Skip to main content
Boy Yendra Tamin

follow us

Dililik Batang Jo Akanyo, Dikabek Padi Jo Daunnyo

Oleh: Emral Djamal Dt Radjo Mudo

Zaman telah berubah dan perubahan itu adalah kemajuan, kepunahan, atau kebangkitan dalam konteks pembaharuan, dari buek nan balingka undang yang satu kepada buek nan balingka undang yang lain. Namun, nan balingka itu tetap dengan undang undang juga. Karena bagaimanapun juga, prinsip-prinsip hukum alam adalah tetap dan permanen, sepanjang alam itu ada.

Yang berubah adalah perubahan itu sendiri. Ungkapan adat telah mengisyaratkan tentang adanya perubahan-perubahan tersebut, berupa ketentuan-ketentuan peralihan dari buek nan balingka undang yang satu kepada buek nan balingka undang lainnya.

Namun tetap dalam kerangka hukum-hukum perubahan dan ketentuan-ketentuan peralihan yang bersifat alami, seperti ungkapan adat mengatakan :

Sakali aie gadang sakali tapian baralieh, sungguahpun baralieh di sinan juo

Hal ini disebabkan karena Minangkabau sebagai sebuah batang kebudayaan, memiliki dan mewarisi nilai-nilai Undang, Adat, dan Cupak yang disampaikan dengan dinamika gaya dan corak pelaksanaan, sesuai dengan etika dan estetika berbahasa sendiri yang unik dan khas. (Baca juga : Undang dan Hukum Adat Alam Minangkabau)

Dinamika kehidupan ini merupakan hasil perwujudan pengalaman sejarah dan argumentasi-argumentasi pemikiran masyarakatnya yang ditempa dalam kancah pertarungan berbagai konflik kehidupan yang panjang.

Ia tidak disampaikan secara lugas, bahkan dianggap tabu untuk mengatakan sesuatu secara terus terang. Tetapi haruslah dengan menggunakan bahasa kias dan ibarat-ibarat alami dengan kiat-kiat tertentu, sesuai dengan norma-norma yang berlaku pada zamannya.

Sesuatu yang disampaikan secara terus terang dianggap dan dinilai kasar menurut adat, tidak memiliki etika dan estetika berbahasa, lapeh sajo ka subarang, indak bapamatang sawah do, pada hal

sawah berpematang,

ladang berbintalak,

rimbo balinjuang,

Sebagai tanda-tanda batas ukur jangkanya. Petuah adat Minangkabau mengisyaratkan :

Nan hitam tahan tapo

nan putieh tahan sasah

nan binatang tahan gado

nan manusia tahan kieh

Ungkapan, pepatah, pesan-pesan, petuah dan amanah-amanah adat dalam berbagai coraknya merupakan standar nilai yang telah melewati proses kristalisasi pengalaman dan pemikiran masyarakat Minangkabau sepanjang adat.

Karenanya ia dapat digunakan sebagai cencang landasan, dasar hukum, dan rujukan ilmiah bagi penyampaian pemikiran-pemikiran masa lalu, sekarang, dan untuk masa yang akan datang, berkenaan dengan idealisme, aspirasi dan kepentingan, khususnya dalam lingkungan pendukung kebudayaan Minangkabau tersebut di nagari masing-masing.

Rujukan bagi penentuan nilai-nilai baik dan buruknya suatu sikap, tindak, laku, dan perbuatan individu, keluarga, atau kaum, baik dalam saling hubungannya antara masyarakat itu sendiri, maupun dalam hubungannya dengan masyarakat yang lebih luas, telah terakumulasi secara jelas dalam tuangan-tuangan lembaga adatnya.

Tidak ada perubahan tentang itu, namun yang berubah adalah cara menyampaikannya, cara mensosialisasikannya, cara mengaplikasikannya kembali yang harus disesuaikan dengan kehidupan modern sekarang, dengan tatacara transformasi komunikasi yang serba canggih ini.

