Pengamat pendidikan, Drs. Wandra Ilyas menyatakan, kalau dikatakan apresiasi sastra siswa di sekolah belum lagi menggembirakan, penyebabnya bukan karena kurikulum pengajaran yang tidak baik, tapi justru karena ketidakmampuan guru dalam mengajarkan pelajaran sastra tersebut. Hal itu bisa kita lihat, betapa sampai sekarang kita sulit mencari guru bahasa Indonesia yang menyenangi pelajaran sastra. Padahal, pengajaran bahasa dan sastra Indonesia itu, baik di tingkat pendidikan dasar maupun menengah, merupakan satu paket pelajaran dengan guru yang sama.
Karena itulah, kerap terjadi tiba pada jam pelajaran sastra dia lompati (tinggalkan). Kenapa? “Karena modal atau kekayaan guru tentang sastra (pengetahuan, naluri dan wawasan) itu sendiri tidak ada. Hal ini juga berakibat pelajaran sastra jadi tak disenangi para siswa, dan tentu saja apresiasi mereka sampai kapan pun tak akan menggembirakan,” tegas Wandra Ilyas di kantornya, dinas pendidikan dan kebudayaan Provinsi Sumbar, Jumat (24/7) lalu.
Kurikulum pengajaran itu, menurutnya, tak obahnya seperti jalan raya bagi sebuah mobil, sedangkan guru adalah sopir yang mengemudikan mobil tersebut. Bagi sopir yang baik, di jalan berlobang, menanjak dan berliku-liku pun dia akan mampu mengemudikan mobilnya dengan lancar dan selamat sampai ke tujuan. Namun sebaliknya, kalau sopir itu termasuk yang kurang baik, di jalan mulus sekalipun mobilnya akan berjalan oleng, dan malah sering mogok sebelum mencapai tujuan. “Jadi, rendahnya apresiasi siswa terhadap sastra itu lebih disebabkan karena mobil sastra dikemudikan oleh sopir yang tidak baik lantaran tidak menyenangi profesinya,” tutur sarjana pendidikan bahasa dan sastra Indonesia, yang juga mantan guru dan kepala sekolah di kota Solok dan Padang tersebut.
Tak Punya Naluri Sastra
Guru bahasa Indonesia yang tidak menyenangi sastra itu, dinilai Wandra Ilyas sebagai guru yang tak punya naluri sastra yang baik, sebagai pijakan baginya untuk menggeluti dan mengikuti segala aspek perkembangan sastra secara intens. Guru tersebut hanya memiliki modal pengetahuan sastra masa lalu, yang diperolehnya ketika masih kuliah dengan dosen anu, dan modal itu pun tak pernah ditambah. Padahal, sastra itu sendiri begitu cepat perkembangannya dari waktu ke waktu. Umumnya hal ini menimpa guru-guru bahasa Indonesia di SMP dan SMU, yang karena tidak mengikuti perkembangan sastra, maka pengetahuan yang dimilikinya tidak lagi memadai alias telah semakin menyusut.
“Seharusnya guru-guru bahasa Indonesia di SMP dan SMU itu memiliki naluri sastra yang kuat, sehingga pengetahuan sastranya makin meningkat. Tanpa memiliki naluri sastra, kecuali cuma ilmu pengetahuan yang terbatas dari masa lalu itu, niscaya sampai kapan pun guru mustahil akan menyenangi sastra, dan apresiasi sastra para siswa di sekolah akan lebih dini terkubur,” tutur Wandra Ilyas yang di tahun 1970-an dan 1980-an dulu juga aktif menulis puisi, cerpen dan esei di berbagai koran yang terbit di Padang.
Untuk mengatasi hal itulah, putra Sumani Solok, kelahiran 4 Mei 1958 ini menyarankan agar pada waktu acara pelatihan-pelatihan sastra bagi guru hendaknya lebih banyak materinya ke arah proses kreatif sastra ketimbang pengenalan teori-teori melulu. “Hendaknya dalam pelatihan-pelatihan sastra untuk guru itu, lebih diutamakan materinya ke arah proses kreatif dan apresiasi sastra, tidak dari segi teori saja. Proses apresiasi sastra itu bisa menyangkut bidang menulis resensi buku, menulis esei sastra dan lain sebagainya,” pintanya. (laporan Dasril Ahmad). ***