Skip to main content
Boy Yendra Tamin

follow us

Konflik Pemikiran Dalam Cerpen Pengarang Etnis Minangkabau :Bagian Keempat

Oleh Endut Ahadiat

Dosen Universitas Bung Hatta

Konsep Budi

Sesuai dengan sistem kemasyarakatan yang komunal, setiap individu merupakan bagian dari masyarakatnya. Individu tersebut merupakan milik masyarakat etnik, sebaliknya masyarakat tersebut merupakan milik bersama setiap individu. Rasa saling memiliki inilah yang menyebabkan unsur-unsur tersebut tidak dapat saling menguasai. Sebagai anggota masyarakat, setiap individu akan dibela dan dipertahankan oleh masyarakatnya. Jadi, lingkungan masyarakat sangat berperan dalam melainkan harkat dan martabat individu. Oleh karena itu, individu merasa memiliki keterikatan dengan masyarakatnya dalam bentuk utang budi. Seseorang yang merasa berutang tentu senantiasa merasa perlu untuk membayar kembali utang-utang tersebut sepanjang hidupnya.

Dalam kenyataan hidup masyarakat Minangkabau, pelaksanaan prinsip kebudayaan ini terlihat dalam hal tolong-menolong dan gotong royong. Seperti juga halnya dalam pergaulan hidup masyarakat Indonesia pada umumnya, tolong-menolong dan gotong royong menjadi kebiasaan hidup orang Minangkabau. Di dalam dua institusi tersebut terdapat unsur budi yang membuat orang merasa bertanam budi langsung pada pergaulan hidupnya sehingga mereka dapat merasakan masyarakat itu sebagai sesuatu kenyataan yang hidup.

Nasroen (1971: 89) menyatakan begitu pentingnya nilai budi sehingga ia dapat menjadi dasar untuk mengukuhkan kehidupan masyarakat Minangkabau dan menjadi unsur yang menjaga harmoni dalam pertentangan. Budi mendorong setiap orang untuk saling menghormati dan berbuat baik kepada orang lain. Lebih lanjut ia menyatakan bahwa masyarakat Minangkabau dengan adatnya berbeda dengan adat orang lain dapat berjalan terus dan kokoh dari zaman ke zaman karena unsur budi inilah yang menjadi isi dari human morality dan human conduct bagi mereka.

Kalau dibandingkan dengan konsep sebelumnya, konsep budi berdiri sejajar dan sama pentingnya dengan konsep harga diri. Di satu sisi konsep harga diri membuahkan sifat individualis, di sisi lain konsep budi membuahkan moralitas sosial yang terealisasi dalam konsep serasa, sehina, tenggang-menenggang, sosial, tolak ansur, dan sebagainya (Nasroen, 1971: 174).

PADA masa PRRI, Otang, teman si Dali, pulang kampung. Seperti banyak orang lain sebelum APRI menyerbu. Otang bukan seorang gembong. Juga bukan pegawai negeri. Kalau Otang pulang kampung juga, hanyalah karena alasan khusus. Katanya, karena solider pada Pak Natsir, tokoh idolanya, yang mengirimnya magang di peternakan di Florida, Amerika, selama setahun. Karena itu dia menetap saja di Jakarta. Menunggu perubahan kondisi dan situasi yang akan dapat mengangkat martabat dirinya. (Navis, “Inyik Lunak Si Tukang Canang” 2001:127)

Katanya, betapa dia tidak akan solider. Dari seorang berayah pemilik warung, lalu berkesempatan melihat Amerika yang serba wah seperti yang diangankannya ketika nonton film-filmnya. Bahkan lebih daripada solider itu, ialah karena perasaan malu pada diri sendiri bila tidak solider. (Navis, “Inyik Lunak Si Tukang Canang” 2001:128)

Dua hal yang tidak mampu dia sesali. Pertama dia pulang kampung karena alasan solider pada Pak Natsir. Kedua karena Atun begitu cantiknya. Tapi membawa istri dan anaknya pulang kampung karena yakin PRRI akan menang perangnya adalah salah perhitungan yang paling disesalinya. (Navis, “Inyik Lunak Si Tukang Canang” 2001:131)

Budi menjadi salah satu dasar dan ikatan yang penting dalam melaksanakan prinsip hidup orang Minangkabau dalam bermasyarakat, yaitu perseimbangan seseorang dengan masyarakat. Dengan budi seseorang dapat merasakan perasaan orang lain, merasakan perasaan saudaranya, dan kerabatnya. Sakit saudaranya adalah sakit ia juga. Seseorang akan memperlakukan orang lain sebagaimana ia memperlakukan dirinya sendiri dengan baik. Oleh sebab itulah budi membuat setiap orang dalam masyarakat menjadi akrab tanpa ada perhitungan rugi laba di dalamnya. Jadi, setiap orang berusaha untuk saling membalas budi. Hal itu didorong oleh kebiasaan seseorang menurut adat Minangkabau yang tidak mau berutang budi karena seperti ungkapan utang budi dibawa mati

Konsep Rasa dan periksa

Dalam kehidupannya, orang Minangkabau tidak hanya digerakkan oleh persaingan dan konflik semata, yang pada akhirnya dapat menimbulkan disharmoni sosial. Untuk menghindari kemungkinan tersebut, orang Minangkabau mengembangkan berbagai petatah dan petitih yang mengarah pada anjuran agar orang Minangkabau menjadi tahu diri dan mawas diri. Orang yang selalu berkekurangan dipandang sebagai makhluk yang sia-sia, tetapi sebaliknya orang yang berlebihan dipandang sebagai orang gila. Ajaran tersebut mengandung makna bahwa orang harus berjuang sesuai dengan kemampuannya dan apabila berlebihan tidak boleh memandang hina terhadap orang lain. Untuk itu, perjuangan pribadi harus dibatasi oleh mekanisme pengontrol, yakni rasa dan periksa yang akan menjaga keseimbangan yang harmonis dalam kehidupan (Navis, 1984).

Lebih lanjut Navis menjelaskan bahwa rasa merupakan kemampuan untuk menimbang bahwa sesuatu yang terasa sakit pada diri sendiri akan terasa sakit pula pada orang lain. Begitu juga sebaliknya, segala sesuatu yang terasa enak bagi diri sendiri hendaknya membuat orang lain merasa suka juga. Dalam hal rasa senang, ukuran yang dipakai adalah lamak dek awak, katuju dek urang (enak bagi kita, suka bagi orang). Artinya, setiap kesenangan yang kita dapatkan hendaknya juga disukai oleh orang lain, setidaknya jangan sampai mengganggu orang lain. Jangan sampai ukuran tersebut menjadi lamak dek awak, katuju surang (enak bagi kita, suka bagi kita). Artinya, kesenangan yang kita dapatkan hanya untuk kita sendiri, sementara orang lain tidak perlu kita pedulikan apakah ikut senang atau tidak.

Periksa, menurut Navis (1984), memiliki makna kemampuan untuk menimbang bahwa apa yang kita lakukan sesuai dengan kepatutan dan hokum yang berlaku ataukah masih dimungkinkan oleh kepatutan dan hukum tersebut. Ukuran periksa itu memakai nilai alur jo patuik (alur dan patut). Hal itu dimaksudkan agar kita selalu memeriksa masalah menurut alur yang lazim, tetapi tetap mempertimbangkannya dengan rasa kepantasan atau kepatutan. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa segala sesuatunya diperiksa dengan hati nurani sendiri.

Selanjutnya Navis menambahkan jika dalam keadaan yang memaksa, saat rasa dan periksa tidak dapat lagi dilaksanakan, orang pun dapat memakai cara lain yang tidak sesuai dengan alur yang biasa. Cara itu diungkapkan dengan pemeo, awak mandapek, urang indak kailangan (kita mendapat, orang tidak kehilangan). Pemeo itu memiliki makna bahwa kita dapat melakukan seseuatu yang kita inginkan, tetapi orang lain tidak merasa dirugikan. Pemeo yang dapat digunakan untuk berbagai keadaan memiliki makna yang kurang lebih sama dengan tenggang rasa yang nilainya lebih pasif, jika dibandingkan dengan ungkapan rasa dan periksa.

