3. Korupsi sebagai Bentuk-Bentuk Kejahatan
Pada hakikatnya korupsi ibarat kanker yang menggerogoti proses pembangunan dengan segala dampak turunannya seperti hilangnya kesempatan masyarakat untuk menikmati hasil pembangunan dan ketidakpastian akan kesejahteraan karena sumberdaya yang seharusnya digunakan untuk infrastruktur dan pembiayaan kebutuhan masyarakat telah diselewengkan dan dikuasai pihak-pihak tertentu saja.8)
Dalam sudut pandang yang lebih komprehensif, David Hess dkk 9) menjelaskan dampak korupsi memperdalam jurang kemiskinan; merendahkan hak asasi manusia; mendegradasi lingkungan; merusak pembangunan, termasuk pembangunan sektor swasta; mendorong konflik di antara negara-negara dan; dan menghancurkan kepercayaan terhadap demokrasi dan legitimasi pemerintah. Korupsi Ini merendahkan martabat manusia dan secara universal dikutuk oleh agama besar di dunia. Pengutukan korupsi ini belum secara luas dipraktekkan.
Perusahaan, kadang membangun prosedur untuk memastikan bahwa karyawan mereka tidak disuap oleh orang lain, sementara secara bersamaan mereka menggunakan suap untuk mendapatkan bisnis. Perusahaan-perusahaan dari negara-negara dengan korupsi dalam negeri minimal memainkan peran utama sebagai suap-pembayar di lingkungan bisnis. Partisipasi mereka dalam beberapa bentuk korupsi dapat dijelaskan oleh berbagai faktor termasuk kebutuhan kompetitif, menghormati norma-norma budaya lokal, pemerasan, dan ketidakmampuan atau keengganan untuk mengontrol karyawan nakal. Disaat yang sama, opini publik tampaknya berbalik menentang keras praktek korupsi dan menuntut bahwa sesuatu harus dilakukan berkaitan dengan penyuapan.
Secara teoritis terdapat dua motif seseorang melakukan kejahatan korupsi.10) Pertama, corruption by need, bahwa himpitan ekonomi dan desakan pemenuhan kebutuhan sehari-hari menjadi alasan seseorang melakukan korupsi. Argumen ini secara eksplisit dibenarkan oleh pemerintah (Indonesia) dan dijadikan dasar untuk menaikkan gaji aparat pemerintahan (ASN) dan memberikan tunjangan yang memadai, argumen ini juga yang digunakan ketika manaikkan beberapa kali lipat tunjangan hakim dengan asumsi bahwa korupsi dan kejahatan dilingkungan penegak hukum salah satunya dipicu oleh penghasilan yang rendah sedangkan kebutuhan terus meningkat. Persoalan yang kemudian perlu kita kaji adalah bagaimana dengan masyarakat kebanyakan yang bukan berstatus sebagai ASN, ribuan pengangguran atau pekerja sektor informal yang penghasilan bulannya hanya cukup untuk beberapa hari saja, apa yang bisa dilakukan negara
Kedua, corruption by greed. Ini berbeda dengan yang pertama karena tidak kita temukan motif untuk pemenuhan kebutuhan pada korupsi jenis ini namun karena faktor kerakusan semata. Pelaku korupsi ini biasanya dari kalangan terpandang: melibatkan pejabat negara/pemerintahan dan pengusaha. Dalam konteks inilah kapitalisme memperlihatkan pengaruh kuatnya, bagaimana kejahatan korupsi terutama dengan nominal besar yang dilakukan hampir semuanya terkait langsung atau tidak langsung dengan bisnis tertentu seperti pengurusan izin usaha, izin tambang, izin konsensi lahan, pengadaan barang, proyek pemerintahan dan lain sebagainya. Sedangkan terkait dengan kejahatan korupsi yang dilakukan politisi dan terkait penegakkan hukum memang menunjukan motif yang berbeda.
Kapitalisme kaitannnya dengan kejahatan korupsi terutama yang melibatkan pengusaha dan badan usaha secara dapat kita baca dalam tulisan Zainal Arifin Hoesein,11) beliau mengutip pendapat Miller (2005) yang menyatakan kejahatan korporasi yang terkait dengan perusahaan (corporate) ada 4 kategori yaitu:
- Corporate crime, kejahatan yang pelakunya adalah kalangan eksekutif yang melakukan kejahatan demi keuntungan bisnis tertentu atau kepentingan korporasi.
- Kejahatan yang pelakunya adalah pejabat negara atau pemerintahan yang melakukan kejahatan demi kepentingan dan atas persetujuan/perintah negara atau pemerintahan.
- Kejahatan mal-praktik yang pelakunya adalah kalangan profesional seperti dokter, psikiater, ahli hukum, pialang, akuntan, penilai, atau profesi lainnya yang punya kode etik.
- Kejahatan yang dilakukan pemilik modal, pengusaha atau pihak independen lainnya.
Rangkaian-rangkaian yang sama bisa juga kita temukan jika menelisik korupsi dalam lapangan politik khususnya terkait penyelenggaraan pemilu (pemilihan umum). Ramlan Surbakti (2005) sebagaimana dikutip oleh Winardi 14) dalam tulisannya menyebutkan bahwa untuk mendapatkan dukungan dari partai politik, Petahana memerlukan uang “sewa perahu” yang diperkirakan berasal dari pengusaha. Pengusaha-pengusaha yang punya motif ekonomi tertentu bahkan dapat menentukan siapa yang akan menjadai kepala daerah dengan cara membentuk “perantara” politik tertentu di tiap daerah/desa dan termasuk menggunakan uang untuk mempengaruhi pilihan masyarakat.
Terakhir, kapitalisme sebagai sebuah keniscayaan terutama kaitannya dengan perdagangan bebas, pergaulan global dan pembangunan ekonomi suatu negara tidak serta merta bisa ditolak dan dibersihkan dari seluruh anasir kehidupan. Pilihan yang paling bijak adalah pendekatan hukum sebagai sarana mengatur perilaku (social engineering) yang akan memberikan panduan perilaku semua pihak dalam menjalankan perannya. Ada baiknya Penulis kutip tulisan David Hess dkk 15) bahwa dalam membangun sistem yang ramah terhadap prinsip-prinsip anti korupsi harus memenuhi syarat-syarat sebaga berikut:
... any set of principles must (1) emphasize transparency; (2) provide guidance concerning specific practices associated with paying bribes; (3) be relevant to organizational environments; (4) identify itself with and be supported by an independent entity such as a non-governmental organization or an academic center, and, perhaps most- importantly; (5) be capable of monitoring and assessment by external, independent entities, such as social and financial auditors. (Terjemahan bebas: ...seperangkat prinsip harus (1) menekankan transparansi; (2) memberikan panduan/bimbingan tentang perilaku tertentu yang berhubungan dengan suap; (3) relevan dengan lingkungan organisasi; (4) mengidentifikasi dirinya dengan dan didukung oleh lembaga independen seperti organisasi non-pemerintah atau perguruan tinggi, dan, yang paling penting; (5) bisa dipantau dan di nilai oleh pihak eksternal, lembaga independen, seperti auditor sosial dan keuangan...
Penutup
1. Kesimpulan
Ada hubungan kausalitas antara kapitalisme dan kejahatan korupsi dalam konteks perbuatan korupsi sebagai kejahatan. Hubungan ini dapat kita tarik benang merahnya dengan melihat motif ekonomi dan motif kerakusan yang menjadi gejala umum dalam lapangan kehidupan internasional dan nasional, baik yang terkait langsung dengan bisnis sebagai lapangan utama kapitalisme maupun lapangan lain yang secara faktual tidak bisa dilepaskan dengan bisnis, keuangan dan ekonomi secara umum.
Motif keinginan untuk mendominasi potensi-potensi ekonomi ataupun sekadar pemenuhan kebutuhan ril dan juga pemenuhan kebutuhan akan prestise telah mendorong beberapa orang untuk melakukan segala upaya untuk memenuhinya dengan cara-cara yang melawan logika umum maupun logika hukum yang disini kita sebut sebagai kejahatan, dan dampaknya secara langsung atau tertunda memberikan imbas pula terhadap spirit keadilan, ketenteraman dan ketertiban masyarakat.
Penulis memandang kenyataan ini sebuah keniscayaan dari sebuah ideologi, karena tidak ada ideologi yang sempurna dan setiap ideologi punya bias-bias dan efek-efek negatif yang kadangkala kala kita lalai dalam mengantisipasinya. Keniscayaan ini Penulis letakan dalam bingkai bahwa persaingan adalah sebuah fakta dan keinginan untuk memenuhi kebutuhan adalah juga fakta bahkan keinginan akan sebuah peningkatan status dan prestise adalah juga fakta, karenanya untuk memastikan seluruh fakta tersebut terpandu secara apik dalam menjamin kehidupan yang berkeadilan, aman dan tertib diperlukan seperangkat sistem.
