Oleh Alex Yuliandra, SH
Mahasiswa Program Studi Hukum Pasca Sarjana Universitas Bung HattaDari judul diatas menarik untuk didiskusikan, mengingat Advokat adalah profesi di bidang hukum dan suatu istilah anti korupsi yang saat ini telah menjadi gerakan terhadap pemberantasan korupsi. Saat ini telah banyak terungkap kasus-kasus korupsi yang di dalamnya melibatkan advokat, bukan sebagai pembela atau Penasehat hukum tetapi sebagai tersangka atau terdakwa dalam perkara-perkara korupsi. Profesi Advokat yang merupakan profesi yang mulia (ovicium nobile) ternoda oleh perilaku oknum-oknum Advokat yang menghalalkan segala cara untuk memenangkan klien yang didampinginya.
Anti korupsi terdiri dari dua suku kata, yaitu anti yang mempunyai arti tidak sepaham, tidak suka, menentang dan korupsi yang berasal dari bahasa latin yaitu corruptio yang mempunyai arti suatu perbuatan busuk, buruk, bejat, tidak jujur, dapat disuap, tidak bermoral, menyimpang dari kesucian. Jadi dapat diartikan secara sederhana anti korupsi adalah tidak suka terhadap suatu perbuatan busuk, tidak jujur dan tidak bermoral yang menyimpang dari kesucian.
Pada saat ini kenyataannya korupsi di Indonesia sulit untuk dibasmi, bahkan berdasarkan penelitian Transparansi Internasional, Indonesia dikategorikan atau termasuk negara terkorup di dunia. Hasil survey tersebut cukup mengejutkan dan memalukan kita semua, lebih-lebih kalau dikaitkan dengan cita-cita dan keinginan founding father negara ini yang menetapkan negara ini sebagai Negara hukum (rule of law), namun prinsip tersebut masih tercatat hanya dalam tataran normatif, sedangkan implementasinya masih jauh dari yang diharapkan para pencari keadilan. Selain itu masalah korupsi dan segala akibat-akibat yang ditimbulkannya tidak hanya menjadi urusan-urusan satu negara saja, tetapi sudah lama menjadi urusan internasional (urusan PBB maupun organisasi internasional yang bersifat regional), Dengan mengeluarkan Konvensi Menentang Korupsi (Convention Against Corruption/CAT) dan Indonesia telah meratifikasinya dengan UU Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption, 2003. Dalam CAT banyak hal-hal baru yang belum diatur dalam perundang-undangan yang terkait dengan tindak pidana korupsi di Indonesia, namun harus dimasukkan dalam legislasi, terutama dalam kaitannya dengan kriminalisasi dari suatu perbuatan.
Dalam proses penegakkan hukum terutama penegakkan hukum dalam hal korupsi tentunya harus melibatkan sinergi dari aparat penegak hukum (Polisi, Jaksa, Hakim dan Advokat). Semenjak dibentuk dan diberlakukannya UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, kedudukan advokat adalah sama dengan Polisi, Jaksa, dan Hakim sebagai penegak hukum, sehingga dengan sendirinya dalam sistem penegakan hukum di Indonesia unsur penegak hukum memiliki kaitan dengan suprastruktur formal dan infrastruktur informal. Advokat adalah bagian dari infrastruktur informal, karena keberadaannya tidak berada dalam lembaga penegakan hukum baik judikatif maupun eksekutif (Polri, Kejaksaan, Kehakiman).Dengan adanya predikat advokat sebagai penegak hukum, semakin menunjukkan bahwa advokat harus turut serta dalam menciptakan/mewujudkan dan memelihara sistem peradilan yang bersih dan berwibawa demi terwujudnya wibawa hukum.Dalam mewujudkan idealisme tersebut, haruslah fokus pada pembersihan yang mendasar yang dilakukan pada diri setiap advokat selaku penegak hukum, karena bagaimanapun tidak dapat pungkiri bahwa keberadaan advokat dalam memberikan nasehat (advise) dan bantuan hukum dalam bentuk-bentuk tertentu, diantaranya pembelaan terhadap tersangka/terdakwa pada semua tahap dalam kasus korupsi perlu mendapatkan perhatian tersendiri agar tidak terjadi hal-hal yang terkait dengan tindakan yang berbau korupsi, karena bahaya dari korupsi sangat luar biasa yang tidak hanya merusak sendi- sendi perekonomian negara tetapi seluruh sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pembersihan mendasar yang yang dilakukan tersebut adalah bagaimana sistem rekruitmen advokat tersebut dilakukan dengan sistem yang baik dengan kata lain bebas dari KKN (Kolusi, Korupsi Dan Nepotisme), Dalam hal ini PERADI (Perhimpunan Advokat Indonesia) telah mencoba menerapkan sistem rekruitmen advokat yang zero korupsi, kolusi dan nepotisme dengan tujuan agar advokat yang dilahirkan memang adalah advokat yang betul-betul menjadi penegak hukum yang tidak semata- mata hanya menjadikan profesi ini sebagai pekerjaan tetapi juga pengabdian dalam penegakkan hukum di Indonesia.
Dengan sistem rekruitmen yang jauh dari unsur KKN, nantinya diharapkan lahir advokat-advokat yang beritergritas tinggi, maksud dari berintegritas disini bukan harus menolak melakukan mendampingi dan pembelaan tersangka atau terdakwa pelaku tindak pidana korupsi tetapi advokat yang tidak mau melakukan hal-hal yang diluar jalur dalam memperjuangakan hak dan kepentingan kliennya ( melakukan suap, merekayasa perkara dengan melakukan deal-deal dengan aparat hukum lainnya), karena advokat pada prinsipnya berfungsi untuk menjaga keseimbangan terhadap penegakkan hukum terutama terhadap hak-hak tersangka dan terdakwa dalam proses hukum. Dengan demikian tidak dapat disimpulkan advokat yang (anti) korupsi itu adalah advokat yang tidak mau mendampingi atau membela tersangka atau terdakwa pelaku tindak pidana korupsi.
Bukan bermaksud menggurui para advokat sebenarnya sederhana untuk menjadi advokat yang anti korupsi. Semuanya dapat dilakukan dengan hal-hal yang sederhana yang dimulai dari diri sendiri dulu. Seorang Advokat harus mengenali dan mengetahui perilaku korup, kemudian advokat juga dituntut untuk bersikap jujur dan bertanggungjawab. Sikap-sikap seperti inilah yang harus terus dipupuk sejak dini (pada awal menjalani profesi advokat) agar akar dari budaya korupsi itu tidak dapat tumbuh dikalangan advokat. Ungkapan “Berani Jujur, Hebat”, menunjukkan pentingnya kejujuran ditengah-tengah sulitnya mencari orang yang masih jujur dan bersih.
Benar bahwa dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, advokat tidak dapat dituntut, baik perdata maupun pidana, dalam menjalankan tugas profesi dengan itikad baik untuk kepentingan pembelaan klien dalam sidang pengadilan (Pasal 16 Ayat 1). Akan tetapi, tak berarti advokat itu kebal hukum. Kalau ada advokat yang ”main”, baik sendiri maupun bersama klien dalam perbuatan melanggar hukum, itu berarti advokat tersebut sudah tak punya lagi itikad baik. Pebuatan tersebut jelas melanggar kode etik profesi dan hukum karena melakukan tindak pidana. Advokat tersebut dapat dituntut dan dapat ditangkap, dituntut, dan dihukum sesuai due process of law oleh penegak hukum, sebagai warga negara biasa. Contohnya Harini Wijoso, bekas hakim tinggi yang jadi kuasa hukum Probosutedjo dihukum empat tahun penjara karena terlibat pidana penyuapan di tingkat kasasi, Juni 2006, Bonaran Situmeang yang terkait kasus suap sengketa pilkada pada Mahkamah Konstitusi, dan juga yang paling anyar Advokat senior OC Kaligis juga tersangkut suap pada Pengadilan Tata Usaha Medan.
Ada minimal 3 (tiga) perilaku yang dapat membentuk Advokat anti korupsi, yaitu; (1) bertanggungjawab,(2) hidup sederhana dan(3) bersikap adil. Perilaku bertanggungjawab didalamnya terakandung sikap mengetahui kewajiban, siap menanggung resiko, amanah, tidak mengelak dan selalu berbuat yang terbaik. Kemudian perilaku hidup sederhana menuntut Advokat untuk bersikap bersahaja, tidak berlebihan, secukupnya, sesuai kebutuhan, dan rendah hati. Sementara bersikap adil akan membiasakan kita melihat secara obyektif segala persoalan, proporsional, tidak memihak, dan penuh pertimbangan. Ketiga perilaku ini harus dilakukan oleh seorang advokat dilingkungan kerjanya.
Apabila Sistem rekruitmen dalam penerimaan advokat, serta perilaku advokat yang yang dihasilkan telah membekali dirinya dan mempedomani perlaku-perilaku yang sebaiknya dimiliki oleh seorang advokat dalam menangani suatu perkara (baik Pidana atau Perdata). Maka akan lahir advokat-advokat anti korupsi bukannya advokat-advokat korupsi***