Mereka duduk bertiga di ruang keluarga. Acara bertangisan agaknya telah usai sewaktu aku mendekat ke ruangan itu. Suara Bang Palinggam terdengar pelan, sayu, seperti minta dimaafkan. “Namun, hingga detik ini, Bunda, aku tetap bersih. Terkutuk aku bila mendustai Bunda,” dia bilang.

“Kalau begitu, mengapa kau mengelak diperiksa, Nak? Kenapa berpura sakit? Mengapa tidak kau beberkan saja semuanya?”

“Tidak sesederhana itu, Bunda.”

“Di mana rumitnya?”

Tidak terdengar suara. Aku muncul. Abangku melirik. Menarik napas, melihat Bunda lagi. Mukanya kuyu. Loyo. “Aku punya atasan, Bunda,” ujarnya bak mengadu. Suaranya makin lunak, hampir menyerupai bisik. “Aku punya kawan. Aku juga kader partai....”

Bunda diam. Juga aku serta Kak Andam. Dan lapat-lapat kudengar suara sunyi merayap, entah dibawa udara dari bumi yang mana.

“Tak paham aku soal-soal begitu, Palinggam,” sahut Bunda kemudian. “Tetapi, bagiku, Nak, yang benar harus di sampaikan sekalipun pahit. Kalaupun akibatnya kau diberhentikan bekerja, dipecat partaimu, bagiku itu lebih baik daripada kau berkhianat pada kebenaran, pada hatimu sendiri. Juga kepada Tuhan. Dan negeri ini, yang sedikit banyak ikut dibela ayahmu dari penjajah.”

Bang Palinggam terpana menatap Bunda. Matanya perlahan berkaca-kaca. Dia menunduk. Mengangkat muka lagi, memandang Bunda. Rasanya, aku tahu sekarang dari mana sunyi itu berasal. (Alwi, “Lampu Ibu” 2007:17)

“Kalian sekarang memang bukan lagi anakku yang dulu.” Bunda mengedarkan senyum, juga kepadaku. “Apalagi kau, Palinggam, kini sudah bercucu pula. Namun, takdir seorang ibu, Nak, selalu terdorong menyalakan lampu hingga akhir hayatnya.” (Alwi, “Lampu Ibu” 2007:18)

Pemakaian rasa dan periksa harus seimbang. Rasa mempertimbangkan periksa, begitu juga sebaliknya periksa harus mengendalikan rasa. Hal itu terjadi dalam waktu yang bersamaan. Ilyas (2003: 28) menggambarkan pemakaian rasa dan periksa itu sesuai dengan falsafah adat alam Minangkabau dengan peribahasa “rasa dibawa naik, periksa dibawa turun”. Semua masalah di atas dunia ini harus dibawa naik terlebih dahulu ke otak, ditimbang manfaat dan mudaratnya, baik buruknya secara kualitatif, dengan rasa dan periksa secara kuantitatif. Otak merupakan pusat dari aktivitas budaya Minangkabau karena di otaklah bertemu rasa dan periksa.

Konsep Adat dan Sejarah

Menurut pendapat Faruk (1988) orang Minangkabau berada dalam tarik menarik yang terus menerus antara dua kutub yang berbeda, yaitu dinamik dan statik. Kecenderungan tarik menarik antara dua kutub tersebut tercermin dalam konsep orang Minangkabau mengenai adat dan sejarah. Adat Minangkabau sekaligus menuntut untuk bersifat tetap dan berubah terus menerus sehingga antara dua kutub tersebut terbangun konsep sejarah yang merupakan sebuah lingkaran yang sempurna. Sebuah lingkiran yang tidak dapat dtentukan ujung da pangkalnya (Nasroen, 1971).

Apa yang disimpulkan Nasroen mengenai lingkaran sebagai bentuk perkembangan sejarah masyarakat Minangkabau berbeda dari apa yang disimpulkan oleh Abdullah (dalam Faruk, 1988). Menurut pendapat Abdullah, konsep Minangkabau tidaklah berbentuk siklik, seperti apa yang disimpulkan oleh Nasroen, melainkan berbentuk spiral. Apa yang disimpulkan Abdullah ini tampaknya lebih tepat karena sesuai dengan uraian Nasroen sebelumnya tentang adat Minangkabau, mengarah pada simpulan Abdullah itu.

Hal itu juga sejalan dengan pandangan Nasroen (1971) yang menyatakan bahwa konsep sejarah Minangkabau diilhami oleh proses perkembangan alam “patah tumbuh hilang baganti”. Suatu proses yang sewajarnya terjadi serta membuktikan bahwa sesuatu yang patah akan tumbuh kembali dan sesuatu yang hilang harus diusahakan gantinya. Uraian tersebut semakin membuktikan bahwa hukum perkembangan yang terjadi bersifat spiral, seperti apa yang disimpulkan oleh Abdullah karena dahan dan buah baru yang tumbuh dan menggantikan dahan dan buah yang lama itu tidaklah berbeda, tetapi sesungguhnya merupakan sesuatu yang baru.

Apa yang telah diuraikan di atas menunjukkan bahwa alam pikiran orang Minangkabau berpusat pada konsep keseimbangan dalam pertentangan, seperti apa yang disimpulkan oleh Nasroen (1971). Alam pikiran orang Minangkabau berpusat pada konsep perimbangan konflik yang terjadi dalam berbagai aspek kehidupan mereka. Alam pikiran yang seperti itu sesungguhnya merupakan produk dari sistem sosial, politik, serta ekonomi masyarakat Minangkabau.

Masyarakat Minangkabau hidup dalam satu kesatuan teritorial yang dinamakan nagari. Di dalam nagari itulah hidup berbagai suku yang merupakan perkembangan dari empat suku asal, yaitu Koto, Piliang, Bodi dan Caniago. Menurut sejarah masyarakat Minangkabau yang terdapat dalam Tambo, pendiri empat suku besar itu adalah dua orang yang masih memiliki hubungan saudara sedarah. Mereka adalah Datuk Ketemanggungan dan Datuk Perpatih nan Sabatang. Akan tetapi, antara satu suku dengan suku yang lainnya yang terhitung masih memiliki hubungan darah terjadi pula persaingan, permusuhan, dan terkadang terjadi juga peperangan. Persaingan dan permusuhan yang dibarengi oleh peperangan atau tidak antara satu suku dengan suku yang lainnya tersebut bukanlah suatu hal yang mustahil dalam hidup bernagari. Namun, perselisihan tersebut selalu dapat diselesaikan dengan musyawarah (Mansoer, 1970: 16).

Bujang Sami semakin tegang. Dia tahu betul tabiat Mamaknya. Sebagai salah seorang Tungganai Kaum Patopang6 , kadang tak sungkan bertindak keras pada anak kemenakan.

“Nanti malam kita lanjutkan di Rumah Gadang. Jangan sampai ada kaum Patopang yang tidak hadir. Kapan perlu, suruh Kiri memukul canang!” (Yahya, “Batas” 2007:20)

Rumah Gadang yang terletak tak begitu jauh dari rumah Bujang Sami sudah diterangi lampu petromaks. Beberapa laki-laki dari suku Patopang sudah mulai berdatangan. Pergunjingan yang agak meruncing sudah mulai membingar. Mengusik kelengangan Dusun Silokek yang hanya terdiri dari tiga puluh tujuh rumah (Yahya, “Batas” 2003:22)

Kenyataan yang diuraikan di atas telah menunjukkan bahwa jika dilihat dari segi sistem sosial politiknya, masyarakat Minangkabau telah terbiasa hidup dalam berbagai unsur masyarakat yang memiliki kecenderungan untuk bersaing, tetapi tidak saling melenyapkan. Masyarakat Minangkabau tetap menjaga kesatuan antarsuku dalam lingkungan nagari mereka. Kesatuan antarsuku tersebut dibina melalui sistem demokratis berupa kerapatan adat yang anggota-anggotanya terdiri dari para penghulu yang menjadi pemimpin setiap suku (Mansoer, 1970: 16).

