Oleh: Endut Ahadiat
Universitas Bung Hattaendut0ahadiat@yahoo.co.idAbstrak
Sastra merupakan cermin kehidupan masyarakat pendukungnya, bahkan sastra menjadi ciri identitas kemajuan peradaban suatu bangsa. Melalui sastra, orang dapat mengidentifikasi perilaku kelompok masyarakat, bahkan dapat mengenali perilaku dan kepribadian masyarakat pendukungnya. Sastra Indonesia merupakan cermin kehidupan Indonesia dan identits serta kemajuan peradaban bangsa Indonesia.
Kritik sosial dalam cerpen pengarang etnik Minangkabau adalah merupakan konflik kehidupan orang Minangkabau. Salah satu cermin kehidupan masyarakat pendukungnya merupakan akibat dari alam pemikiran Minangkabau yang pada dasarnya memang penuh dengan konflik. Kehidupan orang Minangkabau yang selalu berada dalam dua sisi yang bertentangan membuat konflik tersebut hadir di tengah kehidupan masyarakat.
Kata kunci : Konflik Pemikiran, Cerpen, Pengarang Etnis Minangkabau
Pendahuluan
Orang Minangkabau memiliki kecenderungan untuk hidup dalam alam pikiran yang penuh dengan konflik. Konflik tersebut terjadi dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat Minangkabau, baik di dalam lingkungan yang besar maupun konflik yang terjadi di dalam lingkungan yang lebih kecil. Di dalam lingkungan yang lebih besar, konflik tersebut dapat berupa pertentangan antara kecenderungan disharmoni dan harmoni (organisasi keluarga). Kecenderungan disharmoni tersebut terbangun oleh konsep harga diri, malu, dan kehidupan bersuku-suku (berkaum). Sementara itu, kecenderungan harmoni terbangun oleh konsep budi dan sistem perkawinan eksogami. Pertentangan antara dua unsur yang berlawanan inilah yang sering melahirkan konflik di tengah masyarakat Minangkabau.
Ketegangan antara kecenderungan disharmoni dan harmoni yang pada akhirnya menimbulkan konflik, sejajar pula dengan konsep orang Minangkabau mengenai adat dan sejarah. Konsep adat dan sejarah masyarakat Minangkabau mengalami perkembangan secara spiral. Konsep tersebut diilhami oleh proses perkembangan alam “patah tumbuh, hilang baganti”. Hukum perkembangan yang bersifat spiral tersebut mengandung makna bahwa dahan dan buah baru yang tumbuh dan menggantikan dahan dan buah yang lama itu tidaklah berbeda, tetapi sesungguhnya merupakan sesuatu yang baru. Akan tetapi, konsep perkembangan secara spiral permanen dan perubahan antara yang lama dan baru.
Alam pikiran masyarakat Minangkabau yang penuh dengan konflik tersebut sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat Minangkabau. Hal itu terlihat jelas dalam diri orang Minangkabau dalam menatap dan memahami kehidupannya. Konflik yang membangun alam pikiran orang Minangkabau menjadi perspektif yang khas, sesuatu yang istimewa, bagi masyarakat Minangkabau dalam mengatur dan menjalani kehidupannya.Wujud dari pengamatan dan pemahaman kehidupan tersebut tidak saja dipraktikan dalam dunia nyata keseharian mereka, tetapi juga dituangkan dalam bentuk karya sastra seperti cerpen. Cerpen bisa menjadi media yang menghubungkan kenyataan dalam kehidupan nyata dengan pemahaman terhadap kehidupan. Pemahaman tersebut membawa manusia pada kearifan dalam menyikapi hidup di dalam kehidupannya.
Cerpen yang memiliki latar belakang kehidupan masyarakat Minangkabau memperlihatkan dengan jelas cara pandang orang Minangkabau terhadap diri mereka. Hal tersebut dapat terlihat dari aspek intrinsik seperti aspek alur, aspek latar maupun aspek penokohan.
Cerpen yang lahir dari pandangan pengarang etnik Minangkabau yang tidak dapat dilepaskan dari alam pikiran yang terbentuk dari kebudayaan yang dimilikinya. Alam pikiran yang dituangkan pengarang etnik Minangkabau dalam cerpen tersebut merupakan hasil pemahaman mereka terhadap falsafah hidup masyarakat Minangkabau.
Menurut Navis (1984: 59), falsafah hidup orang Minangkabau berpusat pada konsep alam takambang jadi guru.
“… Oleh karena itu, ajaran dan pandangan hidup mereka yang dinukilkan dalam petatah, petitih, pituah, mamangan, serta lain-lainnya mengambil ungkapan dari bentuk, sifat, dan kehidupan alam.
Alam dan segenap unsurnya mereka lihat senantiasa terdiri dari empat atau dapat dibagi dalam empat, yang mereka sebut nan ampek (yang empat). Seperti halnya: ada matahari, ada bulan, ada bumi, ada bintang, ada siang, ada malam, ada pagi, ada petang, ada timur, ada barat, ada utara, ada selatan, ada api, ada air, ada tanah, ada angin. Semua unsur alam yang berbeda kadar dan perannya itu saling berhubungan, tetapi tidak saling mengikat, saling berbenturan, tapi tidak saling melenyapkan, dan saling mengelompok, tapi tidak saling meleburkan. Unsur-unsur itu masing-masing hidup dengan eksistensinya dalam suatu harmoni, tetapi dinamis sesuai dengan dialektika alam yang mereka namakan bakarano bakajadian (bersebab dan berakibat).
Kutipan itu memperlihatkan bahwa orang Minangkabau memiliki kecenderungan untuk hidup dalam alam pikiran yang penuh dengan konflik. Konflik tersebut terjadi antara hal yang saling berhubungan dan tidak mengikat, konflik antara saling berbenturan dan tidak saling melenyapkan, harmoni dan dinamika. Alam yang dibaratkan sebagi kehidupan manusia dalam masyarakatnya memberi kebebasan pada tiap-tiap individu untuk mempertahankan eksistensinya dalam perjalanan hidupnya.
Nasroen (1971: 146) menyatakan bahwa yang menjadi dasar dalam falsafah hidup orang Minangkabau serta tercermin dalam tindakan seseorang dalam hidup bermasyarakat adalah prinsip keseimbangan dalam pertentangan. Menurutnya, prinsip itu tidak didasarkan pada individualisme dan totaliterisme, tetapi berdasarkan pada perimbangan antara individu dan masyarakat, antara kepentingan seseorang dan kepentingan bersama, seperti terungkap dalam pepatah nan rancak di awak, katuju dek urang andaknyo (bagus bagi kita, hendaknya bagus juga menurut orang lain).
Prinsip keseimbangan dalam pertentangan tersebut berbeda dari konsep tesis, antithesis, dan sintesis dalam dialektika yang cenderung meleburkan pertentangan. Dialektika tidak memberikan jalan keluar terhadap pertentangan. Tugas dialektika hanya mengemukakan sistem dan menjelaskan apa sebabnya sintesis diperoleh antara tesis dan antithesis. Selain itu, prinsip keseimbangan dalam pertentangan itu juga berbeda dari konsep koeksistensi yang hanya cenderung merupakan keseimbangan sementara dari pertentangan. Pertentangan dalam koeksistensi tidak mengalami perubahan dan tidak berada dalam keseimbangan. Keadaan yang selalu berubah-ubah dalam koeksistensi setiap saat dapat saja berkembang menjadi pertentangan hingga timbulnya bentrokan. Hal itu terjadi karena salah satu dari pertentangan itu dianggap dirinya lebih kuat dan dapat mengalahkan lawannya.
Prinsip keseimbangan dalam pertentangan itu hidup dan berkembang dalam masyarakat yang mengaku adanya kepentingan bersama dan dapat merasakan perasaan orang lain. Dalam konsep tersebut pertentangan yang ada tidak lenyap. Keseimbangan yang ada dalam konsep itu cenderung merupakan keseimbangan yang abadi tanpa harus melenyapkan berbagai pertentangan yang ada. Pertentangan yang ada itu tetap ada, tetapi diusahakan perimbangan terhadap pertentangan tersebut.
Dapat dikatakan bahwa falsafah itu telah melahirkan berbagai konsep kultural yang penting dalam masyarakat Minangkabau seperti konsep harga diri, konsep malu, konsep merantau, konsep budi, konsep rasa dan periksa, konsep yang berhubungan dengan individu dan masyarakat serta sejarah. ( Bersambung ke Bagian Kedua )