Namun memang terasa ada bagian-bagian yang putus, tercerai berai, hilang, atau terbenam dalam rawa kemelut zaman. Untuk itu perlu adanya inisiatif yang jelas, dengan segera melaksanakan penjabaran atas amanah prinsip adat :

lapuak lapuak dikajangi,

usang-usang dibaharui,

tabanam disilami,

hanyuik dipintasi.

Oleh karena berbagai analisa persoalan, dan rumusan-rumusan sepanjang adat akan ditemukan rujukannya dalam petuah-petuah, pesan-pesan dan amanah tradisi yang berbentuk mamang, bidal, pantun, gurindam dan lain-lain bentuk sastra tradisi Minangkabau, maka sastra tradisi Minangkabau menempati kedudukan sentral sebagai “induk sastra” dalam masyarakat Budaya Alam Minangkabau, perlu dikomunikasikan, dan ditrasformasikan ke segala arah.

Pembelajaran kembali akan nilai-nilai seni, sastra, falsafah, hukum, dan tatanan sosial masyarakat tradisi, sesuai dengan pencanangan kembali ke nagari, berarti kembali kepada kesadaran hakiki, kembali keharibaan ibu, kembali ke pangkuan mande, sebagai anak cucu yang mewarisi nilai-nilai sejarah, seni, adat, dan budayanya yang tak lapuk dek hujan tak lekang dek paneh itu..

Tentu saja dengan perubahan-perubahan wawasan dan penalaran yang baru pula, asal tidak lepas dari adagium adatnya.

tanun batanam aka budi,

kandak adat jo pusako

nan takarang dipatubuah,

nan tagamba disudahkan juo.

Begitu juga dalam tulisan ini, berbagai petuah dan ungkapan-ungkapan adat, akan menjadi sandi adok, cancang landasan yang diperlukan sebagai rujukan ilmiah dan dasar hukum bagi menetapkam suatu nilai dari obyek kajian yang sedang dibicarakan ini.

Dengan demikian, daftar petuah, amanah, dan ungkapan-ungkapan adat merupakan inventarisasi kepustakaan tersendiri, yang unik dan khas dalam metodologi kajian-kajian tradisi Budaya Alam Minangkabau, sesuai dengan cara berfikir keminangkabauan itu sendiri, khususnya dalam kajian Fenomena Budaya Alam Minangkabau.: dililik batang jo akanyo, dikabek padi jo daun-nyo

Artinya, Minangkabau itu memiliki sistem, metoda, dan teori teori kajian yang khas. 'Untuk mendapatkan keterangan-keterangan yang setidak-tidaknya mendekati kebenaran Nan Bana', tentulah kita harus memakai sistem atau metodologi kajian yang diwariskannya, yang diamanahkannya, yang diperturun naikkannya lewat tutur dan petuturannya sepanjang adat, dengan cara-nya, bukan cara yang lain-lain.

Menelusuri Batang Kebudayaan Minangkabau itu haruslah dengan 'akalnya' dengan cara berfikirnya, dan mempergunakan dalil-dalil dan tanda-tanda ilmunya.

Dalam bahasa simbol dapat dikatakan dengan adagium 'senjata makan tuan', seperti yang telah dilakukan oleh Cindua Mato ketika membunuh Tiang Bungkuk, dengan keris pusaka Tiang Bungkuk itu sendiri. Dalam ungkapan sekarang disebut :

malawan guru jo kajinyo,

malawan rundiang jo paretongan

'Malawan' di sini bukan dimaksudkan melawan secara harafiah, tetapi melawan dalam pengertian lawan itu adalah mitra, kelompok atau perorangan dalam setiap 'adu argumentasi', mitra diskusi dalam 'adu kekuatan otak, akal inteligensia”, bukan adu buku tangan, bukan adu otot, bukan adu pisik, adu kekayaan material, adu kekuasaan'

Spesial Untuk Anda:

Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar