuti biarpun mungkin tidak secermat dulu. Sesungguhnya saya pernah diminta untuk memberi ulasan (terutama sajak dan cerpen), tetapi saya khawatir tidak mampu menjaga kesinambungan. Padahal inilah yang pernah ditawarkan Abrar Yusra ketika kami sama bermarkas, sama mengajar, di RP INS Kayu Tanam. Menurut Abrar Yusra, saya suka membaca dan punya potensi untuk menulis kritik sastra. Pula, biarpun (pada masa itu) ada H.B. Jassin, M.S. Hutagalung, S. Boen Oemarjati, Mursal Esten, Lukman Ali, Rustandi Kartakusuma, tetapi kritikus sastra Indonesia masih sangat sedikit. Pendapat Abrar Yusra menarik perhatian, dan saya berbicara dan mengulas sajak-sajak Rusli Marzuki Saria dan Abrar Yusra dalam diskusi sastra di Pusat Kesenian Padang. Paling menarik, kedua tulisan itu kemudian dimuat Kompas (1975 dan 1976). Namun menulis kritik sastra itu tidak selalu saya lanjutkan. Saya ingin menulis cipta sastra kreatif. Namun, sungguh-sungguh, tidak mudah.
Biarpun demikian kritik terhadap karya-karya sendiri senantiasa saya lakukan, sampai kini, dan entah sampai kapan. Pengalaman dari Bako yang disunting Redaktur Sastra Balai Pustaka mengajari saya untuk menyunting puisi, cerpen, novel, esai dan tulisan sendiri, berkali-kali. Saya mengupayakan agar tulisan saya tidak (perlu) disunting lagi. Itu terjadi pada novel-novel saya Dendang (BP, 1988, mengantarkan saya untuk menerima Hadiah Sastra 1992 dari Pemerintah Republik Indnesia) dan Aku Keluargaku Tetanggaku (BP, 1993, Meraih Hadiah II Sayembara Novel Kartini 1986), Andika Cahaya (Akar Indonesia, 2012), dan novel-novel yang belum terbit, termasuk novel yang terakhir, Paco-paco (2012). Novel-novel terbit itu tidak mengalami penyuntingan, kecuali oleh saya sendiri. Satu tanda titik, tanda koma, tanda seru, satu diksi, frasa, kalimat, satu alinea, bab, saya perhitungkan dengan cermat. Judul! Ini yang tidak kalah penting, perlu dipertanggungjawabkan. Jangan sebagai akibat rayuan pasar atau penerbit lalu pengarang mau saja mengubah dan mengganti judul.
Paling mengesankan, ingin saya sebut, adalah ketika Wiswan Hadi minta saya untuk membaca naskah novel Tamu pada 1992. Tidak sampai satu hari satu malam, naskah itu (175 halaman kuarto satu setengah spasi) rampung saya baca. Tetapi, celaka, hampir setiap alinea, setiap halaman, setiap bab, nakah novel pertama Wisran Hadi itu saya corat-coret, dengan tinta merah lagi. Itu memang kerja penyuntingan yang “ganas” tetapi bukan dengan kemarahan. Guru dan sahabat saya itu tidak keberatan, bahkan berterima kasih, dengan tambahan: ko ndak bahonor do, Man (ini tidak punya honor, Man). Saya terpingkal. Tamu kemudian dimuat bersambung di Republika, 1994) dan diterbitkan Pustaka Utama Grafiti, 1996. Bahkan dinobatkan jadi buku terbaik. Dan, kemudian, beberapa naskah Wisran Hadi (bukan lakon) saya sunting. Terakhir saya menyunting novel Persiden Wisran Hadi (Unggulan Lomba Roman DKJ 2010, diterbitkan Bentang, 2013).
Penyutingan saya lakukan terhadap sejumlah naskah buku dari Singgalang melalui Khairul Jasmi dan dari Zaili Asril (lebih-kurang 800 halaman) yang mengimbali dengan honorarium relatif memadai. Saya tidak meminta, tetapi doa untuk menolak rezeki memang belum diayatkan. Saya pun menyunting naskah-naskah buku yang ditulis oleh Buya Bagindo Leter, novel Nelson Alwi, naskah tulisan Sjamsir Roust, cerita rakyat Yulizal Yunus, dan secara lisan saya pernah berdiskusi dengan Syarifuddin Arifin mengenai naskah kumpulan puisi Maling Kondang. Dan saya pun, Mahabesar (ini ejaan yang baku) Allah SWT, saya diajak oleh Kementerian Agama RI bekerja sama dengan IAIN Imam Bonjol Padang, 2012-2014, untuk memvalidasi terjemahan Kitab Suci Alquran dari bahasa Indonesia ke bahasa Minangkabau.
Ada bahkan banyak naskah yang tidak sempat saya baca dan sunting. Selain waktu yang terbatas, saya beranggapan, naskah-naskah itu lebih baik disunting oleh orang lain. Saya bukan menganggap, naskah-naskah itu populer atau bagaimana. Terakhir, Juli 2015, Eddy Pranata PNP minta saya untuk memberi catatan sampul belakang terhadap kumpulan puisi Bila Jasadku Kaumasukkan ke Liang Kubur (Shell Jagat Tempurung, 2015). Saya minta semua puisi, hampir lima ratus (judul), dikirim dan saya baca sebelum saya putuskan memberikan testimoni, endorsement, atau apa pun namanya. Sesungguhnya saya termasuk orang yang tidak suka penggunaan catatan kulit belakang. Saya percaya, naskah yang baik, puisi yang bagus, novel bermutu, berbicara langsung dengan para pembaca, tanpa perantara. Tanpa pengakuan saya, Eddy Pranata PNP sah jadi penyair.
Dan tulisan-tulisan saya untuk surat kabar dan majalah rata-rata lolos sensor, tanpa penyuntingan. Namun bukan tidak pernah, terjadi penyuntingan dan mendatangkan kelucuan. Saya menulis diksi melesat, sebagai contoh, tetapi oleh redaktur diubah menjadi meleset. Andai hendak mengubah, mengapa tidak bertanya melalui surat-e atau melalui pesan singkat. Itulah yang saya apresiasi pada Nasrul Azwar ketika masih jadir Redaktur Seni Budaya Haluan: hanya untuk satu kata, dia mau dan tidak malu bertanya. Dan ada pula naskah “bagus” yang saya kirim ke surat kabar Padang tetapi, tanpa kabar berita, tulisan itu tidak dimuat. Tetapi saya terlambung setelah artikel itu dimuat Kompas, tanpa perubahan satu titik koma pun. Pernah pula naskah saya kirim ke Horison, ditolak. Tetapi naskah yang sama dimuat di Kalam.
Baca juga:
Kesaksian Personal : Orasi Sastra Darman MoenirKesaksian Personal : Bagian Kedua Orasi Sastra Darman MoenirKesaksian Personal : Bagian Ketiga Orasi Sastra Darman MoenirKesaksian Personal : Bagian Keempat Orasi Sastra Darman Moenir