Oleh Darman Moenir
Saudara-saudara yang baik.
Dengan “pengalaman” sastra seperti itu, saya kian tertarik dengan kehadiran “RMI 1976” namun, kesibukan rutin saya yang tidak bisa diundur-undur dengan pekerjaan menjadi korektor tidak memungkinkan saya bertemu dan berdiskusi banyak dengan para penulis pemula yang datang silih-berganti. (Hujan lebat, petir dan kilat membahana, puting beliung, ombak menggulung besar di Pantai Puruih, tidak boleh menghalangi kami untuk hadir di ruang koreksi.) Membaca pruf dan teks dalam bentuk koran halaman budaya saya lakukan setiap terbit. Saya baca sajak-sajak itu, cerpen-cerpen itu, esai-esai itu, dan kritik-kritik itu. Kegemaran membaca ini saya pelihara sampai sekarang. Tiap pagi, sampai hari ini, selain buku-buku (usang dan baru), saya rutin membaca empat harian yang terbit di Padang (sesuai abjad: Haluan, Padang Ekspres, Pos Metro Padang, Singgalang), satu dari Jakarta (Kompas), satu majalah berita mingguan setiap pekan, dan satu majalah sastra setiap bulan. Di era internet, saya menyigi ruang-ruang budaya banyak koran, termasuk The New York Times. Dulu, saya pernah berlangganan The Jakarta Post, Newsweek, dan membaca The Archipel Journal. Saya membaca Bumi Manusia Pramoedya Ananta Toer, pada suatu hari, mulai pukul 10.00 pagi, dan selesai pukul 02.00, dinihari. Tidak sebulan sesudah itu, Bumi Manusia dilarang beredar. Saya membaca, membaca, membaca, menjaring makna. Pernah saya melanggani beberapa surat kabar khusus edisi hari Minggu saja, yang menyediakan halaman budaya atau ruang sastra, terutama yang terbit di Jakarta.
Syukur, sekarang, kita merdeka, termasuk merdeka untuk membaca. Lebih awal, saya terpesona dan kagum, setiap jumpa Chairul Harun, saya selalu menampak di tangannya ada beberapa eksempelar koran dan buku. Bang Chairul mungkin ogah membawa Echolac atau tas seminar. Tetapi saya berkesimpulan, dia pembaca (buku-buku dan surat kabar) berat. Di Manila, saya pernah diajak Pak Mochtar Lubis bertamu ke rumah seorang Guru Besar untuk mendapatkan goreang talua bulek balado. (Lidah Padang begok saya tidak berterima menu makan manis-manis, bergizi dan berkalori tinggi, bertarat internasional itu.) Semua dinding lantai dasar dan lantai satu rumah besar itu penuh (rak) buku. Saya pun terpana menyaksikan orang asing, di ruang tunggu bandar udara, di waktu istirahat di kampus, selalu membaca, membaca dan membaca buku. Ke mana-mana, dalam tas mereka, ada buku bacaan. (Kini, tentu saja, banyak orang punya telepon genggam, dan dengan gawai, berselancar di dunia maya. Mereka juga membaca?)
Peluncuran buku dalam pertemuan sastrawan 2015. (dok.pria takari utama)Dan saya berusaha benar menjaga hubungan baik, silaturahmi, dengan para senior, sahabat seangkatan, dan yang berusia lebih muda. Untuk menyebut beberapa, biarpun acap kena sarengeh, saya relatif dekat dengan suhu A.A. Navis, Rusli Marzuki Saria, Wisran Hadi, Mursal Esten, Mochtar Lubis, Taufiq Ismail, Sutardji Calzoum Bachri, Abdul Hadi W.M., Danarto, Hamsad Rangkuti, Leon Agusta, Ibrahim Sattah, Idrus Tintin, Zainuddin Tamir Koto (Zatako), Damiri Mahmud, A. Rahim Qahhar, Husni Djamaluddin, bahkan juga Ismail Hussein di Malaysia, Djamal Tukimin di Singapura, Fransisco Sionil Jose di Filipina. Tentu saja saya pernah berdiskusi dengan Umar Kayam, Umar Junus, Goenawan Mohamad, Budi Darma, Toeti Heraty Noerhadi, Ikranagara, Radhar Panca Dahana, Nirwan Arsuka, Nirwan Dewanto, Afrizal Malna, Taufik Ikram Jamil, Adek Alwi, Isbedy Stiawan Z.S. Ke Jakarta, saya menyempatkan diri singgah ke Jalan Bonang 17, atau ke kantor Yayasan Obor di Jalan Plaju, untuk berjumpa dengan Pak Mochtar Lubis. Ketika ke Padang, Mochtar Lubis bahkan mampir ke Jalan Pasaman II/170, Kompleks Perumnas Siteba, Kelurahan Surau Gadang, Nanggalo, tempat tinggal saya. Istri saya menjamu Mochtar Lubis dengan teh manis, dan tumbang ubi bakarambie. Sering Pak Mochtar Lubis mengingatkan, bahwa penulis itu harus berani, jujur menyampaikan kebenaran dan tidak menggadaikan apalagi menjual (harga) diri. Tidak lupa pengarang Harimau Harimau itu memberi saya buku. Mochtar Lubis bahkan minta saya menerjemahkan novel The Moonson Country, nominator penerima Hadiah Nobel Sastra, oleh Pira Sudham dari Thailand. Novel itu saya terjemahkan dengan judul Negeri Hujan, dan diterbitkan Yayasan Obor (Jakarta, 1999). Penyuntingan terhadap terjemahan saya langsung dikerjakan Mochtar Lubis.
Dari mereka dan pembacaan sejumlah buku kemudian saya menerima pemahaman dan pencerahan, bahwa untuk berbuat kreatif, sekali lagi, berbuat kreatif, di bidang sastra itu memerlukan kerja keras, bersungguh-sungguh, berpeluh, mati-matian, tidak mengenal lelah, banyak membaca dan berupaya memaknai kehidupan. Menemukan sesuatu yang baru, itulah ujud konkret kreativitas. Mengulang apa yang sudah dikerjakan M. Yamin, Amir Hamzah, Chairil Anwar atau Marah Roesli, Abdoel Moeis, Armijn Pane, Hamka, Iwan Simatupang, dan seurut sastrawan besar dan penting lain jadi sia-sia. Betapa lagi saya sempat membaca beberapa karya Boris Pasternak, Yukio Mishima, Ernest Hemingway.
Konsep dan tesis penting dan mendasar ini pula yang sepuluh tahun belakangan saya sampaikan kepada puluhan bahkan ratusan siswa, mahasiswa dan guru-guru bahasa Indonesia se-Sumatera Barat yang saya dampingi ketika mereka mengikuti Program Pelatihan Menulis (Puisi, Cerpen, Novel, Esai) yang ditaja Balai Bahasa Provinsi Sumatera Barat di berbagai kampus dan sekolah, dan Rumah Puisi Taufiq Ismail di Aie Angek, Kabupaten Tanah Datar. Pendamping lain adalah Taufiq Ismail, Wisran Hadi, Rusli Marzuki Saria, Upita Agustine, Gus tf Sakai, Harris Effendi Thahar, Maman S. Mahayana, Jamal D. Rahman, Joni Ariadinata, Iman Soleh, Yusrizal K.W., Abdullah Khusairi, Zelfeni Wimra, Endut Ahadiat, Muhammad Ibrahim Ilyas, S. Metron Masdison, Syuhendri.
Baca juga:
Kesaksian Personal: Orasi Sastra Darman Moenir Kesaksian Personal: Bagian Kedua Orasi Sastra Darman Moenir