Oleh Darman Moenir
Saudara-saudara yang mulia.
SAYA berbahagia berpidato sastra yang bersifat personal pada hari ini, Sabtu, 22 Agustus 2015.Betapa lagi pidato ini harus dimulai dengan menyebut halaman Remaja Minggu Ini (RMI) Harian Haluan yang berawal pada 1976 dan berakhir 1999. Ruang ini jadi persemaian kelahiran sastrawan dari Sumatera Tengah penggal kedua abad lampau. Pula, masa-masa itu mendatangkan kenangan tersendiri, sesudah dinamika Grup Krikil Tajam yang saya pimpin pada 1973, berakhir. Sebelum RMI eksis, sudah ada halaman Budaya Minggu Ini (BMI) tiap Selasa.
Izinkan saya menjelaskan, Haluan adalah salah satu surat kabar tertua di Indonesia, didirikan oleh H. Kasoema bersama Adaham Hasibuan dan Amarullah Ombak Lubis. Menurut Wikipedia, Ensiklopedia bebas, edisi perdana Haluan terbit pada 1 Mei 1948 di Bukittinggi. Selama dan sehabis pergolakan PRRI, April 1958 sampai Mei 1969, surat kabar ini berhenti terbit. Pada bulan Mei 1969 Haluan kembali beredar. Tercatat wartawan yang mengawaki Haluan, antara lain, H. Kasoema, Rivai Marlaut, Chairul Harun, M. Joesfik Helmy, Sjafri Segeh, Annas Lubuk, A. Pasni Sata, Rusli Marzuki Saria, Basri Segeh, Sy. Datuk Tuo. Pada generasi berikut muncul nama-nama Benny Aziz, Nasrul Djalal, Sjukril Sjukur, Azurlis Habib, Ersi Rusli, Darman Moenir, Masri Marjan, Wall Paragoan, Yalvema Miaz, Herman L., Mufthi Syarfie.
Sejak 1 November 2010, Haluan berada di bawah kendali pemodal baru, H. Basrizal Koto. Pada masa awal manajemen baru bertindak jadi Pemimpin Umum H. Basrizal Koto, Wakil Pemimpin Umum Zul Effendi, Pemimpin Redaksi Yon Erizon, Kepala Litbang Eko Yanche Edrie. Di masa ini Nasrul Azwar pernah menjadi Redaktur Seni Budaya, berbuat profesional. Untuk satu kata yang meragukan pun Mak Naih, demikian panggilan akrab Nasrul Azwar, menghubungi penulis naskah. Ikut jadi redaktur Ismet Fanany, Rusdi Bais, Hendra Dupa. Kini (2015) Pemimpin Umum/Penanggungjawab Zul Effendi dengan Pemimpin Redaksi Yon Erizon.
Pada 1976, di tahun “RMI “ bermula, saya belum setahun bergabung di Haluan. Pada 18 Mei 1975 saya menikahi kekasih, Darhana Bakar (hadir pada acara ini, dan ke mana-mana kami sering berdua), dan saya meninggalkan “pekerjaan” guru bahasa Inggris di RP INS Kayu Tanam. Di INS, saya diajak A.A. Navis yang tahu saya menyelesaikan tingkat sarjana muda jurusan bahasa Inggris di ABA Prayoga Padang. Istri saya setuju saya bekerja di Haluan. Dan Pak Kasoema mau mengajak saya dengan alasan, saya, lapeh makan, bisa berbahasa Inggris, dan saya tamat Sekolah Seni Rupa Indonesia (SSRI) Negeri Padang. Mungkin saya dianggap tahu tata wajah surat kabar?
Pada tahun 1975 itu, Haluan mulai menggunakan cetak web offset tetapi huruf masih ketik timah. Pak A. Hamid, Pemimpin Perusahaan, minta saya merancang logo. Merujuk logo terdahulu, saya ajukan tiga. Satu diterima, dan itulah logo Haluan, persis, terpakai sampai kini. Ketika Basrizal Koto membeli Haluan, saya diajak rapat awal oleh Hasril Chaniago yang ikut membidani. Usul saya untuk moto Haluan, Mencerdaskan Kehidupan Masyarakat, diterima dan terpakai.
Kerja rutin-awal saya di Haluan adalah korektor, pembetul ketikan. Haluan pada waktu itu terbit delapan halaman. Kerabat kerja saya adalah Djasmani, Daswir Wahiduddin, Masri Marjan (kelak jadi wartawan andal, pernah jadi Ketua PWI Sumatera Barat), Mufthi Syarfie (kini komisioner KPU Sumatera Barat), Aldjufri Sjahruddin (dosen UNP), Armansjah Nizar (terkenal dengan sebutan Mangkutak), Uzmil Argan, Indra Merdy (kelak jadi redaktur).
Sebagai korektor, tentu saja kami bukan saja membaca tetapi bahkan memeriksa semua naskah yang diset sehingga, dengan demikian, saya tahu naskah-naskah yang disiapkan untuk RMI dan BMI oleh Redaktur Budaya Rusli Marzuki Saria (RMS). Biarpun beberapa tahun sebelum itu secara pribadi saya sudah mengenal Papa RMS, tetapi saya tidak mau mengusik naskah (sering disebut kopai, copy, maksudnya kopi) yang disiapkan dengan sungguh-sungguh, terencana, dan selektif. Otonomi dan karisma RMS sangat kuat, jujur, terpuji, tahan banting. Untuk Minggu, sudah ada sebundel naskah di ruang mesin cetak timah pada hari Kamis. Untuk Selasa, naskah disiapkan dan mulai diketik Sabtu. Ada puisi, cerpen, esai, kritik, dan vignet (ilustrasi). Seleksi dilakukan sendiri oleh RMS. Naskah masuk tiap hari, via pos atau diantar sendiri. Dan itu dikerjakan RMS selama 30 tahun lebih. Sebagai korektor, dan sekali-sekali menulis berita, saya juga menyerahkan naskah sastra dan terjemahan sastra ke RMS tetapi untuk BMI.
Saya pernah “antrean” dua tahun sebelum sajak-sajak saya dimuat, antara lain, Shelly Kecil yang saya terakan di bagian awal novel Bako (BP, Cetak Pertama 1983). Shelly Kecil kemudian menang Sayembara Menulis Puisi IKIP dan, 1973, dimuat di majalah sastra paling bergengsi, pada masa itu, Horison. Beberapa bulan sebelum pemuatan, sebagai salah seorang redaktur, Sapardi Djoko Damono menyurati saya, bahwa sajak-sajak saya lolos seleksi, dan (akan) dimuat Horison. Dan Shelly Kecil mengantarkan saya ke Pertemuan Sastrawan Indonesia 1974 di TIM Jakarta. “Sajak DM sudah ada di Horison,” ujar Navis memberi alasan mengapa saya dan belasan sastrawan dari Sumatera Barat diajak ke pertemuan itu. Semua biaya transportasi dan uang saku dicarikan dan disediakan Bang Navis. Itulah pertama kali saya melihat Monumen Nasional pada malam hari. Menakjubkan! Dan di pertemuan itulah saya, malu-malu, berjabat tangan dengan W.S. Rendra, Ramadhan K.H., Slamet Sukirnanto, Darmanto Jatman, Aspar Paturusi, dan mengintip tempat tinggal Taufiq Ismail, di mes, sebelah Wisma Seni (sekarang sudah tidak ada) di kompleks TIM. Pada pertemuan itu pula saya berkenalan dengan orang-orang seusia: Ahmad Tohari, D. Zawawi Imron, Emha Ainun Nadjib, Linus Suryadi A.G., Yudhistira Ardinoegraha, Adri Damardji Woko, dan Ebiet G. Ade. Dan puluhan yang lain. (Bagian Kedua Klik DisinI)