Akhirnya rapat menyepakati usul Patih Sati. Dan, pada hari yang telah ditentukan, rombongan akan berangkat dengan menggunakan perahu dayung, menuju lokasi penambangan yang berdekatan dengan Dusun Seberang Sungai di hilir Batang Kuantan (Yahya, “Batas” 2003:24)

Konsep keseimbangan dalam pertentangan juga terlihat dalam sistem perkawinan orang Minangkabau yang bersifat eksogami. Sistem perkawinan ini tidak membolehkan orang Minangkabau kawin dengan pasangan yang berasal dari suku yang sama. Sementara itu, dalam kehidupan pergaulan antarsuku ada batasan-batasan yang mengatur hubungan antarsuku tersebut. Suku yang satu menganggap suku yang lain sebagai orang luar yang tidak dapat saling berbagi malu. Sedapatnya aib yang menimpa suku yang satu jangan sampai diketahui oleh suku yang lain. Kenyataan seperti itu kembali memperlihatkan suatu kontradiksi. Di satu pihak, suku lain dipandang sebagai orang luar yang terpisah tetapi di pihak lain suku lain itu disatukan dengan suku tertentu dalam lembaga perkawinan.

Sebelum benar-benar senja, rombongan Dusun Silokek telah sampai di lokasi pendulangan. Dan, seperti yang telah disepakati, mereka telah ditunggu oleh Ninik Mamak dan Kepala Dusun Seberang Sungai.

“Sebetulnya hanya terjadi salah paham kecil antara warga kita,” langsung Kepala Dusun Seberang Sungai mulai bicara mengingat malam akan segera tiba. “Kami mengeluarkan peraturan itu karena ada beberapa anak kemenakan kita yang mendirikan pundun11 di pinggir tebing. Lubang tambang itu mengakibatkan sawah yang ada di atasnya jadi terancam runtuh...”

Patih Sati berdehem keras.

Mak Kimin menyahut dengan batuk pura-pura, lebih keras.

Lalu Patih Sati menggantikan ujar, “Jika itu persoalannya, berarti keterangan Pidin berat sebelah. Makanya, kami minta maaf,” dengan sportif lelaki berumur kepala enam itu mengulurkan tangan mendahului Kepala Dusun Silokek—barangkali, karena teringat silsilah Kaum Patopang, dia adalah kemenakan Pidin, walau berumur lebih muda.

“Jika tak lagi membangun lubang tambang di pinggir tebing tentu pajak itu tak perlu dibayar. Lagi pula antara Dusun Silokek dan Dusun Seberang Sungai adalah daerah yang bertetangga. Bahkan, anak kemenakan kita sudah banyak pula yang saling menikah. (Yahya, “Batas” 2003:25)

Lihat Bagian Sebelumnya : Bagian Pertama

Daftar Pustaka

Alwi, Adek. “Lampu Ibu” dalam Ninuk Mardiana Pambudy, 2008. Cinta di Atas Perahu Cadik: Cerpen Kompas Pilihan 2007. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Faruk, HT. 1988. “Konflik: Konsep Esetika Novel-Novel Pengarang Minangkabau”. Makalah pada Konres Bahasa Indonesia V tahun 1988 di Jakarta.

Ilyas, Abraham. 2003. Nan Empat: Dialektika, Logika, Sistematika Alam Takambang. Palembang: Lembaga Kekerabatan Datk Soda.

Mansoer, M.C., dkk. 1970. Sejarah Minangkabau. Jakarta: Bhatara.

Naim, Mochtar. 2014. Merantau: Pola Migrasi Suku Minangkabau. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Nasroen, M. 1971. Dasar Filsafat Alam Minangkabau. Jakarta: Bulan Bintang.

Navis, AA. 1984. Alam Takambang Jadi Guru: Adat dan Kebudayaan Minangkabau. Jakarta: Grafiti Press.

. 2000. “Dua Orang Sahabat” dalam Kenedi Nurhan, 2000. Dua Tengkorak Kepala: Cerpen Pilihan Kompas 2000. Jakarta: Penerbit Harian Kompas.

2001. “Inyik Lunak Si Tukang Canang” dalam Kenedi Nurhan, 2001. Mata Yang Indah: Cerpen Pilihan Kompas 2001. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Sa’danor, Amilijoes. 1983. “Copet dan Sistem Sosial Minangkabau” dalam AA Navis, Dialektika Minangkabau dalam Kemelut Sosial dan Politik. Padang: Genta Singgalang Press.

Yahya, Helen. 2007: “Batas” dalam Kenedi Nurha, 2003. Waktu Nayla: Cerpen Pilihan Kompas 2003. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Spesial Untuk Anda:

Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar