Oleh: Darman Moenir
Petang Kamis (27/8/15) saya menerima informasi dari seniman Muhammad Ibrahim Ilyas, dipanggil Bram, bahwa Abrar Yusra mengalami gangguan kesehatan. Abrar Yusra sakit? Bram mengatakan, menurut sahabat Abrar Yusra yang juga sahabat kami, Dokter Yoeswar Darisan, Abrar Yusra menderita stroke ringan. Mereka tinggal di Jakarta. Segera saya minta Bram mengirimkan nomor-nomor telepon genggam mereka.
Subuh kemarin, Jumat, saya dapat menghubungi nomor Abrar Yusra, diangkat oleh anaknya, Gaf, yang saya kenal sejak Gaf masih kanak-kanak. Gaf membenarkan, ayahnya sakit dengan kondisi sudah lebih baik daripada kemarin dulu. Yoeswar yang pagi kemarin dari Jakarta baru mendarat di Pekanbaru segera menyatakan, keadaan Abrar Yusra bulan-bulan terakhir. Sesungguhnya Abrar Yusra sudah tiga kali mengalami stroke ringan. Atas saran Yoeswar, dokter penggemar berat saluang, Abrar Yusra memeriksakan kesehatan secara menyeluruh. Ternyata, menurut analisis dokter, pembuluh darah ke paru-paru Abrar Yusra terkena infeksi.
Berhubung sudah lama tidak jumpa, dengan Yoeswar, saya bicara sana-sini, maota-ota jarak jauh. Yoeswar peduli benar dengan kesehatan sahabat-sahabatnya. Melalui medsos, dia pernah bertanya tensi, kolestrol, nafsu makan saya. Namun, tidak sejam kemudian, pagi kemarin, putri dan anak sulung saya, Tahtiha D. Moenir, menelepon, dia baru saja menerima berita duka melalui fesbuk dari Lillah, putra (alm.) Hamid Jabbar. Diberitakan, Abrar Yusra meninggal-dunia pukul 07.50, Jumat, 28 Agustus 2015, di RSUD Kota Bogor.
Segera kabar duka itu saya sampaikan kepada Uda Basril Djabar yang sedang berada di Kota Bandung. Da Bas menyatakan, dia berencana bezuk Sabtu ini. Da Bas minta saya mencari informasi di mana Abrar Yusra dimakamkan. Ada nada sendu di suara Da Bas ketika saya beri tahu, almarhum dimakamkan di Pandam Pekuburan Kaum di Negari Lawang, Kacamatan Matur, Kabupaten Agam. Da Bas ingin benar mengantar Abrar Yusra ke tempat peristirahatan terakhir.
Kabar duka itu pun saya sampaikan ke Rusli Marzuki Saria, Prof. Dr. H. Harris Effendi Thahar, M.Pd., Drs. H. Muasri, Drs. Syamsarul, M.M., Nelson Alwi, Anida Kris, Syarifuddin Arifin, Husnu Abadi di Pekanbaru, Ati Taufiq Ismail (di Jakarta tetapi tahu). Ada beberapa nama lain tetapi telepon tidak diangkat, dan atau sibuk. Tidak sejam kemudian berita duka itu bertebaran di media sosial.
Demikian, seorang sahabat, guru, wartawan, penyair, cerpenis, novelis, esais, penulis biografi yang cergas (tangkas, giat, gesit), menemui ajal. Innalillahi wainnailaihi rajiun. Kita, dan kami (para sahabat, istri, anak-anak dan keluarga besar Abrar Yusra) berdoa semoga Abrar Yusra mendapatkan tempat paling layak di alam baka. Amin.
Abrar Yusra lahir Lawang pada 28 Maret 1943, wafat dalam umur 72 tahun. Abrar Yusra menulis buku biografi Hoegeng, Polisi Idaman dan Kenyataan, Komat Kamit Selo Soemardjan (bersama Ramadhan K.H.), A.A. Navis, Satiris dan Suara Kritis dari Daerah, Harun Zain Tokoh Berhati Rakyat, Memoar Seorang Sosialis (memoar politik Djoeir Moehamad), dan biografi Azwar Anas, Amir Hamzah, A.A. Navis, Basril Djabar. Sebelum pindah ke Jakarta (tidak tanggung-tanggung, di Jakarta, Abrar Yusra pernah duduk di Komite Sastra DKJ, 1990-1993), Abrar Yusra jadi redaktur Singgalang selama 9 tahun. Sebelum itu, 1975, Abrar Yusra menjadi guru Ruang Pendidik INS Kayu Tanam. Di sana dan pada tahun itulah saya berkenalan dan berdiskusi menukik-mendalam tentang sastra dengan Abrar Yusra, Wisran Hadi, dan A.A. Navis.
Saya tahu, Abrar Yusra selalu berupaya mempertahankan prinsip dan benar-benar menjaga elan kreatif. Abrar mengaku senang antara lain dengan sajak-sajak Emily Dickinson, Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono, Abdul Hadi W.M. dan, tentu saja, Chairil Anwar.
"Mungkinkah kita menulis puisi berkualitas lebih daripada apa yang sudah mereka kerjakan?" Abrar Yusra, pada masa itu, bertanya. Dan kepada saya Abrar Yusra menawarkan “pekerjaan” untuk menjadi kritikus sastra yang, bahkan sampai sekarang, lowong. Memang ada H.B. Jassin, Umar Junus, M.S. Hutagalung, Boen S. Oemarjati, Mursal Esten, tetapi masih saja belum cukup, masih sangat sedikit.
Di RP INS, Navis menerbitkan sajak-sajak kami dalam bentuk buku, ada lima, dengan teknik cetak amat sederhana. Bagi saya pribadi, juga Abrar Yusra, itu adalah buku kumpulan puisi pertama. Kumpulan puisi saya berjudul Kenapa Hari Panas Sekali? Buku puisi Abrar Yusra berjudul Siul. Kemudian, Abrar Yusra bagai tidak terbendung. Novel Tanah Ombak (2002) meraih penghargaan Hadiah Sastra Mastera (Masyarakat Sastra Asia Tenggara) di Kuala Lumpur, Malaysia, pada tahun 2003.
Abrar Yusra menulis puisi, cerpen, novel dan esai di Basis, Horison, Kompas, Suara Pembaruan, Republika. Beberapa karya Abrar Yusra muncul di sejumlah bunga rampai, seperti Laut Biru Langit Biru (Ajip Rosidi), Tonggak (Linus Suryadi A.G.), dan Puisi Nusantara (Kemala).
Inilah sejudul di antara banyak puisi dan karya sastra yang ditinggalkan Abrar Yusra.
1970-an
Lapar aku, aku lapar. Kumakan buah segala buah
segala padi segala ubiKumakan sayur segala sayur. Segala daun segala rumputKumakan ikan, ketam, udang, kerangKumakan kudaAyam, sapi, kambing, babi, tikus, bekicotAku lapar, lapar lagi!Kumakan anginKumakan mimpiKumakan pilKumakan kumanKumakan tanahKumakan lautKumakan mesiuKumakan bomKumakan bulanDan bintang dan matahariKumakan mimpimuRencanamuTanganmu, kakimuKepalamuAstaga, kumakan tangankuDan kakiku dan kepalakuDan hah, kumakan kamu!Selamat jalan, Bang Yus. (***)
(Dimuat Singgalang, Sabtu, 29 Agustus 2015)