2. Saran
Ada dua perspektif yang perlu kita bangun untuk mengatasi persoalah kejahatan korupsi terkait dengan kapitalisme, yakni, mengatasi persoalan kejahatan korupsi sebagai imbas kapitalisme dan mengantisipasi dampak lain/lebih perkembangan kapitalisme yang menstimulus perkembangan kejahatan korupsi. Untuk itu diperlukan beberapa hal:
- Membangun sistem hukum pemberantasan korupsi yang berangkat dari pemahaman komprehensif tentang kapitalisme dan turunan perilakunya yang berbentuk aktivitas ekonomi dan dorongan terhadap perilaku konsumtif.
- Menciptakan perangkat hukum yang memberikan panduan lengkap dan predictable terhadap petensi penyimpangan perilaku dalam lapangan ekonomi dan pemerintahan sehingga meminimalisir aktivitas menyimpang sebagai imbas kapitalisme yang kita sebut sebagai kejahatan korupsi. [Bagian 1]
Marzuki, Suparman, “Kapitalisme Keserakahan dan Kejahatan” Makalah dalam Seminar dengan tema “Keamanan dan Perdamaian di Indonesia, 20 Januari 2010.
R Soesilo, “Kitab UndangUndang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal”, Politeia, Jakarta, 1985.
Feathers, Beka dalam jurnalnya yang berjudul “The Chalenge of Fighting Corruption in the Global Context” American University International Law Review, 2014.
Jahja, Juni Sjafrin, “Prinsip Kehati-Hatian Dalam Memberantas Manajemen Koruptif Pada Pemerintahan & Korporasi”, Visi Media, Jakarta, 2013.
Hess, David dkk dalam jurnalnya yang berjudul, “Fighting Corruption: A Principled Approach: The C Principles”, Cornel International Law Journal, volume 33, 2000.
Ali, Mahrus, “Asas, Teori dan Praktik Hukum Pidana Korupsi”, UII Press, Yogyakarta, 2013.
Hoeisein, Zainal Arifin, “Tindak Pidana Korporasi di Indonesia”, dalam jurnal Law Review, Volume XI, Maret 2012.
Winardi, “Politik uang Dalam Pemilihan Umum”, dalam Jurnal Konstitusi, volume II, no.1, Juni 2009.
References:
1) Suparman Marzuki, “Kapitalisme Keserakahan dan Kejahatan” Makalah dalam Seminar dengan tema “Keamanan dan Perdamaian di Indonesia, 20 Januari 2010.
2) Ibid.
3) Lihat R Soesilo, “Kitab UndangUndang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal”, Politeia, 1985.
4) Beka Feathers dalam jurnalnya yang berjudul “The Chalenge of Fighting Corruption in the Global Context” American University International Law Review, 2014.
5) Lihat lebih lanjut: Jahja, Juni Sjafrin, “Prinsip Kehati-Hatian Dalam Memberantas Manajemen Koruptif Pada Pemerintahan & Korporasi”, Visi Media, Jakarta, 2013.
6) Suparman Marzuki, loc.cit.
7) Ibid, hlm.2
8) Bandingkan dengan tulisan Jahja, Juni Sjafrin dalam bukunya “Prinsip Kehati-Hatian Dalam Memberantas Manajemen Koruptif Pada Pemerintahan & Korporasi”, Visi Media, Jakarta, 2013, hlm. 7-10
9) David Hess dkk dalam jurnalnya yang berjudul, “Fighting Corruption: A Principled Approach: The C Principles”, Cornel International Law Journal, volume 33, 2000, hlm. 594
10) Lihat lebih lanjut Mahrus Ali dalam bukunya, “Asas, Teori dan Praktik Hukum Pidana Korupsi”, UII Press, Yogyakarta, 2013, hlm 254-255
11) Hoeisein, Zainal Arifin, “Tindak Pidana Korporasi di Indonesia”, dalam jurnal Law Review, Volume XI, Maret 2012, hlm. 314-315
12) ibid, hlm 315
13) Mardjono Reksodiputro dalam Hoeisein, Zainal Arifin, ibid, hlm 315
14) Winardi, “Politik uang Dalam Pemilihan Umum”, dalam Jurnal Konstitusi, volume II, no.1, Juni 2009, hlm. 156-157
15) Davis Hess dkk, Loc.Cit. hlm 618